Sepuluh orang tamu berkumpul di sebuah rumah mungil nan hangat milik Helen Soemardjo di Thornbury, Victoria, Australia pada tanggal 25 Mei 2019 dalam pertemuan bulanan Museum of Indonesian Arts (MIA) bertajuk ‘Saturday Afternoon Encounter with Indonesia’ yang ketiga.

Pertemuan ini bukanlah sekadar untuk beramah tamah satu sama lain, namun juga menjadi waktu untuk mendalami pengetahuan tentang kebudayaan Indonesia khususnya melalui makanan.

Peserta sibuk menggulung nastar

Selama dua jam, para tamu yang masing-masing memiliki sejarah atau hubungan dengan Indonesia tersebut mendengarkan cerita dari Helen Soemardjo tentang pengalamannya memasak makanan Indonesia. Mereka juga terlibat dalam workshop kecil-kecilan membuat nastar.

Tidak hanya belajar menggulung adonan kue kering berisikan selai nanas saja. Di kesempatan tersebut, hadirin juga melihat secara langsung proses pembuatan wajik, kue ketan manis dari Jawa Tengah, dan mencicipinya.

Halina Nowicka, Chairman MIA mengatakan bahwa seri ‘Saturday Afternoon Encounter’ yang sering diadakan di tempat berbeda dengan tema yang berlainan ini sementara menjadi acara andalan dari organisasi tersebut melihat kurangnya anggaran.

“Kami memutuskan untuk mengadakan acara ini karena pameran membutuhkan banyak biaya, untuk mendapatkan tempatnya, misalnya. Karena kami belum punya tempat sendiri.”

Meski terserak, Halina beserta pengurus MIA lainnya tetap rajin mengadakan kegiatan hampir tiap bulan untuk terus memperkenalkan budaya Indonesia. Dedikasi mereka kepada Tanah Air menjadi alasan dibalik aksi mulia ini.

“Kami tetap harus menyediakan waktu untuk Indonesia meskipun tidak mengadakan acara tiap bulan. Melalui ‘Saturday Encounter’ ini, kami berharap untuk mendapatkan dana lebih,” kata wanita yang pada tahun 1972 tinggal di Indonesia untuk mengajar Bahasa Inggris dan menjadi penerjemah ini.

“Kami juga menciptakan variasi dalam kegiatan ini karena setiap orang memiliki minat yang berbeda-beda. Ini kami lakukan melihat tujuan kami yang adalah untuk menyebarkan informasi tentang Indonesia, yang meskipun sebenarnya adalah negara tetangga kita, masih tidak seakrab itu dengan Australia.”

Jo Powell, mantan sekretaris MIA dan hingga kini masih aktif sebagai anggota, mengatakan prihatin warga Australia masih belum mengenal Indonesia bahkan di level paling dasarnya. “Orang Australia hanya tahu Bali dan berpikiran bahwa provinsi ini adalah Indonesia. Ini sama saja seperti pergi ke Gold Coast dan berpikir kota ini adalah Australia.”

Melalui kegiatan MIA, ia berharap agar orang Australia bisa mengenal lebih jauh tentang Indonesia.

“Kami berharap orang-orang bisa mendapatkan cita rasa Indonesia, negaranya sebenarnya seperti apa dan bukan hanya tentang aspek komersialnya saja.”

Di atas meja persegi panjang di dapur milik Helen, terjadi diskusi antara anggota dan sang tuan rumah yang menikah dengan seorang pria Indonesia bernama Bambang Soemardjo puluhan tahun yang lalu.

Karena menikah dengan seorang pria dari Jawa Tengah, wanita berusia 82 ini sangat akrab dengan makanan yang berasal dari daerah tersebut. Ilmu memasak ini ia dapatkan dari kelima ipar perempuan yang tinggal bersamanya usai menikah.

“Lima orang ipar perempuan saya mengajarkan bahwa saya harus memasak makanan yang benar untuk suami, dan makanan yang benar ini maksudnya adalah makanan yang rasanya sesuai dengan standar mereka.”

Pesan berharga tersebut tetap ia ingat hingga hari ini. Ia pun menilai dirinya sendiri sebagai seorang koki yang bergaya masak kuno. Walau demikian, wanita yang memang hobi masak itu merasa senang karena dapat menjaga keaslian makanan Indonesia dalam setiap hidangan yang ia ciptakan.

“Sebagai seorang pemasak, saya sangatlah kuno. Kalau memasak hidangan Jawa Tengah, ya bahannya harus benar-benar bahan masakan Jawa Tengah,” cerita wanita yang memiliki tiga orang anak tersebut.

“Walau membutuhkan lebih banyak usaha, rasa makanan tersebut akan jadi lebih enak. Pernah ada seorang guru gamelan yang mencicipi makanan saya dan tiba-tiba berlinang air mata lalu berkata ‘makanan ini enak sekali, sama persis dengan makanan rumahan saat saya masih menjadi murid di Solo’.”

Sambil tersenyum kepada para tamu, ia berkata, “menurut saya, inilah makna dari sebuah makanan yang sebenarnya.”

Ketika memutuskan untuk kembali tinggal di Melbourne, Australia pada tahun 1967, wanita yang menyukai sate ayam, ayam panggang kecap, sayur lodeh dan sederet makanan Indonesia lainnya ini harus beradaptasi dengan kelangkaan sayur mayur bahan masakan Indonesia di kota ini.

(dari kiri) Jo Powell, Barbara Hartley, Halina Nowicka, Helen Soemardjo

“Dalam perjalanan memasak saya selama di Melbourne, saya memiliki ingatan jernih saat sedang mencari tahu di Bourke Street. Jarang sekali ada bahan masak lainnya di masa itu. Cabai pun susah dibeli. Daun pandan, daun yang sangatlah cantik dan membangkitkan cita rasa juga tidak ada.”

Kini, bahan-bahan masakan Indonesia sudah tidak sulit ditemukan. Helen mengatakan bumbu-bumbu tersebut dapat dijumpai di Springvale dan Box Hill.

Di tengah kemajuan teknologi termasuk di dalamnya kemudahan akses karena internet, Helen membagikan beberapa channel Youtube kepada hadirin sore itu yang tertarik untuk belajar memasak masakan Indonesia.

“Resep apa saja yang Anda inginkan, tinggal ketik di Youtube. Lalu 500 buah resep akan bermunculan dan Anda sendiri yang nantinya jadi kebingungan,” ungkap Helen sembari bercanda.

Berada di tengah komunitas Indonesia seperti MIA dan beberapa kelompok kesenian Indonesia di Melbourne membuat Helen tetap giat memasak masakan Tanah Air hingga kini.

“Sekarang saya masih suka memasak makanan Indonesia karena saya dikelilingi orang-orang yang tahu masakan Indonesia dan menghargai prosesnya yang memerlukan banyak usaha.”

Ia menyayangkan mayoritas generasi muda yang menurutnya tidak memiliki kegemaran menyajikan makanan seantusias generasi sebelum-sebelum mereka. Walaupun demikian, ia merasa senang mengetahui bahwa cucunya yang lahir dan besar di Melbourne dapat menikmati dan memiliki ketertarikan pada masakan Indonesia.

“Kebanyakan generasi muda sekarang lebih suka makan saja daripada harus menghabiskan waktu memasak. Beberapa suka, tapi kebanyakan tidak,” kata wanita yang pernah bekerja di perpustakaan Monash University tersebut.

“Yang menarik adalah cucu saya yang waktu umur 17 tahun pergi ke Indonesia dengan ibunya dan makan masakan keluarga kami di sana. Ia menyukainya dan menurut saya ini adalah awal pembelajaran yang baik.”

Memperkenalkan bahan masakan yang sering digunakan dalam membuat masakan Indonesia

Wanita yang gemar bereksperimen dengan makanan ini mengatakan bahwa pengalaman cucunya berkunjung dan menikmati hidangan Indonesia di tengah keluarga di Indonesia tersebut akan membuatnya mengerti seberapa spesial memasak itu.

“Saya yakin dia tidak akan melupakan pengalaman itu karena pastinya membuat dia mengerti betapa spesialnya memasak buat orang, apalagi untuk keluarga,” ungkap Helen.

“Dan bagaimana memasak bisa membuat dia merasa menjadi bagian dari keluarga setelah melihat usaha yang telah dilakukan saudara-saudaranya di Indonesia dalam menyediakan makanan untuk dia sendiri.”


Apa Kata Mereka

ANNE MARIE POWER
Designer/maker

I’m a member of the MIA group and I received an email in regards to the fact that we’ll have this event today. I think it’s really wonderful. I think it’s a really great opportunity to learn more about Indonesia from a certain perspective which is food, which we all love. And Helen has a breathtaking experience from her own research and study.

It was really really good sharing it with us, plus we had the opportunity to sample some of the dishes that she prepared–that we prepared!

I’m very interested in Asian culture, I’ve travelled quite a bit in Asia and the more I can learn about it, the better. I find it fascinating.

Nasa