Nama Dian Sastrowardoyo mulai dikenal masyarakat luas setelah tampil mempesona di film layar lebar Pasir Berbisik (2001) dan Ada Apa Dengan Cinta? (2002). Melalui dua film ini pula Dian langsung dicap sebagai salah satu pionir yang mengangkat dunia perfilman Tanah Air atas pencapaiannya sebagai pemeran wanita terbaik pada Festival Film Internasional Singapura (2002) dan Festival Film Asia, Deauville, Perancis (2002).
Mantan Gadis Sampul tahun 1996 ini juga merupakan lulusan S1 jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia dan Magister Manajemen (cum laude) di universitas yang sama.
BUSET merasa beruntung mendapatkan kesempatan mewawancarai Dian akhir April kemarin untuk membahas perannya di Kartini. Dengan luwes Dian pun menjawab segala pertanyaan, termasuk pengalaman pribadinya sebagai seorang ibu dan pengusaha.
Simak wawancara eksklusif BUSET dengan Dian berikut ini.
Melalui film Kartini, pembelajaran baru apa yang berdampak dalam kehidupan pribadi Dian?
Saya mempelajari bahwa, pada zaman dahulu, saat beliau (Ibu Kartini) masih hidup, eksistensi atau arti hidup kita sebagai perempuan sudah ditentukan oleh keluarga. Bagaimana kita (perempuan) hanyalah sekedar komoditas keluarga saja. Hanya untuk membawa nama baik keluarga saja. Intinya, tujuan hidupnya adalah untuk dinikahkan dengan laki-laki yang kalau bisa Raden Mas, sehingga, kita dapat meneruskan gelar bangsawan kepada anak serta cucu kita dan juga untuk memberikan kesan baik terhadap keluarga besar kita.
Kalau sekarang, kita kan tidak seperti itu, kita sudah diberikan kebebasan. Kita mau memberi arti hidup kita seperti apa itu benar-benar terserah kita. Kita mau menjadi orang yang bermakna bagi masyarakat luas ataupun tidak, terserah kamu. Yang pasti, eksistensi hidup kita tidak terbatas hanya untuk menyenang-nyenangkan keluarga. Jadi, pada dasarnya, yang aku ambil pembelajarannya adalah bagaimana aku sangat bersyukur, aku hidup di zaman yang berbeda daripada zaman beliau masih hidup dulu. Dan bagaimana aku ingin sekali menggunakan kebebasan yang aku miliki ini sebaik-baiknya.
Dan semoga, aku dengan kebebasan ini, benar-benar bisa membentuk, mendesain, dan membangun arti hidupku sendiri secara mandiri dan juga bermakna bagi masyarakat yang lebih luas.
Apakah ada hal dalam hidup Kartini yang selama ini tidak Dian ketahui, namun terkuak setelah mempelajari karakter beliau?
Saya memang nge-fans dan kagum sama Ibu Kartini. Tapi, baru sekarang saya memiliki kesempatan untuk benar-benar mempelajari tulisan-tulisan beliau. Bahkan, tidak hanya tulisan-tulisan yang beliau tulis, tapi juga tulisan-tulisan yang beliau baca. Jadi, aku dapat kesempatan untuk crash course Kartini 101, deh, ibaratnya.
Lalu, ternyata banyak sekali yang baru saya tahu. Ternyata, dia jauh lebih menyenangkan dan jauh lebih kritis dari yang saya bayangkan sebelumnya. Saya sudah tahu bahwa beliau orangnya sangat pintar. Tapi, saya tidak pernah menyangka kalau kepintarannya itu, segitu detail sehingga dia dapat membuat tulisan. Dia pernah menulis tentang agama. Beliau menyatakan bahwa ia melihat kenapa yang orang beragama, malah lebih banyak membenci orang lain yang memiliki agama berbeda, daripada semakin mencintai sesama. Sementara, tujuannya diadakannya agama, justru agar cara hidup manusia jauh lebih teratur, lebih terarah, dan lebih dalam norma-norma yang menjaga kedamaian. Dia percaya bahwa sebenarnya ajaran Tuhan itu jauh dari kebencian, justru mengajarkan cinta dan kedamaian. Tapi, kenapa manusia yang menjalankannya kadang-kadang malah suka memutarbalikkan ajaran dan malah menggunakan agama sebagai justifikasi untuk menyebar kebencian. Serta meng-highlight atau meng-emphasis perbedaan. Itu kan, sesuatu pemikiran yang sampai sekarang saja, masih relevan, apalagi di Indonesia. Dengan adanya krisis universalitas dan pluralisme, bagaimana sekarang perbedaan agama dikaitkan dengan perbedaan pandangan politik, dikaitkan dengan boleh atau tidaknya orang memberikan selamat hari raya pada agama lain. Macam-macam deh. Jadi, maksudnya, kita kan sudah di zaman era modern, dimana kita itu tumbuh menjadi manusia – manusia yang jauh lebih terpelajar dari zaman dulu. Kita hidup di era of reason.
Apa yang diperdebatkan dalam surat-surat Kartini ternyata masih relevan dan masih perlu diperbincangkan sekarang. Menurutku, kita yang harus malu kalau rupanya kita masih ‘jalan di tempat’,
Bagaimana Dian dapat mempelajari Bahasa Belanda dan Jawa kuno dalam waktu yang singkat untuk?
Terus terang kalau untuk Bahasa Belanda, saya memang tidak sempat mempelajari secara detail. Tapi, memang naskah-nya itu beberapa bagiannya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa belanda. Akhirnya, yang saya lakukan adalah saya menghafal text Belandanya, dan menghafal cara pengucapannya yang baik dan benar. Terus saya menghafal arti dari beberapa kata-kata tersebut. Jadi, terus terang kalau misalnya ada orang Belanda yang mengajak saya bicara, wah, saya tidak dapat jawab. Saya hanya tahu script saja.
Nah, kalau Bahasa Jawa, saya tuh Jawanya Jawa yang tidak dapat bicara dengan Bahasa Jawa. Bapak Ibu saya juga tidak bisa, padahal mereka orang Jawa. Kalau Kromo Inggil, terus terang saya tidak akan mampu mempelajari itu dalam waktu cepat. Tapi, kala Ngoko, saya membiasakan, saya dengan teman cast yang lain ngobrol dengan Bahasa Jawa Ngoko. Terus, sama asisten-asisten rumah tangga, pegawai rumah, atau mungkin teman-teman yang saya tahu bisa ngomong Bahasa Jawa, saya biasakan berdialog dengan Bahasa Jawa atau setidaknya dengan Bahasa Indonesia yang dialeknya Jawa.
Terlepas dari Kartini, menurut Dian, bagaimana perkembangan dunia perfilman Indonesia saat ini? Apa kontribusi Dian kedepannya?
Sepertinya, sekarang itu, dunia perfilman Indonesia sedang bagus. Sekarang banyak sekali judul dan genre juga sudah ada bermacam-macam. Tidak hanya horor atau komedi saja, tapi juga drama maupun film-film lainnya juga sudah mulai banyak apresiasinya. Saya senang sekali, sih. Aku sih memang suka ya (dengan film Indonesia), jadi, pasti kontribusi sebagai penonton sih ada.
Saat ini kontribusiku sebagai pemain dan aku tidak membatasi itu. Mungkin saja, suatu hari, aku dapat berkontribusi di balik layar, menjadi produser atau sebagainya.
Apa film terfavorit yang pernah Dian perankan dan highlight karir yang paling berskesan sejauh ini?
Bagi saya semua peran menarik. Salah satu peran favorit adalah sewaktu aku jadi Tania di film 7/24 karena itu perannya komedi dan fun sekali. Di sana aku menjadi seorang wanita karir yang bekerja. Berperan menjadi Cinta (Ada Apa Dengan Cinta) juga sangat fun karena proses syutingnya dan produksinya sangat menyenangkan. Kalau highlight karir terakhir saya, menurut saya adalah memerankan Kartini.
Sempat vakum dari hingar bingar sebagai seorang artis, apakah kedepannya Dian akan lebih menonjol sebagai seorang entrepreneur dan philanthropist?
Mungkin saja sih. Aku pernah vakum 6 tahun tidak main film. Dan itu memang pilihan aku. Aku sempat menjalani profesi sebagai konsultan di kantor konsultan di Jakarta dan aku banyak melakukan hal yang jauh sekali dari dunia spotlight atau dunia keartisan. Tapi, aku juga sangat menikmati.
Aku juga melihat kalau sekarang aku balik ke dunia acting itu jadi lebih nyaman karena aku tahu kalau aku dapat melakukan hal yang lain. Aku menjalankan acting jadi sangat enjoy karena aku tahu ini bukan sesuatu yang terpaksa. I can also do something else. Tinggal aku pilih saja, aku mau berkarir dimana.
Menyinggung tentang dunia bisnis, bisa diceritakan sedikit mengenai MAM Jakarta?
MAM Jakarta sekarang sudah lewat sebulan dari pertama kali kita buka. Alhamdulillah, kita cukup bagus sekali penjualanannya, jauh di atas ekspektasi. Mudah-mudahan saja, ini bisa berlangsung lumayan konsisten, sehingga kita bisa break-even-nya, lebih cepat dan bisa memikirkan tentang rencana ekspansi bisnis selanjutnya.
Dan bagaimana tentang beasiswadian.com, apa saja pencapaiannya selama ini?
Beasiswa Dian itu adalah sebuah program beasiswa yang sudah aku rintis dari 3 tahun yang lalu. Aku menjalani ini karena aku tahu, aku sebenarnya ingin sekali memberikan akses pendidikan perguruan tinggi kepada anak-anak yang memerlukannya. Memang kapasitasnya kecil. Masih 5-10 anak per tahun. Dan itu yang masih aku usahakan.
Sekarang, tantangannya yang aku lagi puter otak adalah bagaimana caranya si beasiswa ini bisa berlanjut tanpa harus menggantungkan keberhasilan ini di karir aku dalam dunia hiburan. Karena, kan, pertama-tama itu dimulainya dari beberapa persentase pemasukan aku sendiri. Nah, kalau misalnya dia mau melanjuti, bagaimana caranya yah? Begitu. Maksudnya, inginnya walau aku tidak adapun, bagaimana caranya dia dapat tetap lanjut memberikan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Kalau tanggapan masyarakat sendiri sih, alhamdullilah, positif. Tapi, memang ini sesuatu yang kita tidak terlalu blow up sekali. Karena kita kan masih baby sekali, masi kecil-lah skalanya dan aku tidak merasa ada keperluan untuk terlalu membesar-besarkannya.
Lalu, apa yang melatarbelakangi venture baru yakni sebagai co-founder Frame a Trip?
Pada dasarnya karena saya sudah lama memimpikan masuk ke dunia start-up. Pada saat ini kan, the tech industry sedang booming. Dan saya mau menjadi bagian darinya. Kebetulan, salah satu dari kolega saya mengajak saya untuk masuk ke industri start up Frame a Trip supaya dapat memberikan jasa fotografi bagi travellers Indonesia maupun mancanegara. Dan, senang sekali kalau kita dapat memberikan support kepada industri fotografi. Kaena saya sendiri juga belakangan lagi suka foto-foto dan menggeluti bidang fotografi. Dan saya sadar mereka juga perlu di empowered.
Dari segi rumah tangga, apa saja tantangan menjadi seorang ibu yang secara bersamaan memiliki segudang kesibukan?
Itu dia, tantangannya adalah bahwa bagaimana caranya saya harus strict dan disiplin untuk membagi. Allowance energi and allowance waktu yang saya berikan untuk masing-masing aspek yang saya jalani dalam hidup ini. Misalnya, saya kerja, ya, saya harus disiplin, tidak boleh lebih dari jam segini. Dan misalnya, saya lagi libur, saya harus strict, ya saya harus konsen dan menjalani peran saya yang saya jalani pada saat saya liburan, yaitu menjadi seorang istri yang baik dan juga seorang ibu yang baik. Itu yang kadang – kadang orang suka tidak mengerti ya. Karena memang kadang – kadang kalau saya lagi tidak kerja, saya tak jarang masih suka ketemu dengan para penggemar. Mereka tentunya suka minta foto bareng. Kalau tanda tangan saya masih tidak apa – apa, deh, karena itu cepat. Tapi, kalau foto bareng, orang-orang zaman sekarang kan, dengan mereka punya social media, mereka kekeuh sekali fotonya harus bagus. Jadi, terkadang mintanya berkali-kali. Jadi, sekali jepret bisa tidak cukup, “oh, ternyata nyengir,.. oh, ternyata menghadap ke sini tidak bisa… boleh lagi tidak?” Yang menyedihkan adalah kalau saya setuju, ternyata 60%-70% waktu libur saya akan teralokasi hanya untuk melayani permintaan orang lain yang saya tidak kenal. Sehingga, orang-orang yang benar-benar kenal dan orang – orang terdekat saya seperti suami saya dan anak-anak saya jadi tidak sempat mengalami quality time bersama saya.
Bisa loh, satu supermarket semua minta foto bareng dan akhirnya saya tidak jadi belanja. Dan satu waktu, saya sempat merasa ingin menangis menghadapi situasi-situasi seperti itu. Dan akhirnya, saya jadi membuat keputusan, oke, saya akan strict. Pada saat saya libur, saya tidak akan bekerja, saya akan menikmati kehidupan saya menjadi orang biasa, bukan public figure. Dan saya tidak akan melayani permintaan foto bareng manapun, walaupun saya akan say hello dan ngobrol serta menyapa para penggemar. Tetapi, kalau untuk lebih dari itu, saya akan berkata dengan sopan, “maaf ya, saya sedang tidak bekerja, saya mohon pengertiannya”.
Jadi, intinya, untuk membagi peran seorang ibu dan orang yang memiliki kesibukan, harus disiplin. Pada saat jadi ibu, jadi ibu. Pada saat jadi pekerja, jadi pekerja. Dan tidak boleh ada yang terlambat jadwal-jadwalnya.
Coming Soon
KARTINI SINEMA KELILING AUSTRALIA
Mei – Juni 2017

vr
foto: disediakan (Ryan Tandya)