Home BUSET NGELIPUT Membangun Ekonomi Kreatif Indonesia – Victoria

Membangun Ekonomi Kreatif Indonesia – Victoria

0
Membangun Ekonomi Kreatif Indonesia – Victoria

Industri ekonomi kreatif di Indonesia semakin menarik, dibuktikan dengan diadakannya Creative Economy Forum oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia baru-baru ini. Forum tersebut menjadi kesempatan untuk mempromosikan industri ekonomi kreatif Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan membahas potensi untuk kerjasama dengan Victoria yang memiliki industri kreatif yang subur.

Acara dibuka dengan kata pembuka dari Duta Besar Indonesia untuk Australia, Kristiarto Legowo. Beliau mengakui keunggulan Melbourne dalam kemajuan industri kreatifnya, yang terlihat dari keberagaman budayanya, perhelatan berbagai ajang internasional, berkembangnya sektor kesenian, bisnis serta sektor edukasi terlihat dengan meningkatnya jumlah mahasiswa asal Indonesia yang berdatangan. Kemiripan tersebut juga dapat terlihat di Yogyakarta, yang kaya akan budaya Jawa, kaya dalam keberagaman dan kreatifitas, dan merupakan kota pelajar di Indonesia. Industri kreatif Indonesia yang masih mencakup sekitar 7% domestik bruto diperkirakan akan terus meningkat dan menjadi prospek yang menarik untuk dikembangkan bersama.

Dihadiri tak hanya para pengusaha namun juga yang dari badan administratif pemerintah dan lembaga pendukung ekosistem ekonomi kreatif di ketiga daerah, Creative Economy Forum juga kedatangan tamu istimewa yaitu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X serta beberapa delegasinya. Diperkirakan 98% bisnis di Yogyakarta berada dalam klasifikasi menengah ke bawah, menjadikannya sebuah lahan yang menjanjikan untuk terus dikembangkan.

(dari kiri): Diletta Legowo, Prof. M. Suyanto, Aling Nur Narulii Widianti, Dr. Jemma Purdey

Dengan industri kreatif Yogyakarta yang fokus dalam sektor fesyen, sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi yang termasuk program aplikasi, video game, animasi, film, desain komunikasi visual, sektor kesenian dan kuliner, beliau menyuarakan potensi Yogyakarta untuk berkolaborasi dalam industri kreatif. Yogyakarta pun menurutnya memiliki 3 syarat yang penting untuk adanya industri kreatif. Yang pertama adalah toleransi terhadap keberagaman, teknologi yang menunjang, dan sumber daya manusia yang unggul. “Contohnya, adalah perusahaan digital global yang mempekerjakan banyak orang dari disiplin komando orang demi memberikan sentuhan manusiawi terhadap produk mereka yang serba otomatis. Tipe perusahaan macam inilah yang perlu di undang masuk untuk menghuni pusat industri kreatif di Yogyakarta,” ujarnya.

Dua Bentuk Dukungan

Untuk merealisasikan mimpi industri tersebut agar lebih mantap lagi, industri kreatif perlu dikembangkan dalam arah yang berbasis lapangan kreatif dan budaya, perusahaan kreatif dan hak kekayaan intelektual. Menurut beliau, industri ekonomi kreatif pun perlu didukung dengan dua cara.

(dari kiri): Emmanuel Setyawan, George Marantika, Lauren Anderson, Gonul Serbest

Pertama dengan pemberdayaan kreatifitas SDM, misal melalui sistem pendidikan/pelatihan yang mendorong mereka untuk meningkatkan kontribusi dalam semua sektor perkembangan, pembentukan dan pengembangan ruang sektor kreatif untuk menumbuhkan dan mengelola kreativitas, iptek dan seni budaya, meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kekayaan hak intelektual, menyediakan infrastruktur teknologi yang memadai untuk informatika dan teknologi, meningkatkan kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dengan industri ekonomi kreatif.

Kedua adalah pengembangan iklim usaha yang kondusif untuk berkembangnya usaha ekonomi kreatif yang berdaya saing. Dapat melalui peningkatan pembiayaan bagi usaha ekonomi kreatif dengan pengembangan skema pembayaran perbankan, perlindungan, peningkatan dan pemberdayaan sumber daya alam dan budaya sebagai bahan baku, perlindungan dan pemanfaatan kekayaan hak intelektual, penyediaan infrastruktur, pengembangan standardisasi dan praktek usaha yang baik untuk usaha ekonomi kreatif dan karya kreatif, peningkatan pemasaran dan promosi karya kreatif di dalam negeri dan di luar negeri antara lain dengan optimalisasi kerjasama antara Victoria dengan Yogyakarta, dan penguatan regulasi bagi perkembangan usaha ekonomi kreatif.  

Beliau menilai untuk mencapai kerjasama yang optimal diperlukan kerjasama Government to Government sebagai payung kerjasama agar Private to Private dapat berjalan dengan baik antara Victoria dan Daerah istimewa Yogyakarta.

Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X melakukan kunjungan ke beberapa stand

Kolaborasi Yogyakarta – Victoria

Dalam salah satu sesi talkshow yang diadakan pada hari itu, para panelis juga membahas tentang potensi untuk berkolaborasi. George Marantika, Presiden Indonesia Australia Business Council cabang Yogyakarta, asosiasi bisnis yang berbasis di Indonesia yang berperan dalam mewakili kepentingan sektor bisnis swasta dalam hubungan Indonesia dengan Australia, yang juga berperan dalam pembentukan hubungan perdagangan bebas antara Indonesia dan Australia (IA-CEPA) mengutarakan bahwa sektor edukasi menjadi kunci utama dalam dapat berkembangnya kolaborasi antara Victoria dengan Yogyakarta. Menurutnya, Yogyakarta memiliki keunggulan dimana sektor edukasi terutama di perkuliahan telah menginkubasi kreatifitas dan inovasi dan menjadikan daerah tersebut tempat yang menjanjikan untuk industri software, menghadirkan salah satu industri yang menarik untuk berkolaborasi bersama.

Gonul Serbest, CEO Global Victoria Department of Jobs, Precincts and Regions, badan yang beroperasi di bawah Pemerintah daerah Victoria dengan peran memfasilitasi hubungan perdagangan internasional mencakupi investasi dan ekspor antara Victoria dengan luar negeri, pun menambahkan bahwa sektor edukasi telah menjadi sektor ekspor terbesar bagi Australia. “1 in 8 of University students in Australia are International students, so there is a rich pool of talents and ideas converging here,” ucapnya.

Besarnya sektor kesenian di Victoria dicontohkan dengan National Gallery of Victoria yang masuk dalam daftar top 20 art galeri paling dikunjungi di dunia dan hubungan yang dekat dengan Indonesia dalam sektor kesenian diperlihatkan dengan karya yang berasal dari Indonesia dipamerkan di Arts Centre Melbourne beberapa tahun belakangan, hubungan penting dalam level institusional dapat berperan penting dalam berkembangnya industri ekonomi kreatif kedua daerah menurutnya.

Karya Salam Rancage yang terbuat dari bahan daur ulang

George juga berharap melalui kerja sama Victoria dan Yogyakarta dalam sektor ekonomi kreatif, Australia dapat menjadi alternatif baru dalam pasar modal dimana Indonesia menghadapi ketergantungan terhadap Hong Kong dan Singapura. “There is a concept in IA-CEPA called Third Market opportunity, that means how Victoria and Yogyakarta can think things together, make things together and market them together globally. And there is an ecosystem in Victoria that is very powerful and that is the ability to not just innovate but to then basically create the aspect of intellectual properties and take it to investors and applying it to the Australian stock market as an opportunity to further develop the business,” harapnya.

Laura Anderson, CEO Launch Vic, sebuah badan yang didirikan pemerintah Victoria dengan tujuan mendukung dan mengembangkann ekosistem startup di Victoria, juga mengutarakan beberapa hal yang sedang digagasnya. “I’m very involved and it’s one of the things I’ll be doing in the next month in a half is look at what I like to call it the Digital AI Governance, and there’s a number of different forms, so I’m working with a number of different stock exchanges around the world on the future of access to capital and that’s something that we might be able to lead in with instead of just follow, we can do that perhaps as a joint initiative,” tuturnya.

Pemberdayaan Perempuan

Dalam sesi talkshow selanjutnya, beberapa panelis membagikan pengalaman mereka sekaligus membahas perkembangan inovasi Indonesia dalam industri kreatif. Salah seorang panelis, Aling Nur Naluri Widianti, ialah pendiri Salam Rancage – sebuah usaha sosial yang beroperasi di Jawa Barat dengan konsep sustainability dan menghasilkan kerajinan tangan yang telah diekspor ke luar negeri. Kata “Salam” sendiri memiliki arti damai dalam hidup dan “Rancage” berarti kreatif dalam bahasa Sunda.

Batik karya TIRAY Art Javanese Batik dari Yogyakarta

Berawal dari keresahan akan banyaknya sampah di kebanyakan perkampungan di Tanah Air, Salam Rancage didirikan di Bogor untuk memberikan pemasukan dan meningkatkan kepercayaan diri bagi wanita dan warga di komunitas sekitar dengan menghasilkan karya kerajinan lokal dan meminimalisir dampak kerusakan terhadap lingkungan, salah satunya dengan mendaur ulang.

Sekitar 97 ibu rumah tangga dari 5 desa di Bogor bekerjasama Salam Rancage menghasilkan kerajinan tangan bercitra Indonesia dan sudah diekspor ke luar negeri. 100% hasil penjualan diberikan kepada para pembuat karya, dan salah satu contoh cara penjualan adalah melalui sebuah komunitas fresh market bernama Pasar Dongko yang mendistribusikan produk hasil berkebun warga Gang Kodir.

Aling percaya bahwa setiap wanita berhak dilihat sebagai kaum yang mampu berkontribusi besar dan berwibawa. “It’s amazing to see their work, and see them learn so hard to be an artisan, so this is more than just a business, this is about how the unseen women from unseen corner of Indonesia can change the whole world, I hope this inspires us,” ucapnya dengan kagum.

Peta industri animasi Indonesia yang digagas Profesor M. Suyanto

Industri Film

Selain melalui kegiatan sosial, pergerakan di industri kreatif di Indonesia juga dapat terlihat di sektor perfilman. DR. Jemma Purdey, direktur ReelOZInd!, sebuah festival dan kompetisi film pendek Australia dan Indonesia yang dimulai tahun 2016, mengungkapkan bahwa ada kecenderungan dimana walaupun kedua negara berdekatan, banyak hal yang Australia masih tidak tahu tentang Indonesia dan sebaliknya dalam persoalan budaya, maka ReelOZInd! pun didirikan untuk memberikan akses kepada orang muda terhadap budaya dari kedua negara melalui komunikasi visual. Langkah tersebut diambil karena orang muda Indonesia sangat aktif secara digital, dan dengan suksesnya perfilman pendek Indonesia dalam beberapa tahun belakangan secara level internasional digabungkan dengan besarnya minat terhadap fillm pendek di kalangan Australia dengan budaya perfilman yang kental.

We found that with the internet, the technology to connect us, has been a facilitator for a competition like this. There are platforms out there that allow you to breed films together and to do all kinds of process that you need, so we tapped into that. And as an early adopters, Indonesians were there to grasp first. So in our first year of ReelOZInd!, we had more submissions from Indonesia, percentage was well above 70%. I think primarily because Indonesians are always switched on. Over the years we’ve built the brand, told Australians about it, now we’re around 50/50 in our submissions which is fantastic,” ujarnya tentang minat partisipasi dalam kompetisi film pendek tersebut dari Indonesia dan Australia yang meningkat. Jemma juga percaya bahwa melalui kolaborasi antar Australia dan Indonesia, kesadaran di kalangan Indonesia tentang pentingnya perlindungan hak cipta terhadap sebuah karya kreatif dapat ditingkatkan.

Peserta panel diskusi aktif bertanya

Sektor animasi di Yogyakarta pula tidak bisa dipandang sebelah mata. Terbukti melalui debut Professor M. Suyanto, rektor universitas Amikom yang juga merupakan seorang produsen film animasi, dengan salah satu karyanya yaitu “Battle of Surabaya” (2015) memenangkan beberapa penghargaan internasional. Dalam Amikom University sendiri mereka memiliki Creative Economy Park, sebuah kompleks yang didirikan lengkap dengan fasilitas dan institusi untuk pengembangan serta pemberdayaan kreativitas.

Studio animasi yang diperkenalkan oleh Suyanto kepada hadirin adalah MSV Studio, yang juga merupakan studio yang membuat “The Battle of Surabaya”. Selain memiliki kantor di Yogyakarta, MSV Studios juga memiliki perkantoran di Los Angeles, Amerika Serikat, dan bekerjasama dengan studio asal Tiongkok, Castalia Entertainment Group. Beliau hadir dan mempresentasikan beberapa karya animasi yang sedang dipekerjakan MSV Studio, yaitu “Ajisaka: The King and the Flower of Life”, “Crescent Light” dan “The Golden Snail”. Prof. Suyanto berharap Yogyakarta dapat juga berkolaborasi dengan Victoria di sektor animasi.

Selain talkshow, terbuka kesempatan silaturahmi yang lebar bagi para hadirin untuk menggali potensi kerjasama melalui sesi business matching yang difasilitasi Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC) Sydney.

Apa Kata Mereka

Bagas Ananta, pendiri K24Klik.com

Ini merupakan kolaborasi antara pemerintah Victoria dengan Yogyajarta, jadi dapat insight dari pemilik-pemilik usaha di Jogja, mempresentasikan apa yang bisa dikolaborasikan bersama antara government to government, in the end jadi it’s up to the individual business untuk menentukan langkah selanjutnya. Ini merupakan langkah awal dalam kolaborasi antara Victoria dan Indonesia. Harapan semoga dengan adanya ini dapat menambah confidence antara business di Australia untuk berkolaborasi atau partnership dengan bisnis-bisnis di Indonesia dengan adanya MOU antara Victoria dan Australia dengan Indonesia, agar bisnis di Australia lebih confident untuk kerjasama dan mengembangkan bisnis bersama.

Thomas Rizal Trika, Business Solutions & Development Manager di Unique Micro Design

Happy bisa datang hari ini, walaupun pemberi tauhannya agak telat. Mungkin lain hari bisa dipromosiin gitu, karena komunitas Indonesia makin banyak. Dari sesinya sendiri senang, karena informatif. Dukungan dari konjen terus datang, dan juga Sultan datang bawa delegasi, itu luar biasa. Ada yang juga dari Global Vic, Launch Vic, City of Melbourne, semua datang. Itu memperlihatkan bahwa Indonesia mulai dipandang lebih serius. Saya pikir ini satu rangkaian acara yang bagus. Saya baru balik lagi 3 tahun terakhir, setahun terakhir velocitynya makin cepat, dengan AIBC, kemarin City of Melbourne ngadain acara, makin banyak. Harapan tentunya mau acara-acara kayak gini, linkagesnya antara bisnis Indonesia dengan Australia terutama Victoria dengan Indonesia dan sebaliknya semakin kencang. Tapi kita butuh platform. Fasilitasinya tolong jangan berhenti di sini, kita ingin ada akses ke modal, akses ke legal, akses ke branding dan seterusnya. Karena bikin bisnis di sini tidak semudah mudah itu, tapi bukan berarti tidak mungkin. Kalau bisa ada satu organisasi terutama yang sangat pro dengan bisnis yang dimiliki orang Indonesia di sini di Victoria, bagus banget, bisa di guide

Denis