Di sisi kanan panggung di dalam ruangan bercahaya minim, tampak seorang pria mengenakan batik coklat dan kacamata berbingkai hitam duduk dalam diskusi bertema “The Fifth Estate: The Future of Indonesia” bersama satu orang pembicara lainnya dan seorang moderator.
Laki-laki yang vokal dalam menyampaikan pikiran namun sabar mendengarkan pendapat pembicara lainnya itu adalah Andreas Harsono – wartawan, peneliti lembaga penelitian internasional hak asasi manusia berbasis di New York, mantan penyunting majalah Pantau dan penyuka musik.
Selesai menyumbang pemikiran dalam sesi pembicaraan di Melbourne Writers Festival Agustus lalu, laki-laki kelahiran Jember tahun 1965 ini terlihat sedang menandatangani buku bersampul merah berjudul “Race, Islam and Power” – proyeknya selama 15 tahun, di lobi State Library of Victoria.
Dengan raut muka penasaran namun gestur ramah, Andreas menerima sambutan dari wartawan BUSET dan dengan mudah setuju ketika ditanya apakah bersedia diwawancara untuk dibuatkan sebuah profil.
Ternyata mantan wartawan The Jakarta Post di tahun 1993 sampai 1994 ini punya pandangan dan cerita menarik seputar perjalanan karirnya selama 30 tahun. Ia pun punya pesan bagi wartawan Indonesia di Melbourne yang bunyinya tidak biasa.
“Saya kira wartawan Indonesia perlu belajar untuk menulis kritik bagi sesama wartawan,” ucapnya dengan nada yakin dalam sebuah wawancara berdurasi 10 menit di hari Sabtu itu.
“Anda harus belajar mengkritik saya, misalnya. Kan banyak wartawan yang kacau, suka terima ‘amplop’.”
Andreas membuka wawancara dengan jawaban tentang bagaimana anak pertama dari sepuluh bersaudara ini sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari kaum minoritas di Indonesia sejak dari kecil dan bagaimana ia sadar harus melakukan sesuatu demi menembus batas yang diciptakan masyarakat itu.

TERINSPIRASI DISKRIMINASI
Andreas yang mengatakan sering terkena diskriminasi merasa kesal tapi tidak berdaya karena hanyalah seorang anak kecil di masanya.
“Waktu itu diskriminasinya meluas. Saya tentu tidak senang. Siapa sih suka didiskriminasi?” katanya.
Perlakuan tersebut ia lawan dengan cara halus – membaca buku dari penulis-penulis terkemuka seperti Mochtar Lubis, Soekarno, Albert Camus, dan lainnya. Kebiasaan ini ia bangun dengan melakukannya setiap saat demi sebuah mimpi untuk suatu hari menjadi seperti para penulis tersebut.
“Saya ingin melawan tapi anak kecil jadi tidak bisa apa-apa. Cuma, saya suka baca buku. Saya sekolah di SMA yang bagus. SMA Katolik St. Albertus. Dari sana saya pikir nanti kuliah saya masuk tempat yang dimana saya bisa seperti orang-orang ini.”
Kebiasaan membaca ini terus ia kembangkan dengan dukungan koleksi perpustakaan sekolah yang terletak di Malang tersebut. Pria yang pernah belajar selama setahun di Harvard University itu mengatakan merasa beruntung karena mendapat akses ke sebuah perpustakaan bermutu di masa kecilnya.
“Mereka praktis punya semua coffee table book dari Time. Saya baca banyak buku soal Perang Vietnam yang berakhir enam tahun sebelumnya dengan kekalahan Amerika Serikat di Hanoi. Saya juga mulai membaca buku dalam Bahasa Inggris: Albert Camus, Baruch Spinoza, Immanuel Kant, John Stuart Mill,” tulis Andreas dalam situs blognya.
Tahun 1984 adalah saat di mana orang Tionghoa masih sulit untuk menembus universitas negeri sebagaimana ingatan Andreas. Kendatipun, ia berhasil diterima di Universitas Kristen Satya Wacana dimana ia bertemu dengan Arief Budiman, kakak dari aktivis Tionghoa, Soe Hok Gie yang pada waktu itu menjadi dosen di sana dan suka memberikan nasehat.
Saat itu, laki-laki yang makanan favoritnya adalah petai ini sedang mempelajari jurusan Teknik Elektronika namun juga terlibat secara aktif dalam dua majalah kampus, yaitu majalah Imbas dan tabloid Gita Kampus.
“Di universitas itu saya kenal dengan orang seperti Arief Budiman yang mengarahkan saya, daripada kamu frustasi lebih baik kamu berbuat untuk orang banyak tanpa pandang agama, suku, kebangsaan, perempuan atau laki-laki, orientasi seksual dan lain-lain.”
Nasehat dari pengajar di UKSW dari tahun 1985-1995 ini pun melekat di benak Andreas yang lalu membulatkan tekadnya untuk menjadi pembela hak orang banyak tanpa pandang bulu.
“Saya kira pengarahan dari Arief ini benar, sehingga dari kuliah saya memutuskan kalau saya mau menjadi orang yang membela hak orang banyak, bukan orang Tionghoa saja. Bukan hanya misalnya, Konghucu atau Kristen, tapi semua agama tanpa pandang bulu.”
MENULIS TENTANG MINORITAS
Di dalam blog-nya, Andreas mengatakan suka menulis tentang kebebasan beragama, kebebasan pers dan prinsip non-diskriminasi.
“Saya suka menulis tentang isu ras atau orientasi seksual, LGBT, soal perempuan saya pernah melakukan liputan tentang apa yang disebut tes keperawanan, yang tidak ilmiah, diskriminatif dan traumatis.”
Topik Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer (LGBTIQ) menjadi kesukaannya sebagai laki-laki heteroseksual. Ia mengatakan tidak tahu bahwa orang dengan orientasi seksual gay atau lesbian mengalami tekanan sosial yang luar biasa, sebelum bertukar pikiran dengan anggota komunitas tersebut.
“Jadi sambil menulis tentang mereka, mewawancarai mereka, saya jadi tahu penderitaan mereka. Banyak yang tidak berani coming out, banyak yang gay tapi tetap menikah. Menurut orang LGBT di Jakarta sekitar 80 persen laki-laki gay di Indonesia itu menikah. Ini kan malah membuat istri dan anak menderita,” kata pria yang pernah menjelajahi dari Sabang sampai Merauke itu.
“Atau saya tahu bahwa kebanyakan trans itu diusir dari keluarganya, tidak diterima dan harus lari, tidak punya KTP, tidak bisa sekolah dan akhirnya jadi pekerja seks. Jadi itu sangat mengharukan buat saya.”
Selain minoritas gender, pria yang dulu suka bermain musik dan bermimpi untuk sekolah di Berklee College of Music itu juga suka menulis soal minoritas agama di Indonesia. “Minoritas dalam Islam, termasuk Ahmadiyah dan Syiah, minoritas non-Islam namun agama-agama yang dilindungi di Indonesia termasuk Protestan, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu,” tulisnya dalam blog.

TAHU DAN BERANI
“Kalau menulis harus tahu. Jangan menulis sesuatu yang kita tidak tahu,” jawab Andreas ketika ditanya prinsipnya sebagai seorang penulis.
“Satunya harus berani. Kalau kita tahu tapi tidak berani, kita tidak berguna bagi masyarakat. Sedangkan kalau kita berani tapi tidak tahu, malu-maluin atau malah bikin kacau.”
Menurutnya, seorang penulis harus memiliki pengetahuan yang dalam, tidak sekedar di permukaan, baca buku, cari informasi dan verifikasi.
“Dan kalau sudah tahu, biasanya makin tahu, makin bahaya. Di situ diperlukan keberanian.”
Tentang bukunya yang dikeluarkan oleh Monash University Publishing tahun 2019 berjudul “Race, Islam and Power” yang proses pembuatannya memakan waktu 15 tahun, Andreas mengatakan tetap merasa senang ketika menulisnya walau ada kendala uang.
“Senang saja. Saya bukan orang kaya ya, saya menulis lama karena tidak punya uang. Tapi saya suka [dengan prosesnya]. Belajar.”
Untuk menulis buku dengan sub judul “Ethnic and Religious Violence In Post-Suharto Indonesia” tersebut, ia menelusuri 90 tempat di Indonesia dimulai dengan Banda Aceh pada tahun 2003.
Untuk Indonesia, Andreas memiliki pesan humoris untuk menutup wawancara singkat di tengah kesibukannya hari itu.
“Berjuanglah agar trotoar di Jakarta atau Surabaya itu menjadi seperti [di] Melbourne. Serius. Kalau trotoar di Jakarta bisa kayak di Melbourne, kita sudah maju sekarang.”
Kini, Andreas yang memiliki dua orang anak masih sering mengunjungi New York untuk menghadiri pekerjaannya di Human Rights Watch. Ia tinggal di Jakarta bersama istrinya yang berasal dari Pontianak.
Nasa