Peresmian Indonesian Culinary Association in Victoria (ICAV)

Sulit membantah kekayaan kuliner nusantara yang begitu lezat, menggugah selera, kaya bumbu dan teknik, dan selalu bikin rindu Tanah Air. “Diplomasi lidah” juga sepertinya yang paling mudah menarik minat dan memersatukan masyarakat Indonesia di luar negeri untuk berkumpul. Namun jika berani jujur, kuliner Indonesia di Australia khususnya di kawasan Victoria perkembangannya tidak seagreasif kuliner Thailand, Vietnam, Korea Selatan, dan bahkan Malaysia.

Ketua ICAV periode 2018 – 2020 Razak Baswedan

Problem ini pula yang ditangkap Ketua Indonesian Culinary Association in Victoria (ICAV), Razak Baswedan, dan diungkapkan di malam peresmian ICAV 23 Januari 2018, lalu di KJRI Melbourne. Jika dibandingkan dengan berbagai restoran Indonesia yang ada di sekitar Melbourne, cabang restoran Thailand dan Malaysia lebih banyak. Restoran Indonesia tercatat berjumlah 40 dan kebanyakan terpusat di tengah kota serta membidik mahasiswa sebagai target market. Problem lainnya adalah ketiadaan premium dining Indonesia dan mid dining pun nyaris tidak ada. Selain itu, perlu adanya standarisasi menu, kualitas, rasa dan presentasi untuk masakan Indonesia.

Lalu mengapa restoran Thailand dan Malaysia bisa “berlari” lebih kencang? Dalam presentasinya, Razak Baswedan menunjuk beberapa indikasi. Bisa jadi karena mereka memasuki pasar lebih dulu daripada Indonesia dan mereka mendapat pinjaman lunak dari bank mereka. Selain itu, mereka sadar betul bahwa optimalisasi kuliner bisa menjadi  ajang yang bagus untuk promosi pariwisata. Untuk urusan bank, Plt. Konsul Jendral RI di Melbourne, Zaenal Arifin, mengungkapkan bahwa BNI akan membuka cabang di Melbourne, meski masih harus membereskan berbagai aturan.

Pemukulan gong menandai peresmian ICAV oleh Plt Konjen RI Zaenal Arifin (kanan) didampingi Ketua ICAV

Razak Baswedan yang terplih sebagai Ketua Asosiasi ICAV periode 2018 – 2020 ini sudah malang melintang di bisnis kuliner Indonesia di Melbourne. Dari problem sehari-hari, ia mencoba merangkum persoalan yang biasanya muncul. Bisnis kuliner di Australia cukup pelik karena dipagari berbagai aturan. Seseorang yang piawai memasak pun tidak mudah untuk lantas membuka bisnis sendiri, dan seringkali ketika mencoba merintis bisnis kuliner, abai terhadap segala regulasi yang berlaku.

Penyerapan tenaga kerja profesional di bidang kuliner juga perlu didorong. Sehingga otomatis standarisasi dan peningkatan kualitas bisa terjaga. Merangkul para entrepreneur baru juga dibutuhkan.

ICAV yang terbilang baru ini memang terkepung banyak problem kuliner Indonesia di tanah Victoria yang perlu dijembatani. Namun bukan berarti tidak ada peluang emas. ICAV menawarkan model bisnis berupa dapur sentral dan operator makanan berupa food truck atau food trailer agar mampu menjamah berbagai area suburb, serta mengadakan acara-acara kecil di berbagai daerah tiga bulanan.

Lebih dari 50 perwakilan komunitas Indonesia menyaksikan peresmian ICAV di Ruang Bhinneka KJRI Melbourne

Dalam sesi diskusi, ada beberapa masukan menarik yang juga muncul. Untuk menjadi bahan pertimbangan ke depan. Di antaranya, pemberdayaan komunitas karena banyak individu-individu yang ingin bergerak merintis bisnis tapi kebingungan terbentur regulasi. Selanjutnya dibutuhkan pula sosialisasi peraturan dan workshop untuk membekali hal-hal apa saja yang perlu disiapkan para pebisnis, entrepreneur, dan siapapun yang hendak menjalani industri kuliner.

Langkah pertama sudah dimulai, kita nantikan sepak terjang ICAV bersama-sama masyarakat Indonesia memajukan kuliner nusantara agar berdaya.

 

***

Terbentuknya ICAV Jadi Kenangan Manis untuk Banga Malewa

Plt. Konsul Jendral RI di Melbourne, Zaenal Arifin, menuturkan bahwa terbentuknya ICAV adalah mimpi dari Konsul Muda Ekonomi KJRI Melbourne, Banga Malewa. Peresmian ICAV ini menjadi agenda terakhir bagi Banga setelah tiga tahun bertugas di Australia. Dalam pidato perpisahannya Banga mengungkapkan bahwa selain terlaksananya ICAV, kesepakatan skilled worker visa untuk chef profesional Indonesia juga menjadi sederet kenangan manis selama dirinya bertugas.

“Kita sudah menyepakati masuknya 300 chef profesional per tahun dan sudah berjalan sejak tahun 2016. Para chef sudah dikirim ke seluruh bagian Australia dan memang paling banyak di Sydney,” kenangnya. “Tapi yang tak kalah manis tentu saja inspirasi dari Bapak dan Ibu di Melbourne yang terus berjuang mempromosikan Indonesia. Keberhasilan bapak ibu dalam bisnis dan profesional masing-masing sesungguhnya adalah kebangaan dan kebahagiaan tersendiri bagi kami pelayan-pelayan Indonesia yang ditempatkan di perwakilan ini hanya dalam waktu singkat, tiga tahun. Terimakasih atas bantuan, dukungan, kerjasama dan bahkan bimbingan para tokoh masyarakat dan selama penempatan saya di sini. Saya berterimakasih dan semoga Bapak dan Ibu diberkati untuk terus mempromosikan Indonesia di Negeri Kangguru,” tutupnya.

 

 

 

Apa Kata Mereka

Dyah P. Bazerghi

Saya sangat mendukung terbentuknya asosiasi ini. Di Jakarta saya sempat punya restoran Makassar. Sejak pindah ke Melbourne karena ikut suami saya mencoba untuk merintis bisnis, tadinya saya mulai dengan bisnis kuliner, tapi ternyata tidak semudah di Indonesia. Saya kemudian membuat tur dan travel. Saat menjalankan bisnis ini, saat membawa orang-orang Indonesia tur di Melbourne, betul sekali uraian Pak Razak, saya kesulitan mencari fine dining Indonesia. Selain itu, untuk para wisatawan Muslim juga saya bingung mau dibawa ke restoran halal mana. Jadi sebagai masukan semoga asosiasi ini juga bisa membantu mengkomunikasikan dan menjadi sentra informasi tentang restoran-restoran Indonesia mana saja yang bisa kita datangi. Selain itu melihat bahwa ada gap antara restoran Thailand dan Malaysia dengan Indonesia, kita juga butuh benchmark untuk mengejar ketertinggalan.

 

Celly Goeltom

Menurut saya acara hari ini sudah sepantasnya terjadi, dan seharusnya dari dulu dibentuk asosiasi semacam ini. Semoga ICAV menjadi tempat persatuan dan kesatuan para pebisnis, tak hanya pemilik restoran, tapi juga entitas privat yang ingin masuk ke industri ini.  Promosi kuliner Indonesia itu memang seharusnya ditujukan pada internasional karena menurut saya kurangnya masyarakat kita itu adalah kita hanya fokus untuk menyenangkan orang Indonesia saja, padahal masakan Indonesia itu universal. ICAV harus mampu mengayomi pemilik restoran karena mereka juga perjuangannya berat, sama halnya dengan pemilik bisnis kuliner rumahan. Saya sadar karena ICAV juga masih sangat baru, tadi kita hanya disodorkan program-program mereka. Tapi jika asosiasi ini bisa bertumbuh sama rata di antara restoran yang sudah ada, orang-orang yang mau membuka bisnis, atau ibu-ibu yang mau berjualan di rumah maka kuliner Indonesia bisa maju.

 

 

 

Deste