Mengenal lebih dekat suatu bangsa, bisa dilakukan lewat literatur. Lalu bagaimana agar produk literatur suatu bangsa yang tidak ditulis dengan bahasa internasional (Bahasa Inggris) bisa dinikmati lebih luas? Jawabannya, lewat penerjemahan. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer misalnya, tidak akan berbicara banyak di Jepang atau bahkan di Amerika Latin, jika karya-karyanya tetap dipertahankan dalam bahasa asli, yakni Bahasa Indonesia. Maka boleh dikata, menerjemahkan berarti menjembatani.

Semangat itulah yang dilakukan Australian Association for Literary Translation (AALITRA), yang menggelar AALITRA Translation Prize Awards sejak tahun 2014. Kompetisi penerjemahan karya sastra ini diadakan satu kali dalam dua tahun. Literatur Spanyol menjadi pembuka perlombaan ini, disusul berikutnya kompetisi penerjemahan karya sastra berbahasa Mandarin.
Tahun ini AALITRA menggelar kompetisi penerjemahan karya sastra Indonesia. Ada dua karya yang bisa dipilih untuk diterjemahkan, puisi Amir Hamzah berjudul “Barangkali” dan prosa berjudul “Surat” karangan Sapardi Djoko Damono. Dari kompetisi ini berhasil muncul empat nama pemenang, yakni James Scanlan, Keith Foulcher, Sophie Revington dari New South Wales, dan Pamela Allen dari Tasmania. Di malam penghargaan, bertempat di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Melbourne pada 20 September 2018 lalu, keempatnya tak hanya mendapat hadiah tapi juga diberi kesempatan untuk membacakan karya terjemahan mereka di hadapan para penonton.
Adapun prosesi penjurian berlangsung tiga sampai empat bulan. Mereka yang duduk di meja juri di antaranya, profesor fakultas School of Languages, Cultures and Linguistics di Monash University bernama Harry Aveling; pengarang buku puisi Indonesia bertajuk Borobudur, Jennifer Mackenzie; penulis, penerbit, serta Ketua Jembatan Poetry Society, Anton Alimin; dan wartawan / penulis yang juga merupakan penggagas Makassar International Writers Festival, Lily Yulianti Farid. Keempatnya menilai karya terjemahan berdasarkan empat kriteria: kualitas penerjemahan, efektivitas, akurasi, dan interpretasi karya secara keseluruhan.

Dalam sambutannya, Harry Aveling angkat bicara tentang proses penilaian karya para peserta. Ia menilai puisi Amir Hamzah lebih menantang untuk diterjemahkan bila dibandingkan dengan prosa Sapardi Djoko Damono karena penggunaan bahasa yang berumur sangat tua. “Prosa sangatlah modern dan sangat mudah untuk diterjemahkan ke Bahasa Inggris modern. Puisi Amir Hamzah, di sisi lain, lebih rumit untuk diartikan karena ia menulis di tahun 1930-an dan berada di periode transisi–akhir dari tradisi tradisional dan awal dari tradisi modern,” ungkapnya. “Puisinya termasuk puisi yang sulit. Bahasanya terperinci dan menggunakan Bahasa Melayu dengan ruang lingkup luas yang kita temukan di teks kuno,” lanjut Harry.
Walau pada akhirnya mampu menetapkan empat pemenang setelah enam pertemuan bersama tiga juri lainnya, ia mengatakan bahwa proses pemilihan terbilang cukup sulit. “Kualitas adalah hal yang subjektif.” ujar pria yang pernah menjadi dosen Ilmu Penerjemahan di Universitas Indonesia tersebut.
Bahasa dan Kedekatan Bangsa
Anton Alimin mengatakan bahwa perlombaan serupa patut lebih sering diadakan agar masyarakat mancanegara, terutama Australia, bisa mengenal Bahasa Indonesia dan keindahannya. “Indonesia di mata Australia adalah negara tetangga terdekat. Jadi mau tidak mau dengan banyaknya orang Indonesia di Melbourne membuat AALITRA sadar bahwa Bahasa indonesia adalah bahasa yang penting.”

“Ada beberapa sekolah di Australia yang tidak lagi mengajar Bahasa Indonesia. Dengan diadakannya lomba seperti ini, kita bisa memberikan kesan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang indah,” seru Anton penuh harap.
Brigid Maher, Presiden AALITRA dari tahun 2015 hingga 2018, berharap agar melalui perlombaan tersebut, kesadaran masyarakat Australia untuk meningkatkan hubungan baik dengan Indonesia makin bertumbuh.
Apa Kata Mereka
James Scanlan – Juara 1 kategori Puisi
I feel very happy about winning the prize. I was happy to do the translation itself because it was a beautiful poem. And I developed great respect and love for Amir Hamzah himself.
I have recently retired from the university when I was working as a journalist. After retiring, I decided to take up Indonesian and did four years of part time course at the University of New England, and now I’m trying to keep up my knowledge of Indonesian and decide I’d like to do more translation.
I hope Indonesian language in Australia continues to grow because it’s important and I’m sure it would because the growing importance of the relationship of Indonesia and Australia. Also I was very impressed with the poetry of Amir Hamzah and some other Indonesian poets and writers, and I’m sure they would gain attention in Australia.
Elaine Lewis – Project Manager dan Komite AALITRA
The idea of this competition is we try to promote the poetry and prose of other countries to Australians but also because we all want to know more about other countries and we think it’s the wonderful way to do it. By reading and trying to translate someone else’s language is like being in their shoes, or being in their heads even. So we think it’s the really important way of trying to know other countries. We think Indonesia, apart from Papua New Guinea, is our closest neighbour and we think that we’d like more Australians to know about the prose and poem of Indonesia. That’s what’s really explore each others countries. I think we should have more people translating Indonesian literature.
Nasa