Home BUSET EKSKLUSIF Sampah Teluk Jakarta ke National Gallery of Australia | Karya Seni Tita Salina

Sampah Teluk Jakarta ke National Gallery of Australia | Karya Seni Tita Salina

0
Sampah Teluk Jakarta ke National Gallery of Australia  | Karya Seni Tita Salina

National Gallery of Australia (NGA) di Canberra mengadakan exhibition bertajuk “Contemporary Worlds Indonesia” yang diadakan pada 21 Juni hingga 27 Oktober 2019. Pameran tersebut menunjukkan karya para artis kontemporer Indonesia yang berkarya sejak jatuhnya rezim Soeharto di tahun 1990.

Salah satu artis Indonesia yang karyanya mendapat apresiasi adalah Tita Salina. Melalui karya berjudul “1001st Island – The Most Sustainable Island in Archipelago 2015”, Tita mencoba menggambarkan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta masalah sosial di sekitar Teluk Jakarta.

Ditemui di kediaman sekaligus studio tempatnya bekerja di Kawasan Kalibata, Jakarta, BUSET berkesempatan berbincang mengenai “Pulau 1001”. Mari kita simak penuturan Tita Salina mengenai 1001st Island yang pamerkan di NGA.

Karya seni Tita Salina di National Gallery of Australia

Sampah Jakarta dan Proyek Reklamasi

Jadi awalnya saya membuat 1001 pulau ini dari tahun 2015, commission dari Jakarta Biennale, yang salah satu temanya adalah tema air. Saya sendiri juga mempunyai ketertarikan dengan issue ekologi. Berawalnya sama masalah sampah sendiri, karena sampah itu berakhirnya di laut, dan apalagi di Jakarta, sungai – sungainya terhambat sampah.

Penelusuran saya ke beberapa ruang sungai di Jakarta itu ya sampah – sampah itulah yang ditemukan. Hasil temuan lain waktu saya melakukan riset, ternyata di Teluk Jakarta itu banyak perkampungan nelayan dan secara tidak sengaja saya melihat proyek reklamasi. Saya juga bertemu dengan beberapa aktifis lingkungan dan beberapa urban expert di Jakarta, sehingga saya jadi tahu lebih jauh tentang proyek reklamasi ini. Saya juga melihat giant seawall yang dibuat untuk menyelamatkan Jakarta dari banjir.

Jadi ada gap yang besar, karena masalah sampah adalah persoalan seumur hidup tapi ternyata pemerintah bersama developer memikirkan hal yang sangat utopis, mereka membuat pulau buatan di laut Jawa tapi mereka melupakan masalah dasar, yaitu sampah ini.

Saya akhirnya mendapatkan ide untuk membuat pulau dari sampah saja karena sampah banyak ditemukan di pinggir laut.

Sehingga saya mulai mengumpulkan sampah, bersama nelayan setempat di Kali Adem, Jakarta Utara. Rata – rata sampah plastik dan stereofoam yang mengambang. Dikumpulkan selama dua minggu lalu dimasukkan ke jala nelayan. Sampah ini kemudian diseret oleh jala nelayan dan dibawa ke tengah Kepulauan Seribu. Jadi nama “1001st island” itu awalnya diambil dari komplek Kepulauan Seribu ini dan saya menambahkan satu pulau (pulau sampah).

Pulau buatan yang terdiri dari sampah plastik dan stereofoam

Berangkat dari Desain Grafis

Sebenarnya issue yang lainnya juga masalah kemanusiaan. Kalau lingkungan rusak kan manusianya juga akan terdampak. Kalau bicara soal proyek ini sebenarnya tidak hanya bicara soal lingkungan. Bukan hanya sampah, tetapi juga perkampungan nelayan yang akan tersingkir.

Sebenarnya ketertarikan saya dengan issue – issue ini sudah cukup lama. Saya berangkat dari background graphic design, bukan seni. Awalnya saya membuka praktek desain grafis dan bekerja profesional dengan Irwan Ahmett, suami saya. Selama bekerja sebagai designer saya banyak mengerjakan dan mendapat pekerjaan dari Non Governmental Organisation (NGO), sehingga sudah cukup akrab dengan masalah – masalah sosial. Dari situlah saya merasa terpanggil. Kalau graphic design itu kan ada client kita sebagai pembuat materi, sudah sampai di situ. Tapi, kita ingin melakukan sesuatu yang lebih, ingin melihat di lapangan seperti apa sih.

Saya terjun ke seni sendiri itu tahun 2010. Saya benar – benar membuat proyek sendiri tahun 2010 tentang Jakarta. Lebih ke social experiment. Waktu itu karya saya bercerita tentang Jakarta sebagai kota dimana banyak orang stress, jadi bagaimana kita warga Jakarta sendiri yang sudah frustasi dengan kotanya mencoba melihat Jakarta dari sisi lain, melihat Jakarta as a playground. Saya dan suami akhirnya membuat beberapa video tentang itu.

Karya lainnya yang menarik perhatian

Perjalanan Ke Canberra

Awal saya ke NGA, saya direferensikan oleh Alia Swastika, kurator independen dari Yogyakarta yang co-partnering dengan kurator NGA. Karena saya seniman independent, saya tidak direpresentasikan dengan galeri atau lembaga apapun. Jadi merepresentasikan diri sendiri.

Untuk pameran di NGA, Australia meminta sampahnya dari Jakarta bukan Australia. Hampir 2 -3 bulan saya memproduksi sampahnya. Requirement Australia juga mengharuskan saya mengumpulkan sampah plastik yang bersih. Jadi pelan – pelan saya mengumpulkan sampah, minta sama pengumpul dan minta dipilihkan sampah plastik yang bersih, yang kemudian dicuci lagi di sini. Lalu ketika volume sudah mencukupi dikirim dan direkonstruksi di Australia.

Saya bawa dalam bentuk kantong – kantong ke Australia. Karena pulau sampahnya sendiri lumayan besar sekitar 3 x 6 m. Saya bekerjasama dengan tukang bambu juga di sini karena bagian bawah dikasih bambu, lalu dikemas jadi sedemikian rupa biar gampang. Lumayan rumit karena harus dikirim lebih awal, harus melewati custom dulu. Sampai di imigrasi, yang sampah dibekukan dulu. Bambu juga dipastikan tidak ada hama dan lain sebagainya.

Tapi ujung – ujungnya ada hal menarik yang saya temui yaitu Australia adalah negara yang membawa sampah ke Indonesia. Tapi saya bisa claim bawa sampah dari sini ke Australia jadinya.

Saya di Canberra hanya 5 hari untuk pembukaan, sempat ada talk singkat pada saat opening sekitar 3 hari. Karena tinggal di Canberra dan jadwalnya padat pengalamannya banyak ketemu orang saja. Setiap hari ke galeri – hotel saja. Selang sebulan saya ke Sydney tapi untuk acara yang berbeda.

Seni Kontemporer Tanah Air

Kalau karya seni kontemporer – karena saya praktik di situ, di Indonesia boomingnya setelah reformasi. Kalau sebelum reformasi seni itu kan sangat jauh dari politik dan sangat jauh dari kritik sosial, hanya sebagai sebuah aesthetic saja dan sangat sengaja dibuat seperti itu. Kalau bicara jauh sebelum Soeharto, pada jaman Soekarno beliau dekat sekali dengan seniman – seniman, dan dia mempergunakan seniman untuk menyuarakan politik salah satunya, seperti Affandi yang sangat dekat dengan Soekarno. Kalau sekarang setelah reformasi, seni diberi kebebasan jauh lebih luas, jadi bisa bicara apa saja.

Boleh dibilang sekarang Indonesia sudah bisa mengekspresikan imajinasi. Jadi bisa dibilang kalau sekarang seni di Indonesia paling maju di antara negara – negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapore. Thailand masih ok. Tapi dibanding Malaysia terutama kita masih lebih unggul karena mereka masih konservatif. Lalu Indonesia juga diuntungkan dengan kebhinekaannya dan craftnya juga tinggi dari dulu kan. Ya memang Indonesia bangsa yang punya budaya tinggi dari dulu.

Tita di depan kediaman dan studio di Jakarta Selatan

Indonesia di Australia: Jangan Hanya Batik dan Gamelan

Menurut saya kalau hubungan Indonesia sama Australia kan dekat tapi jauh, jauh tapi dekat. Saya juga kaget waktu tahu bahwa pemahaman warga Australia tentang seni Indonesia itu masih tradisional. Mungkin karena warga Indonesia yang di Australia juga yang turut membangun image itu. Maksudnya batik lagi, batik lagi, gamelan lagi, gamelan lagi. Masih belum beranjak dari situ.

Padahal kalau dilihat dari sejarah seniman –  seniman Indonesia yang pernah pameran ke Australia dan residensi di Australia itu cukup banyak. Saya juga pernah diskusi sama teman. Australia secara institusi kan established ya. Mereka kan juga head to head-nya sama Amerika. Sebenarnya kalau mau dilihat mindsetnya barat banget. Padahal mereka itu Pasifik. Eropa juga enggak. Jadi karena lembaga – lembaga seperti museum dan galeri itu sangat established mereka berhenti di dalam gedung itu saja. Seperti NGA, di gedung itu kita bisa melihat seluruh isi dunia. Tapi setelah keluar Gedung, sudah. Tidak tercermin itu dan tidak terefleksikan di kehidupan sehari – harinya.

Waktu di Canberra juga bertemu beberapa orang Indonesia yang tinggal di sana, tapi rata – rata mereka yang dekat seni dan budaya sehingga punya kesan yang sama, sense yang sama. Mereka paham sekali kalau Indonesia masih jauh, Indonesia itu as a tradition gitu, belum beranjak dari itu. Seperti terjebak, padahal sekarang ini sudah berbeda seharusnya horizonnya lebih terbuka apalagi untuk yang tinggal di negara maju seperti Australia, seharusnya memiliki kesempatan untuk melihat lebih. Walaupun Australia sendiri sebagai negara juga bermasalah dan punya sejarah kelam, seperti persoalan Aborigin.

Niar