Upayakan Ketahanan Pangan di Tengah Pandemi Covid-19

Dengan bertambahnya kekhawatiran akan kesediaan pangan dalam pandemi covid-19, para pakar pertanian dan pengusaha hadir untuk memberi solusi ketahanan pangan di Tanah Air. Demikianlah beberapa solusi yang dapat kita terapkan dalam jangka pendek maupun panjang.


1. Berdayakan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)

Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian, Prof. Ir. Muhammad Sarjan, keadaan saat ini yang diawali dengan kepanikan masyarakat dan aksi menimbun bahan pokok makanan, meningkatnya angka pengangguran, dan penurunan penghasilan telah menimbulkan isu kesediaan pangan dan gizi yang cukup bagi rakyat Indonesia. Untuk itu, diperlukan adanya intervensi kebijakan dari pemerintah dan intervensi modal dan inovasi teknologi dari pengusaha.

Salah satu bentuk intervensi kebijakan yang sudah ada dan perlu dikembangkan adalah Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).

“KRPL ini program pemerintah yaitu kawasan keluarga di unit group kecil dimana para anggotanya melakukan kegiatan produksi pangan. KRPL berfungsi untuk aspek sosial ekonomi masyarakat, meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kebutuhan gizi warga. Dari fungsi budaya untuk menanam, dan tentunya ada aspek lingkungan,” jelas Prof. Sarjan.

Sebagai contoh pengelolaan pertanian berskala kecil yang dapat dilakukan oleh KRPL, Prof. Sarjan mengajukan upaya pemanfaatan lahan perkarangan.

“Upaya pemanfaatan lahan pekarangan dapat dilakukan kelompok masyarakat maupun individu dengan berbudi daya berbagai jenis tanaman pangan dan hortikultura dan juga budi daya ternak dan ikan sehingga bisa mencukupi ketersediaan pangan, baik karbohidrat, protein, vitamin, maupun mineral.”

Beliau menggarisbawahi pentingnya inovasi di sektor pertanian dan agrikultura dalam mencapai ketahan dan kemandirian pangan di Indonesia. Perkembangan ini penting mengingat status Indonesia sebagai negara agrikultura yang memiliki banyak lahan subur, namun sayang masih bergantung pada negara-negara ASEAN seperti Vietnam dan Thailand untuk mencukupi kebutuhan beras domestik.

Prof. Sarjan juga mengajukan konsep One Village One Company, dimana diharapkan kedepannya setiap desa akan memiliki satu pengusaha yang bergerak di bidang pangan. Niscaya dengan demikian, ketersediaan pangan menjadi terjamin dan dapat berakhir dengan kemandirian pangan di desa tersebut.

“Indonesia ini seperti sorga, kita lempar tongkat kayu aja bisa jadi tanaman,” komentar Direktur Pasca Sarjana di Universitas Mataram itu.

2. Libatkan Para Pengusaha dari Kaum Millennial

Sebagai seorang pengusaha, mantan wakil gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno setuju dengan gagasan Professor Sarjan untuk melibatkan pengusaha. Khususnya pengusaha dari kaum anak muda atau millennial.

“Faktanya harga pangan semakin tinggi, mulai dari gula ke beras. Masyarakat kehilangan pekerjaan, tidak bisa begini. Ini warning,” kata beliau. Beliau juga menekankan bahwa covid-19 ini merupakan wakeup call bagi rakyat Indonesia untuk merevitalisasi sektor pertanian dengan menggunakan teknologi dan entrepreneurship.

Walau statistik menunjukkan bahwa lebih dari 50% petani Indonesia berumur 50 tahun ke atas dan kurang dari 5% generasi muda tertarik memasuki sektor pertanian, masih tidak menutup kemungkinan untuk menarik millennial masuk ke bidang ini.

“Kalau kita dapat mengemas sector pertanian dengan konsep entrepreneurship, kita bisa mengentice para anak millennial. Dulu movementnya coffee shop, co-working space. Maybe pertanian sekarang akan menjadi movementnya. Selama manusia punya mulut dan perut, produksi pertanian akan diminati. Dengan technology dan digital kita meningkatkan produktivitas. Mungkin kedepannya kita dapat membuat pariwisata berbasis pangan,” pesan Mas Sandi.

3. Cermat Mengelola Social Capital

Berdasarkan pengamatan Joni Soebandono, pengajar di Universitas Negeri Islam Jakarta, dalam menangani isu produksi pangan di daerah, pemerintah wajib mempertimbangkan faktor social capital. Yaitu modal dasar yang dipunyai oleh daerah tersebut, contohnya seperti apa yang dapat tumbuh di sana, budaya masyarakat, tingkah laku dan pola pikir masyarakat setempat, dan lain sebagainya.

“Segi perilaku dari masyarakat, kalau kita kembalikan ke keluarga, ke komunitas, ke masyarakat, kita tidak bisa menyamaratakan semua daerah. Kalau kita ingin mengembangkan, kita harus melihat karakter dari daerah itu. Apa yang dipunyai oleh daerah itu, social capital. Berdasarkan social capital itulah kita baru bisa mengembangkan. Setiap daerah memiliki kekuatan masing-masing,” ujar mantan Presiden Direktur PT. Usaha Sistim Informasi itu.

Selain social capital, beliau juga mendorong agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada pemerintah untuk memulai pergerakan menuju ketahanan pangan. Sebaliknya, beliau mengandalkan konsep agent of change, atau individu yang menjadi pelopor dan penggerak perubahan di tengah masyarakat.

“Harus ada agent of change, mereka ini yang akan memotori gerakan. Ini yang sering dilupakan. Padahal kalau ada anak muda yang ingin memulai sesuatu, kadang di remehkan tidak dibantu, kalau ada RT RW yang ingin melakukan sesuatu warganya tidak ingin ikut. Maka dari itu, kita harus bisa memilih dan mendukung agent of change ini,” ujar Joni. 

Phoebe