Sebagian besar mahasiswa sempat mengeluh perihal kegiatan belajar online yang diharuskan selama masa pandemi di tahun ajaran 2020-2021. Namun, memasuki tahun ajaran 2021-2022, sentimen tersebut terlihat mulai berubah. Marthin Nanere, dosen marketing di universitas La Trobe berbicara kepada tim BUSET mengenai perubahan-perubahan di dunia akedemis dan lingkungan belajar mengajar di kampus-kampus Australia. Penasaran? Mari simak!
Mulai terbiasa dengan online
Dikendorkannya restriksi COVID-19 dan beralihnya kondisi ke tahap COVID normal kini memungkinkan universitas untuk kembali membuka pintu mereka untuk pembelajaran face-to-face. Meski sebagian besar kegiatan belajar mengajar masih dilakukan secara online, namun pilihan kegiatan belajar secara langsung sudah tersedia bagi para mahasiswa. Tanpa disangka, menurut pengamatan Marthin terhadap para muridnya, ternyata mahasiswa kini lebih cenderung memilih kelas online.

“Mereka senang online karena lebih leluasa dan bekerja di rumah tanpa perlu menghabiskan waktu ke kampus. Student memilih online sebetulnya karena terbiasa dengan ritmenya sekarang dan merasa lebih flexible dengan zoom lecture yang bisa didengarkan dari mana saja tanpa perlu duduk di satu tempat,” jelas dosen asal Maluku itu. Dirinya juga menyadari bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam performa para murid ketika belajar online dibanding dengan belajar secara face-to-face. Bahkan menurutnya, partisipasi dan kehadiran murid jadi lebih tinggi ketika di kelas online.
Walau preferensi para murid sepertinya telah beralih ke online learning, universitas telah menetapkan di tahun ajaran 2021-2022 kelas-kelas online di utamakan bagi para mahasiswa yang berada di luar Australia. Dengan software Allocate+, universitas dapat mengetahui secara otomatis mahasiswa mana saja yang sedang berada di luar negeri.
Beban tersendiri terhadap pengajar
Transisi dari perorangan ke online juga menjadi tantangan dan beban besar bagi sebagian dosen dan staf pengajar, khususnya yang sudah lansia. Kerugian finansial yang dialami oleh sektor pendidikan secara keseluruhan memaksa para universitas untuk memotong gaji bahkan memutuskan hubungan kerja (PHK) para staf akademis mereka, tidak terkecuali para dosen.
“Ga semua versatile dengan online. Jadi tahun lalu banyak yang ditawarkan redundancy package, para staf khususnya yang tua-tua di tawarkan untuk early retirement (pensiun dini), dan banyak yang memutuskan untuk mengambil paket itu. Yang tetap ingin stay, mereka tidak akan dapat kenaikan gaji, malah gajinya dipotong,” aku Marthin. Menurut prediksinya, kondisi finansial universitas akan tetap merugi di tahun 2021 dan akan terjadi semakin banyak penyempitan tenaga kerja di bidang pendidikan. Kondisi tersebut ditambah dengan transisi ke era teknologi dan digital inilah yang akan cepat atau lambat mengeliminasi para dosen dan profesor yang tidak dapat beradaptasi.

“Beberapa orang yang tahun lalu tidak ambil paket, kalau mereka tetap tidak dapat adaptasi dengan teknologi, pasti tahun ini akan dipaksa ambil paket. Menurut saya ya lebih baik untuk mereka ambil paket saja, kalau tidak bisa stress mereka, ” tambah profesor yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengajar itu.
Harus dapat beradaptasi di era digital
Adaptabilitas kini menjadi kunci utama dalam menghadapi perubahan dan transisi pasca COVID-19. Dengan tren masa depan yang berkiblat ke arah online dan digital, Marthin menasehati para mahasiswa dan staf akademis untuk bersiap-siap dan membiasakan diri dengan teknologi online seperti zoom dan pre-recorded lectures.
“Bagi para mahasiswa yang sedang belajar, lanjutkan saja. Kita harus selalu versatile dan bisa beradaptasi terhadap lingkungan,” katanya. Pria yang hobi bermain ukulele itu juga mengingatkan para calon mahasiswa, baik yang di dalam maupun di luar negeri untuk tidak berkecil hati dengan kondisi belajar yang berbeda dari yang mereka harapkan. Ia yakin, pasti ada sesuatu yang bisa didapatkan dari setiap perubahan dan tantangan hidup.
“Jadikan ini inovasi baru yang menerobos tantangan,” pesannya.