“Allahuakbar! Tak tak gendendang det gerrrrr! Kling klong kling kling kling klong ning ing nong nong ning ning gerrrrrr!” Demikianlah suara-suara yang berkumandang di dalam Melba Hall pada kamis malam, 12 Maret lalu. Alih-alih memberikan seminar tentang filosofi gamelan dan musik tradisional Jawa, Sutanto Mendut membuat para hadirin merasakan apa itu musik gamelan dengan mengajak mereka untuk memvokalisasikan komposisi musik gamelan karyanya yang berjudul “Allahuakbar.”
“Ya ada masjid di belakang panggung studio tari saya. Jadi kalau ada orang datang ke studio terus foto-foto habis pentas saya upload ke Instagram. Semua foto-foto di Instagram saya mesti ada masjidnya. Supaya aman dari ulama-ulama itu,” candanya ketika memperkenalkan komposisi “Allahuakbar.”

Meski telah menciptakan komposisi yang sangat terkesan Muslim dan mengaku memiliki masjid pribadi di area rumahnya, Sutanto menegaskan bahwa musik dan seni itu bebas dari agama apapun. Musik itu milik semua insan, tak peduli apapun agamanya dan dari mana saja penikmat maupun pemainnya.
Di kali ketiga kunjungannya ke Melbourne, pendiri komunitas seni Lima Gunung ini bertujuan untuk memberikan seminar dan workshop dalam bidang musik dan kesenian tradisional Jawa. Tak lupa beliau juga menekankan nilai-nilai kultur dan tradisi masyrakat Jawa dimana kesenian itu berasal.
“Kurang kacau, orang Melbourne masih terlalu sopan. Di sini ga ada setannya, saya lebih senang setan Jawa,” komentar Sutanto diakhir pertunjukan dadakan yang dilakukan oleh para hadirin yang sukses dibuat bingung sekaligus makin penasaran dengan apa itu gamelan dan musik tradisional Jawa.
Rupanya budayawan asal Magelang ini merujuk kepada kesenian tradisional Jawa yang menurutnya berkaitan dengan hal-hal metafisika. Bagi Sutanto, ‘setan-setan’ ini merasuk ke dalam kesenian gamelan dan wayang kulit dan menjadi bagian dari mereka. Begitulah ‘filosofi gamelan’ menurutnya.
Beliau juga menjelaskan bahwa kesenian Jawa yang berbau spiritual ini memiliki kesamaan dengan kesenian tradisional suku aborigin Australia yang juga melibatkan roh-roh alam seperti roh gunung, air, pohon dan lain sebagainya.
“Ya jadi di Indonesia itu setannya macam-macam, ada setan gunung, setan Papua, Sulawesi. Virusnyapun macam-macam, ga hanya corona. Virusnya macam-macam, setannya macam-macam, bidadarinya pun macam-macam. Jadi orang Indonesia kalau sakit ga usah takut, lebih baik langsung mati saja,” kelakarnya di akhir seminar.
Kegiatan Sutanto di Melbourne tak hanya sebatas memberikan seminar, lecture, dan workshop tari. Pria yang kesehariannya bekerja sebagai petani ini juga tengah berupaya memodernisasikan alat musik gamelan yang dinilainya semakin ‘kehilangan tempat’ dengan terjadinya urbanisasi dan perkembangan tata kota. Eksperimen kecilnya di tengah-tengah seminar itu adalah contoh upaya Sutanto dalam mengembangkan musik gamelan secara kontemporer. Ia juga berharap dapat menemukan metode permainan gamelan yang tidak kaku dan tradisional, dan bisa dimainkan oleh lebih banyak kalangan.

“Saya sudah meramalkan dari dulu bahwa kota-kota seperti Jakarta, Tokyo, Sydney, ini kedepannya semakin kotor, bising, traffic jam. Akan susah main gamelan di kota, terlalu ramai, kalau di desa masih bisa,” jawab laki-laki berumur 66 tahun itu ketika ditanya bagaimana masa depan musik gamelan. “Seperti di Melbourne, bagaimana coba cara membawa gamelan naik tram? Ngga bisa kan?”
Terlepas dari perilaku dan perkataannya yang agak nyeleneh, Sutanto Mendut memang bukanlah seorang seniman biasa. Upayanya untuk selalu menekankan nilai-nilai budaya dan tradisi kedalam karya seni dan kegigihannya memberdayakan masyarakat melalui kehidupan sosiokultural membuatnya layak menerima penghargaan dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi.
Dan meski memiliki latar belakang sebagai musisi dan berhasil menjadi anggota elit masyarakat seni, Sutanto mengaku bahwa ia telah meninggalkan profesi sebagai musisi profesional sejak 40 tahun lalu untuk aktif terjun ke dalam dunia sosial.
Passionnya terhadap isu masyrakat seperti perempuan, lingkungan, heritage, mobilitas sosial, hukum dan pemerintahan mengantarnya hingga ke Jepang dimana ia diundang untuk acara Landscape Architecture. Di sana, pria lulusan akademi musik ini berbicara tentang isu habitat dan hak-hak rumah. Tak jarang juga beliau turun untuk berpartisipasi di berbagai demonstrasi yang berhubungan dengan isu-isu yang menjadi passionnya tersebut.
“Saya ini punya banyak passion. Rugi ya kalau cuma jadi composer, pentas paling satu tahun sekali. Kalau ini kan saya bisa plesir kemana-mana. Soal isu perempuan, nanti isu eviction penggusuran, nanti masalah tentang Borobudur. Jadi permasalahan saya jadi agak banyak.”
Apa Kata Mereka

Ilona Wright
Gamelan Lecturer at The University of Melbourne
I teach, usually just traditional Javanese gamelan music here, and I was contacted by Danny Butt saying that Pak Sutanto is coming to Melbourne. I thought it will be great for him to visit. I’m also a part of the Melbourne community gamelan, so it will be great for him to come and visit our rehearsal, so we can meet him and get to know him since none of our members ever met him. So we want to see how he is like and how we can help him with his presentation tonight. He met us on Monday and we had a wonderful discussion. He said he is going to do this unusual composition, and everything will be vocal.
We asked do we need to bring our instruments down, but he said no and he asked us to just help with the performance by guiding the audience. The performance opened up my mind to the possibility of collaborating with other people. My background is very traditional, with the music I teach my student and my community group, we play traditional gamelan music. So it is interesting to speak to and listen to a Javanese musician who does more experimental stuff, more contemporary stuff, I wasn’t expecting that. So that was really interesting.

Danny Butt
Associate Director VCA (Research) at Victorian College of the Arts Faculty of Fine Arts and Music, at the University of Melbourne
Thanks to the introduction via Djohan at Institut Seni Indonesia (ISI), over the last three years, I have been fortunate to travel with students from VCA and ISI, along with colleagues from KUNCI Study Forum and Collective, up to Lima Gunung where we have been able to see the festival in action. Pak Tanto was here with us to work with Dr Linda Sastradipradja and students from VCA’s Dance programme on developing a new work for students to bring to the festival. Over these visits, I have come to see how Sutanto’s practice as a community leader is based around his interest in composition and free jazz, and his work provides a consistent impetus to question traditional genres from a place of respect, and to allow the work of the ancestors to open us up to the present, the other, the people, and the world yet to come. Sutanto is an elder who has greatly influenced my own thinking about indigenous knowledge and self-determination in the difference between post colonial Indonesia and settler-colonial Australia, and the amazing potential for future exchange between them.

Ron Reeves
Musician
I know this guy, I have known him for a very long time. I knew even if the title says “Philosophy of Javanese Gamelan”, it wasn’t going to be something that we will expect. It is going to be surprising. He is always surprising.
Phoebe