
Komisi Nasional Perempuan mencatat bahwa sekitar 431,471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2019, tidak termasuk perkara yang tidak terlaporkan.
Tahun demi tahun Indonesia membiarkan budaya kekerasan mengakar hingga kekerasan seksual tidak dianggap sebagai kejahatan yang dapat dihukum. Tidaklah mengejutkan untuk mendengar seorang remaja malangnya diperkosa oleh Kepala UPT P2TP2A di Lampung Timur, atau seorang korban di Bali yang dihamili hingga akhirnya ia dinikahkan kepada sang pemerkosa hanya untuk mendapatkan diri diperkosa lagi oleh mertuanya, atau 42.89% laki-laki berbagai umur diserang secara seksual di dalam bus dan 19.65% lain di dalam angkot.
Meskipun jumlah kasus kekerasan seksual terus meningkat belum ada seperangkat undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan para korban. Selama bertahun-tahun korban-korban pelecehan seksual diposisikan sebagai pihak yang bersalah karena menggunakan pakaian minim, berpergian sendiri di malam hari, dan alasan-alasan lain yang dianggap merangsang si pelaku.
Dikarenakan semua itulah pada akhirnya sebuah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual diajukan untuk disahkan. Pasal 1 dalam Rancangan Undang-Undang ini mendefinisikan kekerasan seksual sebagai sebuah perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan.atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Dalam RUU PKS aksi pelecehan seksual bukanlah hanya perkosaan tetapi aksi kekerasan seksual lain baik fisik maupun non-fisik seperti eksploitasi seksual, pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan pernikahan, pemaksaan prostitusi, perbudakan seksual.
Sayangnya, urgensi pengesahan Undang-Undang ini tidak diprioritaskan oleh pihak DPR karena pada 30 Juni 2020 Badan Legislasi DPR menarik pengesahan RUU PKS karena dianggap sulit untuk dibahas. Persoalan ini membuat marah masyarakat Indonesia dan menjadi topik viral yang marak dibicarakan oleh saluran-saluran berita hingga individu-individu di berbagai platform media sosial seperti Twitter, Instagram, hingga TikTok. Setiap belah pihak memasang begitu banyak postingan media demi mendesak pengabulan RUU PKS. TribunNews melaporkan bagaimana urusan ini menggambarkan Lembaga DPR sebagai pihak yang tidak mempumyai komitmen politik yang kuat bagi para korban (2 Juli 2020).
USS Feed baru-baru ini mengunggah sebuah video di Instagram cerita-cerita berbagai wanita yang diserang secara seksual di akun mereka. Setiap dari mereka tidak hanya sekali mendapatkan komen-komen yang tidak sopan, tidak senonoh, dan mengucilkan dari orang-orang yang tidak mereka kenali.
“Kenal atau tidak, mereka merasa berhak atas badan manusia lain,” adalah kesimpulan dari pendapat mereka tentan komentar-komentar tersebut.

Sebagai bagian dari bangsa dan negara dimana keadilan masih belum ada bagi korban kekerasan seksual, kita harus menjunjung tinggi akan apa yang harus secara benar dilakukan. Terutama karena kita yang adalah generasi media sosial, kita harus bisa memanfaatkan platform-platform media yang kita miliki demi perwujudan RUU PKS. Kita harus dapat membantu suara para korban untuk didengar dan menyebarkan kesadaran masyarakat akan isu pelecehan seksual yang kian memburuk. Seperti apa yang dikatakan Ernest Prakasa, semua berasal dari pola pikir kita tidak hanya mengenai permasalahan ini tetapi akan bagaimana kita dapat menghargai satu sama lain sebagai layaknya manusia.