Baru-baru ini Jembatan Poetry Society (JPS) untuk yang ketiga kalinya mengadakan Virtual Poetry Reading yang biasanya rutin mereka lakukan 2-3 bulan sekali secara tatap muka di ruang-ruang publik Kota Melbourne.
Pembacaan puisi karya sendiri atau seniman-seniman lain dari Indonesia dan Australia dilakukan seperti biasa di tengah canda tawa para penikmat seni dan merdunya lantunan ukulele yang memainkan lagu Tanah Air dan You & Me ciptaan salah satu anggota JPS. Terlihat wajah para anggota yang secara khidmat dan damai mendengarkan di saat bait-bait puisi karya Pablo Neruda, Siti Nuraini, dan WS Rendra dibacakan dengan indah.
Walaupun dibatasi layar komputer dan segala kekurangan yang menyertainya, kehangatan dan suasana kekeluargaan tetap hadir memenuhi atmosfir acara kemarin.
“Saya setuju 100%, karena waktu saya coba zooming awal itu masih ragu. Tetapi karena pressure dari pandemi ini kita terisolasi, jadi ada suatu ungkapan kerinduan. Ternyata ungkapan kerinduan ini bisa diungkapkan melalui technology, jadi saya juga merasa ada suatu kehangatan,” ungkap Bela Kusumah selaku ketua Jembatan Poetry Society.
Bukan hanya suasana kehangatan dan kekeluargaan yang tetap terjaga ditengah pelaksanaan Virtual Poetry Reading kemarin, namun juga kesempatan untuk memfasilitasi penikmat seni dari negara yang berbeda-beda membuat Bela mewacanakan untuk menggabungkan kedua ruang ini (virtual dan tatap muka) di acara pembacaan puisi berikutnya setelah pandemi berakhir.

Aku, Hutan Jati dan Indonesia
Karya Yacinta Kurniasih, anggota Jembatan Poetry Society
Kita bertemu pertama kali ketika aku lahir di dusun kecilmu yang berpagarkan hutan lebat pohon Jati. Betapa aku mencintai kekar dan teduhnya tubuh pohon-pohon yang sudah ramah mengundangku bermain dan bermanja dalam kerindangannya ketika aku masih di rahim ibuku.
Lalu aku lahir dan peertama kali yang ingin kulakukan adalah merangkak dan mencium aroma bumi yang melekat di setiap pohonmu.
Kata orang-orang tua di dusun, pohon-pohon itu menyimpan berjuta rahasia tentang Hutan, Hantu dan Tuhan.
Anak tengil dalam diriku memutuskan bahwa rahasia itu harus menjadi milik masa kecilku. Dan sejak saat itu aku tak pernah merasa takut dengan Tuhan, Hantu dan Hutan.
Sepulang sekolah, di hutan itu aku, adikku dan sepupuku perempuan menghabiskan waktu berkejaran bermain perang-perangan dengan senjata terbuat dari bambu kecil dan peluru biji bunga pohon jambu
Sore hari, kami berbaring di rerumputan sambil membaca majalah anak-anak di bawah naungan daun-daun jati yang menjadi payung dengan lubang-lubang untuk mengintip langit yang kala itu masih biru
Lalu suatu hari orang-orang dusun berlarian ke hutan dan berebut dengan Petinggi
Petugas Kehutanan untuk merobohkan pohon-pohon yang menjadi teman bermainku dari sejak aku bisa merangkak
‘Sekadar mencari berkah’ kata mereka ketika aku cegat dengan wajah polos anak kecilku
Karena kemarahan yang membuncah di tubuh kecilku membuatku menggigil aku lalu menyingkir diam
Masih terlalu kecil aku untuk memahami arti akhir cinta pertamaku yang memberiku keteduhan, kesegaran nafas, dan kediaman tanpa menuntut.
Barangkali aku pergi untuk belajar mengerti tanah rumah pemusnah dengan cinta seorang anak.
Tapi aku tidak ingin cinta buta. Suatu saat aku akan pulang dan mencintaimu dengan rela entah apa itu artinya
Sekarang ini aku harus tetap di seberang untuk mengabarkan keindahanmu yang kacau dan memikirkan kekacauanmu yang indah
Dua tiga kali setahun, pulang menjemputku dan kami mengadu rindu.
Entah berapa ribu kali kita berdekapan dengan ditemani airmata yang berhamburan seperti ketidakmengertian kita akan letupan cinta dan benci yang tak ada batasnya dari anak-anaknya yang lain
Dan setiap kali aku harus mengucapkan selamat tinggal aku hanya bisa berbisik ‘Aku harus pergi untuk mencintai dan menghargaimu dengan adil’.