Home BUSET EKSKLUSIF CATATAN SUTRADARA “KARTINI”

CATATAN SUTRADARA “KARTINI”

0
CATATAN SUTRADARA “KARTINI”

Aku mengenal Kartini ketika bu Lastri, guruku di Taman Kanak-Kanak Aisyiah Bustanul Attfal Kauman mengumumkan semua muridnya wajib mengenakan pakaian daerah pada tanggal 21 April. Saat itu aku masih berumur 5 tahun. Aku masih ingat Ibu sudah menyiapkan pakaian sorjan lengkap dengan blangkon dan jarit untuk merayakan hari bersejarah itu. Pagi itu, rupanya baju sorjanku kedodoran dan menjadi bahan tertawaan teman-teman sekelasku. Aku malu sekali. Aku mengutuk hari bersejarah itu sebagai hari yang tidak akan pernah aku kenang. Ternyata, hari itu justru ku kenang sebagai hari dimana aku mengenal sosok perempuan bernama Raden Ajeng Kartini.

Saat SMA, ketika sedang bergairah membaca buku-buku biografi, aku membaca buku Kartini karya Siti Soemandari. Juga kumpulan surat-surat beliau dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Sejujurnya, aku tidak selesai membaca buku itu. Tidak ada yang menarik disana. Dalam benakku, apa yang hebat dari seorang perempuan yang hanya bisa curhat lewat tulisan. Buatku seorang pahlawan adalah dia yang berjuang secara nyata. Berperang maupun berdiplomasi.

Mewujudkan sesuatu yang nyata: perubahan untuk lingkungannya. Aku tidak paham kenapa Pemerintah sangat menyanjung perempuan ini sampai hari ulang tahunnya menjadi momentum yang harus diperingati seluruh Indonesia dengan baju daerah. Tak ada Hari Cut Nya Dhien atau Dewi Sartika. Tak juga secuil gubahan lagu buat mereka. Tapi Kartini merebut perhatian melebihi pejuang-pejuang perempuan lainnya.

5 tahun kemudian kegelisahanku terjawab.

Aku menemukan buku Panggil Aku Kartini saja karya Pramoedya. Sejujurnya yang membuat aku tertarik membacanya karena judul yang sangat provokatif buatku. Panggil aku Kartini SAJA … aku tertarik dengan satu kata diakhir kalimat itu : SAJA. Seolah ada yang harus ditegaskan untuk memberikan arti pada sebuah nama. Semula aku pikir judul itu dari Pramoedya.

Ternyata aku salah. Kalimat itu diambil dari salah satu surat Kartini kepada sahabatnya, Stella Zeehandelaar. Seperti menemukan Terang dalam Gelap, aku mulai memahami sosok Kartini. Dia dipanggil Trinil … Burung kecil yang lincah dan selalu mengeluarkan suara nyaring alias cerewet. Sejak umur 4 tahun Trinil sudah dipisahkan dari Ngasirah, Ibunya; hanya karena sang ibu bukan seorang bangsawan. Ayahnya, RM Sosroningrat adalah seorang anak bupati progresif yang menikahi Ngasirah karena cinta. Sayangnya Ngasirah bukan gadis dari keluarga bangsawan yang bisa mengangkat derajat Sosroningrat muda menjadi bupati. Sosro harus menikahi Raden Ayu Moeryam, putri seorang raja Madura agar dirinya diangkat menjadi Bupati meneruskan trah ayahnya. Sejak balita Trinil sudah merasakan memiliki dua ibu dari dua kasta yang berbeda. Perbedaan kasta tersebut tak sekedar membuat Trinil berpisah dengan Ibunya. Tapi juga tak boleh memanggil Ngasirah dengan sebutan IBU. Sebutan IBU hanya pantas dimiliki oleh bangsawan semacam Raden Ayu Moeryam. Trinil, juga saudara-saudaranya harus memanggil Ngasirah dengan sebutan YU. Sebutan yang sering dipakai untuk memanggil abdi dalem dan sebayanya.

Kepada Trinil dan kakak-kakaknya, Ngasirah pun harus melakukan sembah sungkem dan berbahasa Jawa halus. dan tidak boleh memanggil Trinil dengan sebutan KOE. Harus lengkap dengan gelar Raden Ayu atau Raden Ajeng.

Satu-satunya keuntungan menjadi anak Bupati yang dirasakan Trinil adalah kesempatan belajar di Europese Lagere School, sekolah Belanda setingkat SD. Meski sekolah di tempat yang cukup prestisius, tidak serta merta kedudukan Trinil setara dengan orang Belanda. Anak pribumi tetaplah anak pribumi sekalipun puteri seorang Bupati. Trinil harus berupaya keras bisa bersaing dengan murid-murid Belanda. Tak cukup hanya mendapat nilai bagus, Trinil harus cemerlang. Di usia 12 tahun, dia sudah menulis artikel tentang seorang pejuang wanita asal India bernama Pandita Ramabai. Tulisan yang sempat membuat kagum kepala sekolah dan guru-guru Belanda.

Sayangnya, kecerdasan itu hanya berhenti di sekolah dasar. Trinil harus masuk pingitan.

Menunggu seorang laki-laki bangsawan melamarnya untuk menjadi Raden Ayu. Kenapa Trinil tidak melawan? Tentu saja dia melawan. Tetapi Trinil bukan Cut Nyak Dhien atau Malahayati. Jawa bukan Aceh yang memiliki sejarah perlawanan kaum perempuan terhadap penjajah. Jawa adalah penerimaan. Menjadi manusia Jawa adalah menjadi manusia yang -meminjam istilah Dr. Simuh dalam buku Sufisme Jawa- MOMOT yang berarti Memuat atau Menampung segala hal. Dalam Momot, manusia harus menghilangkan prasangka buruk. Mikul Dhuwur Mendhem Jero (mengambil yang baik dan mengubur dalam-dalam hal yang buruk)

Begitulah, dalam ‘penerimaan’ itu Trinil melawan dengan tulisannya. Seorang feminis Yahudi bernama Stella Zeehandelar dan Ny. Rosa Abendanon-Mandri, pejabat resident urusan pendidikan dan kebudayaan Belanda, seorang yang dipanggil Mom (Ibu) oleh Trinil, tertarik dengan surat-surat Trinil. Barangkali karena tulisan itu yang membuat dia dicatat.

Tapi buatku, Trinil tak sekedar tulisan. Dia adalah potret sebuah tragedi. Dia dipenjara dalam rumahnya sendiri. Melawan keluarganya sendiri. Kecerdasannya dimandulkan, kepercayaan dirinya di pangkas. Dia dibuat tak berdaya dalam usianya yang masih ABG. Di akhir hayatnya, Trinil bahkan tak sempat merasakan menjadi seorang IBU. Dia pergi dalam statusnya menjadi istri keempat seorang Bupati Rembang.

Tragedi itu yang membuatku ketusuk lalu merenung. Sayangnya tragedi itu tidak tampak di film Raden Ajeng Kartini karya Sjumanjaya Trinil dalam film itu terlalu diagung-agungkan danmdilembut-lembutkan. Tak ada Trinil yang lincah dan selalu bertanya. Tak tampak dilayar Trinil yang kalau berlari diatas pasir pantai Jepara kain Jaritnya diangkat tinggi-tinggi agar bisa melesat kencang menembus ombak.

Atas dasar itulah aku tergerak untuk membuat re-make film kehidupan Trinil. Aku ingin penonton ikut merasakan tragedi itu. Drama seorang anak manusia yang hanya ingin sekedar mewujudkan keinginannya untuk menjadi dirinya. Aku rasa itu bukanlah keinginan yang mulukmuluk.

Sayangnya, hal itu sulit direalisasikan. Meski di jaman yang sudah sangat terbuka ini …

Salam,
Hanung Bramantyo