Lahir di tahun 1933, Syahisti Abdurrachman telah merasakan hidup di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Di usianya yang ke-86, suaranya masih mengudara di Melbourne karena keaktifannya sebagai seorang relawan di Radio 92.3FM Triple Z.

Di rumahnya yang berlokasi sekitar 16 km dari pusat kota Melbourne tepatnya di bilangan Mt. Waverley, Syah menyambut hangat 19 orang anggota dan non anggota Museum of Indonesian Arts (MIA), organisasi tempat orang-orang yang tertarik dengan Indonesia berkumpul dan beraktivitas bersama sejak tahun 2009.

Saturday Afternoon Encounter with Indonesia, atau Pertemuan Sabtu Sore dengan Indonesia adalah judul dari sebuah acara sederhana namun bermakna yang dilakukan tiap bulan oleh organisasi yang telah menyelenggarakan lebih dari 20 pameran, workshop dan forum itu.

Syah Abdurrachman, demikian masyarakat Indonesia di Melbourne mengenal wanita berambut pendek dengan senyuman hangat, berbagi cerita tentang kehidupannya sebagai seseorang yang tumbuh di keluarga Jawa kental delapan dasawarsa lalu. Sesi tersebut dinamai “Growing Up Javanese”.

“Kami tumbuh di era penjajahan Belanda, dikirim ke sekolah masa itu juga dan pada masa itu belum ada mobil, telepon, tidak ada apa-apa,” kata Syah yang memiliki tujuh orang saudara.

“Kami harus ke sekolah naik dokar. Sebagai anak ketiga, saya yang biasanya pergi bersama ibu saya naik dokar.”

Syahisti Abdurrachman

MEMBATIK DENGAN NENEK

Cerita Syah melayangkan pikiran dan imajinasi pendengar pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia saat Syah masih sangat belia. Salah satu ingatan terpentingnya adalah ketika ia suka menolong neneknya yang gemar membatik.

“Saya tertarik membuat batik karena melihat gambar kupu-kupu dan bunga. Saya bertanya padanya, ‘Eyang, lihat kupu-kupunya. Tidak ada yang seperti itu.’ Saya bilang ke nenek saya waktu usia saya tujuh tahun. Dan dia menjawab, ‘Oh, itu kreasi saya. Jadi karena begitu, kupu-kupu bisa berbeda bentuk dan juga ukuran.”

“Menurut Nenek, kreativitas dibatasi oleh kurangnya imajinasi,” tulis Syah dalam buku biografi kalangan sendirinya berjudul “Spice of Life” yang dibungkus cantik oleh sampul bermotif kain batik yang dibuat neneknya dalam cerita itu.

“Nenek Soerjo membuat batik-batik yang cantik dan saya senang sekali membantunya. Saya biasanya menunggui pembakar arang kecil, mengipasinya agar api terus menyala lilin batik panas.”

Perempuan yang memiliki tiga orang anak yang tinggal di benua berbeda itu mengatakan di zamannya, semua perempuan harus bisa membatik. Namun, Syah mengaku dirinya adalah seorang tomboi karena suka memanjat pohon waktu belia, mengatakan dirinya kurang pandai membatik.

“Ibu saya bilang saya tidak jago. Yang jago hanya adik perempuan saya yang paling kecil.”

Foto bersama anggota MIA

MENURUNKAN KE ANAK

Identitas Jawa Syah sudah sangat melekat dalam dirinya hingga ketika sudah berkeluarga dan dikaruniai tiga anak perempuan, prinsip mendidik dari sang bunda pun ia turunkan kepada mereka.

“Saya memberitahu ibu saya, tepat sebelum dia meninggal dunia sebenarnya, bahwa saya selama itu menggunakan sistem berkomunikasi dengan anak yang ia terapkan, ‘Menjadi seorang ibu atau ayah itu seperti menerbangkan layang-layang.’,” cerita perempuan bernama panggilan Noek ini.

“Kalau layang-layang itu seolah-olah terbang menuju atap rumah, Anda harus menariknya pelan-pelan dari atap itu. Oh, dan kalau layang-layang itu menuju pohon besar, Anda hindarkan ia dari pohon itu. Dan, saya rasa itu adalah metode yang sangat bagus untuk mengajar anak.”

Kepada Ria, Yanti, dan Wati, Syah mengajarkan prinsip yang terdengar sederhana namun manjur tersebut. Salah satunya adalah ketika Ria yang adalah anak sulungnya berubah pikiran dari keyakinan akan belajar sinematografi menjadi belajar Bahasa Indonesia.

Hadirin terhanyut dalam kisah hidup Syah

“Ia merasa minder setiap kali murid kelas Bahasa Indonesia saya di University of Melbourne datang ke rumah untuk mempraktekkan dan belajar Bahasa Indonesia sambil makan malam bersama,” kata Syah.

“Seru sekali sebenarnya, Ria itu lebih condong ke [budaya] Australia. Tapi dia berkata, ‘murid ibu suka sekali ya Bahasa Indonesia. Saya rasa saya akan pindah ke Monash University dan belajar Bahasa Indonesia.”

“Saya bahkan tidak bilang apa-apa padanya. Ini seperti menerbangkan layang-layang; bersenang-senang dan menunjukkan kepadanya harus ke arah mana tanpa berkata apa-apa. Inilah yang terjadi dengan anak saya dan dari mereka ke anak-anak mereka juga,” tambahnya.

SEMUR AYAM VEGEMITE

Hidup Syah berubah ketika suatu hari ia mendengar ketukan pintu saat sedang belajar untuk ujian sekolah di tahun 1956. Mendengar suara mengganggu itu, ia berteriak, “Pergilah. Saya tidak mau diganggu! Kamu tahu kan saya sedang belajar untuk ujian?”

semur ayam vegemite

“Biarkan saya masuk, ada sesuatu yang mau saya tunjukkan,” kata kakaknya, Hoedi, menurut tulisan Syah di buku Spice of Life.

Pemberitahuan dari kakaknya tersebut ternyata adalah tentang peluang bekerja sebagai seorang penyiar radio di ABC Australia yang pada saat itu sedang mencari penyiar untuk program Indonesia. 

“Di bangku kuliah, saya sudah bekerja paruh waktu sebagai penyiar di Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Kakak saya pikir latar belakang radio saya digabung dengan ‘kemampuan berbahasa Inggris’ yang tidak buruk adalah kualifikasi yang baik.”

Syah pun terpilih menjadi salah satu dari 35 orang yang lolos seleksi menggeser 475 orang lainnya. Sejak saat itu, kehidupannya di Negeri Kanguru dimulai.

Para pendengar dalam sesi Saturday Afternoon Encounter terkejut saat mendengar bahwa dirinya pernah membuat semur ayam dengan Vegemite, selai khas Australia, sebagai pengganti kecap manis. 

“Saya menggunakan Vegemite dan gula merah dan jadilah semur ayam. Banyak teman saya yang mencicipi bilang, ‘Ah, kamu pasti bohong’.”

Ia menceritakan bahwa hal ini terjadi karena langkanya bahan masak Indonesia pada masa itu di Australia.

Piring-piring kecil berwarna putih diedarkan di seluruh ruangan bagi para tamu untuk mencicipi semur ayam buatan Syah sebelum diminta untuk menebak apakah hidangan tersebut menggunakan Vegemite. Seketika, para tamu tahu bahwa makanan tersebut menggunakan Vegemite.

Percakapan bergulir hingga berjam-jam lamanya tanpa keluhan satupun dari mereka yang hadir di rumah berdekorasi adat Jawa sore itu. Rasa penasaran pendengar yang kian bertambah mendekati ujung hari disuarakan sambil menikmati hidangan kue Belanda, yang terkenal di masa kecil Syah, dan teh serta kopi. 

APA KATA MEREKA

SRI SOERADINATA
Anggota Organisasi Lansiana

Saya tahu acara ini dari e-mail yang dikirim ke anggota senior klub makanya saya dan suami bisa datang menghadiri ceramah Ibu Syah tadi.

Kita kenal Ibu Syah lebih baik karena beliau menguraikan riwayat hidupnya dengan cukup rinci, di sisi lain kami bisa tahu adat istiadat Bahasa Jawa melewati uraiannya. Cukup menarik. Jadi dalam masyarakat Jawa, waktu beliau tumbuh besar diharuskan tahu cara berpakaian misalnya, mengenakan kain dan kebaya, kemudian juga tahu tentang kalau misalnya remaja melancarkan haid, misalnya harus minum kunyit yang diparut dan ditambah madu dan air jeruk sedikit. Macam-macam yang diuraikan tadi.

Kita dapat dengan nyaman mendengarkan uraian Ibu Syah tadi dan mendapat kesempatan tanya jawab. Saya mau juga datang lagi kalau ada acara seperti ini.

SANGKOT MARZUKI
Presiden AIPI di Indonesia

Saya sebenarnya bagian dari komunitas ini. Walaupun saya jarang muncul tapi saya sering mengikuti. Jarang muncul karena saya sering di Indonesia. 

Ini bukan pertama kali saya ikut. Jadi bervariasi dan formatnya agak beda-beda. Yang variasi ini justru bagus. Jadi sangat personal, informal dan sebagainya. Acara terakhir yang saya ikuti mengenai kain Sumba, itu personal tapi bukan mengenai diri yang membawakan waktu itu. Itu berbicara mengenai pengalaman mereka hidup di Sumba. Bervariasi sekali, bukan formal namun tersusun. Saya kira variasi itu bagus. Mudah-mudahan saya bisa tetap ikut.

Nasa