Dewi bersama suami, Ian

Tragedi Mei 1998 tentunya memiliki tempat tersendiri dalam sejarah negara kita tercinta, Indonesia. Ini pula menjadi salah satu lembaran kelam di pojok hati dan pikiran kita, dimana dengan perselisihan antar ras dan orientasi politik telah memakan korban jiwa, moral serta mental. Kejadian traumatis tersebut membuat banyak orang berspekulasi akan apa yang sebenarnya terjadi 20 tahun silam. Tak terkecuali peredaran rumor dan kekuatan politik yang memainkan peranannya masing-masing.

Berdiskusi dengan hadirin di acara peluncuran buku ‘My Pain, My Country’ yang diselenggarakan The Museum of Indonesian Arts Inc. di Melbourne

Adalah Dewi Anggraeni, seorang jurnalis koresponden majalah TEMPO yang berdomisili di Australia, tergerak untuk mengulik kisah kelam Mei’98. “Waktu saya mendengar [mengenai kerusuhan Mei’98 untuk pertama kalinya], saya tidak percaya. Mana mungkin orang Indonesia bisa berbuat seperti itu?” tukas Dewi. “Sampai akhirnya saya bertemu dengan salah satu korban [kerusuhan tersebut]. Sesudah itu saya jadi merasa bersalah, kenapa saya ikut-ikutan ga percaya?”

Berbekalkan tekad serta kerja keras, Dewi pun mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dan menuangkan hasil pemikirannya melalui sebuah buku bertajuk ‘Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan’ empat tahun lalu. Dan pada penghujung tahun 2017 Dewi lalu membingkai perasaan serta emosinya ke dalam buku fiksi yang diberi judul ‘My Pain, My Country’.

 

Menandatangani bukunya untuk para pembaca

Dalam acara peluncuran buku terbarunya tersebut Dewi mengatakan jika selama ini ia belum sepenuhnya dapat mengungkapkan semua hasil risetnya. Hal ini lah yang kemudian mendorong Dewi untuk menciptakan ‘My Pain, My Country’. Selain itu, genre fiksi memberikan ruang bagi sang penulis dalam menata Tragedi Mei’98.

“Kisah para korban, keluarga korban dan orang-orang yang membantu yang terus menghantui diri mereka sendiri terus menghantui saya,” ujar Dewi. Pada buku yang ke-12nya itu, Dewi mengisahkan tiga wanita yang menjadi korban dari kerusuhan Mei’98. Korban di sini memiliki arti yang luas, yakni selain mereka yang secara langsung mengalami kejadian traumatis, namun juga masyarakat sekitar – baik keluarga, teman, maupun relawan – yang terus memperjuangkan hak dan pengakuan bagi mereka.

 

Apa Kata Mereka?

 

Dewi bersama suami, Ian

Dewi Anggraeni

Dari pengalaman saya dalam meriset dan menulis buku ini, saya kira kita harus membuka pikiran kita. Kalau punya prasangka, jangan selalu menutup diri dengan meng-generalisasi. Kalau ada yang bilang sesuatu itu rekayasa,  belum tentu semuanya rekayasa. Tetapi stereotype yang ada itu memang ada benarnya, meskipun terkadang suka dibesar-besarkan. Jadi jangan meng-generalisasi maupun menyangkal sesuatu sama sekali.

 

Bela Kusumah
Mantan Wartawan Radio SBS

Saya kira para pembaca harus melihat bahwa novel ini bukan semata-mata imajinasi, tapi berdasarkan pengalaman Ibu Dewi karena Ibu Dewi juga wartawati TEMPO. Saya sebagai wartawan juga merasa bahwa fakta-fakta yang terjadi itu perlu diangkat, tetapi untuk pembaca tidak semuanya ingin membaca reportase jurnalisme, namun ingin membaca sebagai cerita. Nah, dengan cerita itu, semoga saja pembaca bisa ada suatu itikad bahwa hal ini itu memang terjadi dalam sudut sejarah.

 

Ni Made Purnama Sari
Penulis non-fiksi Indonesia yang tengah bertukar pelajar ke Melbourne

Kupikir upaya Mbak Dewi untuk menyuarakan peristiwa 98 ke publik luar Indonesia adalah hal yang penting. Buku, dalam pandanganku, adalah salah satu medium kita untuk berkomunikasi dan menyampaikan ide mengenai banyak hal, sehingga dalam tahapan ini bolehlah dibilang bahwa Mbak Dewi telah mencapai tujuannya, yakni menggambarkan kejadian. Tahapan berikutnya, tentu adalah tanggapan dari para pembaca, dan soal ini terus terang aku tidak bisa berkomentar banyak sebab penilaian serta pandangan apakah kisahnya sampai kepada mereka berpulang kepada masing-masing pembacanya.

 

 

 

JLie