
Young and Jackson penuh dijejali pengunjung yang ingin melihat penampilan Rhyms saat peluncuran EP “First”
Di antara rintik hujan yang mengguyur Melbourne, kerabat dan teman yang berdesak-desakkan mendekati panggung di area bar Young and Jackson, Randy Pratama Sugianto atau yang juga punya nama panggung Rhyms dengan gitar yang selalu tergantung di pundak meluncurkan EP pertama berjudul “First”, 8 Oktober silam. Ini adalah usaha perdana dan tentu bukan satu-satunya dari Rhyms untuk memperkenalkan karyanya ke jangkauan pendengarnya.
Rasanya lagu-lagu Rhyms yang melankolis dengan petikan gitar yang cenderung sendu, memang begitu pas didengar saat hujan. Meski malam itu nada-nada yang dimainkan Rhyms dan kawan-kawannya harus beradu dengan derai tawa dan obrolan tamu-tamu lain yang membaur, ia tetap berhasil menghibur yang hadir. Tak sekadar berakustik, Rhyms juga membawa serta band-nya untuk tampil mengiringi. Begitu pula dengan kawan-kawannya yang turut ambil bagian menjadi bintang tamu. Salah satu yang berhasil menghidupkan suasana adalah saat Grace Yolanda, gadis berusia 15 tahun, naik ke atas panggung untuk berduet bersama Rhyms. Tak hanya memainkan lagu-lagu ciptaannya, Rhyms juga memainkan lagu populer yang sudah akrab di telinga, seperti Hotline Bling milik Drake, Gravity ciptaan John Mayer, dan My Everything-nya Glen Fredly.
Tim Buset pun sempat berbincang-bincang dengan Rhyms tentang proyek-proyek serunya di depan mata dan mengapa ia melabuhkan kecintaannya di dunia musik.

Kapan mulai tertarik bermusik?
Dari akhir tahun 2012. Awalnya ketika masih di Foundation Studies, saya mau ambil bisnis. Tapi di tengah jalan, salah satu teman gereja yang bernama Raynald memperkenalkan saya pada gitar dan membuat saya tertarik. Jadilah sehabis foundation, saya memutuskan mengambil Sound Production. Ternyata saya juga menikmati proses menulis lagu dan mengekspresikan karya sendiri. Banyak dukungan juga dari guru dan teman-teman sekolah untuk terjun di dunia musik. Begitu pula dengan orangtua dan keluarga yang memberi support.
Selama belajar di Melbourne, kecintaan terhadap musik Indie jadi bertumbuh. Bisa diceritakan mengapa?
Kalau boleh jujur, selera musik saya berubah terus. Saya inginnya bisa berkarya tanpa harus dibatasi dengan satu genre tertentu. Selain suka musik abstrak, saya juga suka musik pop komersial. Inginnya bisa bikin musik folk, R&B, chill-pop, jazz-pop, blues-pop, dan mungkin menyentuh genre tekno dan grunge juga. Tentu semuanya dibuat soulful.
Siapa sajakah musisi yang paling banyak memberi pengaruh bermusik?
Kalau penyanyi dan pengarang lagu, saya terinspirasi pada Ed Sheeran, John Mayer, Tom Misch, Charlie Lim, dan Gabe Bondoc. Banyak juga dipengaruhi oleh musisi-musisi EDM (electronic dance music). Kalau di Indonesia, buat saya Dipha Barus keren banget, saya menyuakai karya barunya.
Mengapa memakai nama panggung Rhyms?
Sebenarnya saya hanya mencari nama yang berirama saja. Irama kan bahasa Inggrisnya “Rhymes”. Tapi kemudian dapat masukan dari teman-tema pemilik label musik di sini, kalau kata itu terlalu merepresentasikan artis hiphop. Lagipula sekarang artis indie suka menggunakan nama abstrak, jadi saya sekarang memperkenalkan diri sebagai “Rhyms”, dieja seperti “Rhymes” tanpa “E”.

Apa makna musik buat kamu?
Saya rasa sama seperti seniman dalam bidang apapun, musik adalah wadah kreatif mengutarakan emosi dan ide. Musik jadi medium penting untuk berekspresi.
Bagaimana proses pembuatan EP pertama “First” ini?
Prosesnya panjang. Dalam EP ini ada satu track intro dan lima lagu solid. Selain melalui proses rekaman dan audio mixing, selanjutnya tahap mastering audio dilakukan di Amerika, sama dengan yang mengerjakan albumnya Tulus. Termasuk saat akan meluncurkan EP ini, tantangannya semua dikerjakan sendiri, budget pengerjaan terbatas dan mengumpulkan pemain yang bisa klik untuk perdana tampil live. Untungnya, semua berjalan baik dan pemain band yang mengiringi saya pun asyik semua.
Dari seluruh lagu yang diciptakan, adakah yang paling berkesan?
Lagu berjudul “Future’s Fire” jadi favorit saya karena lirik dan temanya berkisah tentang pertemanan dan janji seorang teman yang setia. Jika disimpulkan, perspektifnya seperti ini: biarpun kita tidak pernah tahu soal masa depan, masih ada harapan yang membara. Kita semua tidak akan selamanya jadi raja dan ratu dunia kita. Dan biarpun seorang teman sedang putus harapan, kita tidak boleh meninggalkan sendirian.
Lagu-lagu kamu ditulis dalam bahasa Inggris, adakah keinginan untuk menulis lagu dalam bahasa Indonesia?
Ditulis dalam Bahasa Inggris karena saya berada di Australia dan ingin menarik market internasional, ke depannya saya juga ingin go international. Seperti sekarang di Indonesia ada Rich Chigga yang sukses di Amerika dan diapresiasi sama pionir musik hiphop legendaris. Ditunggu saja tahun depan, pasti ada kolaborasi lagu berbahasa Indonesia. Ada kemungkinan juga membuat band yang terpisah dari Rhyms untuk karya bersama dengan orang-orang yang sejalan dan sehati dengan selera musik Indonesia juga.
Dengar-dengar kamu akan kembali ke Indonesia tahun depan, apa yang membuat kamu memutuskan untuk kembali ke Tanah Air? Proyek apa yang sudah menanti?
Karena industri entertainment-nya sedang bertumbuh dan ada peluang besar di sana. Ingin juga mempelajari dan kalau bisa menguasai market musik sekitar Asia (untuk saat ini Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Vietnam). Ingin juga memproduksi soundtrack untuk film-film ke depannya, karena selain musisi, saya juga punya latar belakang sebagai sound designer dan punya passion di sini. Selain itu ingin bikin tur sekitar Asia dan mengejar sponsor dan networking dengan para produser musik di sekitar Asia. Saya juga ingin bekerja sebagai produser dan membuat lebih banyak singles untuk promo musik sendiri.
Apa Kata Mereka
Melianthy
Bertemu Randy pertama kali di gereja, saat itu saya baru sampai di Melbourne. Banyak yang bilang, dia sangat berbakat. Saya lalu mencoba mendengar lagunya pertama kali berjudul For Tonight di Spotify. Saya memang dari dulu suka mendukung musisi indie. Jika kamu mendengar lebih seksama di tiap lagunya, ia punya style tersendiri.
Richard Antonius
Randy itu teman di gereja, suaranya memang enak. Saya ikut senang dengan pencapaian dia saat ini. Terus maju ke depan, lancar semua yang ingin dicapai, terus berkarya dan diberkati Tuhan.
Jennifer Chandra
I’m happy for him. Sebagai teman bisa melihat karyanya dinikmati dan diapresiasi publik jadi ikut bangga rasanya. Sukses terus Randy!
Deste