White Ribbon Day, Cinta Yang Membunuh

Hari itu langit berwarna biru. Cerah. Cuaca pun bagus, tidak terlalu panas atau dingin. Di Federation Square terlihat banyak orang mengenakan kaos dengan pesan-pesan anti kekerasan terhadap wanita dan anak-anak. Banyak juga yang menggelar poster-poster dengan pesan senada. Kios-kios di sekitar Federation Square dipenuhi oleh organisasi wanita yang peduli dengan masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti Safe Steps Crisis Response, St Kilda Legal Center dan Federation of Community Legal Centre.

Aku kembali berpartisipasi untuk merayakan “The Sixth Annual Walk of White Ribbon Day”. Sekitar pukul 1:30 siang, Chef Commissioner Victoria Police Ken Lay hadir di tengah-tengah massa yang siap berjalan. Ken Lay tampak dirumbungi oleh orang-orang yang ingin bersalaman atau sekedar berfoto bersama. Wartawan pun berlomba mengajukan pertanyaan kepadanya.  “Kenapa Anda datang ke acara ini?” Tanya salah satu wartawan berkacamata tebal. Dengan tegas Ken Lay menjawab, “saya datang kesini karena isu family violence itu isunya kaum laki-laki. Mereka menggunakan kekerasan dalam keluarga karena mereka merasa tidak secure. Mereka perlu membuktikan kejantanannya dengan cara mengontrol anggota keluarga yang lain. Nah, di White Ribbon Day, kita perlu melakukan dialog terbuka untuk merubah stigma ini”.

Barisan para aktivis yang berjumlah ratusan itu perlahan-lahan meninggalkan Federation Square dan berjalan di sekitar Melbourne Centre of Business District selama kurang lebih 30 menit. Di dalam barisan itu terlihat anggota masyarakat yang berasal dari berbagai kalangan, seperti ibu rumah tangga, pelajar, anak-anak, aktivis, politikus, pengacara dan anggota kepolisian.

Patrick O’Meara, salah satu duta besar untuk White Ribbon Day menjelaskan, ia menjadi duta besar di acara ini karena ingin meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu KDRT. Waktu masih kecil, cerita Patrick kepadaku, ia sering dipukuli ayahnya. Sang ayah yang konon memiliki gangguan kejiwaan itu juga kerap memukuli ibu, adik dan kakaknya. Mereka hidup di dalam satu rumah pemerintah di daerah London yang memiliki angka kriminalitas tinggi dan rentan terhadap bahaya alkohol dan obat-obatan. Patrick menuturkan, salah satu adik perempuannya menikah dengan seorang laki-laki pecandu narkoba yang mudah main tangan. Hanya seumur jagung perkawinan mereka sebelum adiknya ikut mencandu narkoba dan meninggal lantaran over dosis. “Rata-rata 1 orang wanita dalam seminggu meniggal dalam kasus KDRT,” papar Patrick.

Ibu beranak satu Jessica Farrar yang ikut di dalam aksi ini pun berbagi kisah kepadaku. Selama 5 tahun Jessica berusaha mempertahankan hubungan dengan kekasihnya meski ia kerap dihantam. Suatu kali, ia sempat dipukuli dan dicekek hingga ia tak bisa bernapas. Jessica takut ia akan mati saat itu. Kendati Jessica lahir di Australia dan memiliki keluarga yang menyayanginya, ia menyatakan, sulit sekali keluar dalam ‘lingkaran setan’ itu. “Saya sayang sekali sama pacar saya. Dia kan bapak dari anak saya. Anak saya pun sayang sekali sama bapaknya. Jadi saya merasa bersalah jika mengakhiri hubungan ini,” ungkap wanita berusia 26 tahun itu.

Usai melakukan aksi di tengah jalan, barisan itu pun kembali ke Federation Square. Beth and The Brave melantunkan lagu yang berisikan pesan untuk menghentikan kekerasan terhadap wanita dan anak-anak. Para pria yang tergabung dalam Melbourne Football Club juga ikut andil di atas panggung dan berjanji untuk mengakhiri gender violence.

Rosie Betty, ibu dari almarhum Luke Betty yang dibunuh oleh ayah kandungnya, Greg, awal tahun ini kemudian tampil di atas panggung dan berkata, “Saya berada di sini hari ini, agar kematian Luke tidak sia-sia. Luke dibunuh oleh orang yang sangat ia sayangi dan percaya. Saya berada di sini untuk menyatakan bahwa violence is a choice. Laki-laki membunuh istri dan anaknya karena ingin mengontrol hidup mereka. Jangan salahkan para wanita yang berada dalam hubungan itu. Salahkan para lelaki yang menggunakan kekerasan dalam hubungan rumah tangga mereka”.

Langit di Melbourne masih biru, tapi hatiku terasa pilu. Lidahku pun kelu, Aku diam terpaku di situ. Tragedi Luke Betty menggerayangi pikiranku. Sampai kapankah kita musti berdiri di sini, berteriak dan mencetuskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga harus dihentikan?

Sudah terlalu banyak wanita dan anak-anak yang mati di tangan orang-orang yang paling mereka sayangi.

 

Dinar Tyas

Discover

Sponsor

spot_imgspot_img

Latest

DIPLOMAT & PENYAIR

Dua kata yang serasi dan saling mengisi dalam arti dua kata tersebut punya arti halus, dan orang biasanya hati-hati berucap atau berkata dan berkomunikasi. Ini kesan...

WANITA INDONESIA JUGA UNGGUL DI DUNIA TEKNOLOGI

  Sebuah bisnis yang terintegrasi dengan teknologi kini semakin marak dijalani karena terbukti diperlukan oleh masyarakat di zaman serba instan ini. Keuntungan yang diraih oleh...

Pesan Damai Master Lu untuk Dunia

Ratusan orang yang kompak mengenakan pakaian berwarna merah dan tangan bersikap Anjali (kedua telapak tangan rapat berbentuk kuncup di depan dada) menyambut tamu yang...

Mengurai dan Mengenali Emosi

Takut. Marah. Rasa malu. Rasa bersalah. Sedih.Bagi kebanyakan kita, emosi-emosi di atas nampaknya begitu nyata dan intens khususnya di masa-masa pandemi. Tentunya jauh sebelum...

Indomelb FC Awali 2021 Dengan Skor 2:2 Lawan Carlton Azzuri

Pada hari Sabtu tanggal 13 Maret lalu, Indomelb FC berhadapan dengan klub bola komunitas Itali, Carlton Azzuri di event Saturday Community Club. Pertandingan yang...