Baru saja Bangsa Indonesia memperingati hari Pendidikan Nasional (2 Mei). Namun ‘segudang persoalan pendidikan’ masih menghantui negeri ini. Mulai dari fasilitas sekolah rusak, akses pendidikan yang tidak merata, kualitas guru timpang, contekan masal hingga budaya ‘hedonis’ yang menjangkiti anak-anak muda perkotaan. Sangat ironis, sebagian anak muda di desa kesulitan mendapatkan fasilitas sekolah yang memadai, sedangkan sebagian anak muda di perkotaan justru terlibat tawuran masal dan tidak memiliki kepeduliaan terhadap lingkungan dan sosialnya. Cerita tentang pengeroyokan siswa hingga tewas, perusakan fasilitas umum oleh sekelompok pelajar hingga ‘bully’ antar siswa sering menghiasi berbagai media nasional. Cukup miris dan menakutkan!
Keinginan baik pemerintah melalui kebijakannya tampaknya masih kalah cepat dengan laju virus patologi sosial yang semakin menjadi-jadi di negeri ini. Tengok saja dengan kasus pelecehan seksual terhadap siswa-siswi TK Jakarta International School (JIS) yang dilakukan oleh komplotan guru dan petugas sekolah yang baru-baru ini marak diberitakan. JIS yang semestinya sebagai tempat pendidikan dengan standar kurikulum dan pengajar bertaraf internasional dengan segala kemewahan fasilitas yang dimilikinya tidak mampu untuk menjadi tempat yang ‘aman dan sehat’ bagi tumbuh kembangnya anak-anak kita.
Sungguh paradoks, peningkatan anggaran pendidikan negara (hingga 20% APBN, sesuai perintah UUD 45) melalui reformasi sejak 15 tahun lalu tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan. Program ujian akhir nasional (UAN) alih-alih dapat digunakan untuk mengukur dan meningkatkan prestasi akademis rata-rata siswa di Indonesia, justru menjadi wahana ‘proyek’ hingga menjangkitnya ‘penyakit sosial baru’ yakni turunnya moral kejujuran seperti maraknya bocoran soal dan kunci jawaban UAN yang dilakukan secara bersama-sama oleh siswa, guru hingga pemangku kebijakan pendidikan, dan penyakit mental yang ditimbulkan seperti stres, trauma dan kecenderungan bunuh diri. Gangguan mental ini, lambat laun mengakibatkan kerugian negara dalam jangka panjang dan rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan (Laporan studi Kesehatan Dasar, Kemenkes, 2008 menyebutkan sekitar 20% pertahun jumlah siswa sekolah mengalami gangguan mental).
Di sisi lain, bangsa ini juga memiliki prestasi yang luar biasa. Baru saja kita mendapatkan laporan dari ‘Bank Dunia’ bulan Mei ini yang mengatakan bahwa ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih cepat dari perkiraan Lembaga Survei McKinsey Global Institute (MGI), terkait “The Archipelago Economy”. Bahkan survei ini memprediksi bahwa kekuatan ekonomi Indonesia akan meraih peringkat 7 terbesar di dunia tahun 2030. Kemajuan ekonomi kita tentu saja tidak lepas dari peran kebebasan masyarakat dengan penguatan ‘civil society’ akibat reformasi dan demokrasi yang mengantarkan pergantian kepemimpinan melalui proses pemilu yang demokratis.
[alert color=”092BD6″ icon=”9881″]Siswa di Indonesia bisa dikatakan pasif atau malu berpendapat namun ketika menjadi politisi, justru ‘berebut mic’ untuk berbicara. [/alert]Demokrasi memungkinkan masyarakat dapat terlibat aktif mengusulkan/merevisi berbagai undang-undang atau peraturan daerah melalui DPR atau pemilu kepala daerah yang bertujuan untuk peningkatan pengelolaan negara yang lebih terbuka, partisipatif dan akuntabel. Namun, pencapaian ekonomi Indonesia ini berpeluang terjebak dalam perangkap ‘The Middle Income Trap”, yakni keadaan negara dengan pertumbuhan ekonomi sangat pesat tetapi tidak merata (dinikmati segelintir elit politik, konglomerat) dan memiliki resiko politik, keuangan dan sosial yang rawan karena pertumbuhan ekonomi yang disokong oleh pertumbuhan konsumerisme bukan ekspor nilai tambah (oleh SDM yang unggul dan terampil).
Tengok saja, laporan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang menyebutkan (1) peringkat produktivitas Indonesia di nomor urut 58 di bawah beberapa negara ASeAN dan (2) sekitar 1,3 juta/tahun tamatan SD hingga Sarjana berpotensi menganggur akibat tidak seimbangnya jumlah dan mutu lulusan dan ketersediaan lapangan kerja. Ini menandakan bahwa produk sekolah kita selain belum mampu bersaing, juga tidak dapat menumbuhkan jiwa enterpreneurship. Padahal entrepreneurship ini diyakini merupakan salah satu persyaratan sebagai negara maju.
Ciri-ciri kerawanan sosialpun mulai marak. Walaupun masyarakat banyak yang bertambah makmur, masyarakat kita mengalami disorientasi kehidupan di berbagai level. Kegalauan oleh masyarakat bawah ditunjukkan dengan maraknya aksi intoleransi terhadap perbedaan, saling hujat hingga aksi demonstrasi di jalanan yang merusak.
Adapun masyarakat kelas menengah sibuk antre di mal-mall hingga menghabiskan waktu (tidak efektif) di dunia sosmed. Hingga maraknya perilaku korupsi para penyelenggara negara dari pusat hingga daerah. Hal ini diakibatkan oleh kegagalan laju masyarakat (gap budaya) untuk beradaptasi dengan dampak globalisasi dan akibat kemajuan teknologi informasi yang memberikan ruang kebebasan dan keterbukaan mengakses “apa saja” secara mudah dan cepat.
Varian patologi sosial lainpun muncul seperti menjamurnya perilaku manipulatif, jalan pintas, tamak hingga melanggar hukum untuk mendapatkan kenikmatan sesaat. Semua sifat itu justru muncul di era reformasi dan demokrasi yang sangat bertentangan dengan warisan nilai-nilai luhur bangsa kita. Reformasi ditengarai hanya menyentuh sebatas kelembagaan saja tanpa diiringi oleh “restorasi karakter bangsa” untuk membangun perilaku positif (kejujuran, adil, kebersamaan, bersahaja, kepeduliaan dan lain-lain) manusianya yang menjalankan sistem ini. Kurang apa aksi yang dilakukan oleh lembaga negara seperti KPK atau MK, begitu pemimpinnya berganti, maka perilaku koruptif dan pelanggaranpun marak kembali. Kita harus bisa merubah kondisi ini!
[alert color=”092BD6″ icon=”9881″]Pertanyaannya harus dimulai dari mana?[/alert]Banyak para ahli pembangunan mengatakan bahwa pendidikan dapat menjadi “senjata ampuh untuk memberantas kemiskinan melalui sumber daya manusia yang kompeten”. Ironisnya, pendidikan kita justru menjadi lahan kapitalisasi daripada saling menguatkan. Sekolah-sekolah di Indonesia sibuk menaikkan biaya dengan dalih meningkatkan daya saing yang berakibat pada semakin sulitnya dijangkau oleh anak-anak pintar dari keluarga kelas ekonomi bawah.
Selain itu, kegemaran melakukan standarisasi melalui program evaluasi (ujian nasional, UN) mengakibatkan pendidikan kita kental dengan muatan kognitif namun miskin “rasa” dan tidak “aplikatif”. Sehingga wajar jika educated (sarjana) unemployment kita tinggi dan kegagapan dijumpai para sarjana yang mengambil study PhD di luar negeri ketika harus menjumpai “academic writing” karena terbiasa “menghapal” namun lemah dalam berpikir analitis dan kritis. UN hanya mengevaluasi satu aspek kemampuan saja, tidak mengevaluasi keseluruhan proses belajar anak. Akibatnya tidak banyak ruang yang disediakan oleh kurikulum pendidikan kita untuk mengembangkan aspek afektif (rasa) dan psikomotorik (pelaksanaan). Padahal tokoh pendidikan bangsa ini Ki Hajar Dewantoro telah mencetuskan tiga konsep pengajaran yang utuh yakni “ngerti (kognitif), “ngrasa” (afektif) dan “nglakoni” (psikomotorik). Tiga konsep yang sangat mirip diperkenalkan oleh Blomm’s Taxonomy (cognitive, affective and psychomotor) yang diperkenalkan oleh Benjamin Blomm, seorang psikolog pendidikan pada 1956.
Nun jauh di sini, sudah 5 tahun lebih saya tinggal di kota Melbourne. Setiap kali mengantar-jemput sekolah buat ketiga anak kami, selalu saja keceriaan, kegembiraan dan suasana menyenangkan terpancar dari wajah anak kami. Mereka selalu berceloteh mengenai apa saja yang terjadi di sekolahnya. Saya teringat ketika si kecil Sora (kelas 1 SD) bercerita dengan antusias bahwa hari itu dia mendapatkan penghargaan “student of the week” karena rajin membaca dan selalu tersenyum kepada teman-temannya ketika masuk kelas. Anak kedua kami Jaeza juga tidak kalah semangat menceritakan pengalamannya mendapatkan apresiasi dari gurunya karena sangat baik dalam melakukan riset (me-review) beberapa buku bacaan secara terstruktur dan sederhana. Dan seabrek cerita lain nan menyenangkan dan inspiratif seperti penghargaan kepada si kecil karena menempati urutan 3/4 besar untuk lari (“cross country“). Sangat berbeda dengan suasana keponakan kami di Indonesia yang selalu suntuk dan merasa lelah jika pulang sekolah. Bayangkan saja jika anak kelas 2 SD harus berjibaku dengan seabreg mata pelajaran, hapalan dan pekerjaan rumah setiap hari. Mereka kehilangan waktu dan ruang untuk bermain dan bersosialisasi dan komunikasi, perilaku yang semestinya harus ditanamkan sejak kecil. Jika sekolah di Australia mampu menghadirkan suasana yang menyenangkan untuk belajar, hal itu tidak berlaku di Indonesia. Yang mengemuka justru kekakuan suasana belajar dan ruangan kelas yang “dingin”dan “kaku”.
Di Negeri Kangguru ini, siswa tidak dididik untuk hapal rumus atau formula matematika atau ilmu alam, melainkan diajarkan bagaimana konsep matematika itu ditempatkan dalam mengajarkan logika berpikir dalam budaya tutur. Ingatan saya menerawang jauh kebelakang saat saya diajarkan bagaimana menghitung “gaya benda” sebagai rumus ‘masa’ dikalikan ‘gaya gravitasi’. Maka di sini (Australia) siswa diajarkan perbedaan kecepatan jatuh sebuah benda akibat memiliki berat berbeda dengan ketinggian berbeda. Anak-anak langsung diajarkan praktek sebuah logika “peristiwa alam” dan kemudian diajak untuk menemukan rumus itu melalui eksperimentasi langsung. Lagi-lagi pendekatan yang menggabungkan ketiga aspek pengajaran yakni olah pikir, olah rasa dan olah karsa (tindakan nyata).
Alih-alih siswa kelas (preparation/TK nol besar hingga 2 SD) diajarkan berhitung, menulis, PPKN, Matematika, IPA dan seabrek mata pelajaran lain, maka siswa di sini dilatih bagaimana memiki keterampilan hidup (kebiasaan membaca setiap malam, show & tell atau menceritakan apa saja yang dibawanya dari rumah di depan kelas, musik dan belajar bersosialisasi. Suatu proses belajar yang dapat menumbuhkan kemampuan berempati dan saling menghargai satu sama lain. Karakter dasar yang terkadang hanya dihafalkan di sekolah-sekolah Indonesia.
Untuk menciptakan sekolah yang aman, sekolah-sekolah di Indonesia harus mengeluarkan biaya menggaji satpam hingga memasang CCTV di toilet-toilet. Sekolah di Australia menerapkan bahwa siswa harus ditemani oleh minimal 2 kawan ketika pergi ke toilet. Mereka menerapkan sistem “buddy” yakni siswa senior diwajibkan membantu, menemani dan menjaga siswa lebih junior jika mengalami kesulitan dan butuh bantuan. Perilaku yang mengajarkan tanggungjawab dan kepemimpinan. Hal yang sangat dijarang dijumpai di Indonesia yang justru saat ini marak dengan aksi “bullying” antar siswa.
Ketika siswa-siswa di Indonesia diwajibkan untuk menghapalkan nama-nama dan asal daerah para pahlawan nasional hingga UUD 45 agar mereka menghargai sejarah. Siswa di sini diberi tugas untuk menulis dan menceritakan siapa “their heroes” dan “why” (mengapa) mereka dianggap pahlawan. Sehingga siswa diajarkan berpikir kritis, rasional dan bertanggungjawab atas sikap pilihannya. Bukan siswa yang terlatif seperti “robot penghapal”. Sehingga jangan heran jika ada siswa yang menceritakan bahwa pahlawan mereka adalah seorang “tukang pengangkut sampah” karena telah berjasa membuat lingkungannya selalu bersih, sehat dan jauh dari penyakit.
Jika di Indonesia, setiap peraturan selalu diperkenalkan dengan pendekatan “hukuman dan pahala”, maka siswa di Australia, sejak dini diperkenalkan pentingnya tanggungjawab dan tugas setiap profesi pekerjaan yang mereka jumpai sehari-hari (polisi, pemadam kebakaran, dokter, insinyur hingga petugas petugas kebersihan). Sehingga mereka memiliki kesadaran tinggi dampak buruk jika tidak mengikuti aturan mereka.
Jika ujian nasional di Indonesia ditujukan sebagai syarat mutlak kelulusan siswa, maka ujian disini (NAPLAN Test) bertujuan untuk mengevaluasi sekolah dalam menerapkan metode belajar-mengajar yang diukur melalui hasil tes siswanya. Sehingga siswa tidak terbebani untuk lulus atau tidak.
Singkatnya, anak-anak di sekolah Australia tidak dicekoki oleh hukuman, hapalan rumus, beban mata pelajaran yang berjibun bahkan prestasi ujian nasional yang fantastis. Mereka hanya dilatih keterampilan hidup melalui pelajaran memasak, pertukangan, berkebun, dual bahasa dan penanaman karakter positif sejak dini. Untuk mengajarkan inovasi dan pola pikir kritis dan rasional, Australia melatih siswanya sejak SD untuk selalu membaca dan merefleksikan bacaannya melalui argumentasi yang terukur dan penulisan essai yang mampu melebihi batas imajinasi mereka.
Ya, kampanye ‘revolusi mental bangsa’, bukanlah sekedar tertuang dalam visi misi capres, melainkan sudah dipraktekkan di sekolah-sekolah dasar di Australia. Mereka hadir secara langsung menanamkan karakter positif dan optimis sejak dini melalui permainan yang menyenangkan, mudah, terjangkau tanpa fasilitas mahal.
Saya cukup terkejut ketika pemilihan school captain (Ketua OSIS SD), para kandidat harus mendaftar dan menawarkan program-programnya melalui debat kandidat di depan guru-guru dan teman-temannya. Mereka berargumen secara bergantian, tanpa memotong pembicaraan. Sungguh terkejut ketika anak tertua kami terpilih, bukan hanya karena programnya, keberaniannya berpendapat, melainkan kemampuannya menghormati pendapat orang lain. Suatu peristiwa yang jarang ditemui di Indonesia. Siswa di Indonesia bisa dikatakan pasif atau malu berpendapat namun ketika menjadi politisi, justru ‘berebut mic’ untuk berbicara.
Saya hanya merenung kapan suasana seperti ini bisa dijumpai dan dinikmati oleh anak-anak kita di sekolah-sekolah Indonesia?
Andaikan cerita-cerita tentang sekolah itu dapat dikumpulkan bersama dan dibagikan secara masif ke sekolah-sekolah di pelosok negeri, mungkin akan membantu menambah wawasan dan motivasi bagi para guru, orang tua dan anak-anak di Indonesia untuk mendapatkan pengalaman bagaimana sekolah-sekolah di negara maju diterapkan. Agar para orang tua dan stake holder pendidikan di Indonesia kritis dan tidak terjebak oleh jargon “internasionalisasi” yang hanya karena menggunakan bahasa asing dan bekerjasama dengan institusi asing.
Agar seluruh siswa dari berbagai lapisan masyarakat dapat dengan mudah merasakan bahwa “internasionalisasi” itu justru menekankan aspek pendidikan karakter yang sebenarnya telah diajarkan oleh para leluhur bangsa. Bukan belajar dengan fasilitas mahal dan teknologi maju.
Semoga sebagai warga Diaspora (khususnya Melbourne, Australia), kita dapat saling bergandeng tangan membangun sebuah ‘Gerakan Kolektif’ yang bertujuan untuk melakukan ‘Restorasi Karakter Bangsa melalui sekolah-sekolah dan pogram pendampingan anak muda Indonesia. Melalui program tersebut, bukan tidak mungkin bangsa kita akan menjadi bangsa ‘Pemenang’. Bukan juga khayalan jika kita bisa menjadi ‘pemain utama’ ketika bangsa ini diprediksi akan menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia.
Selamat Hari Pendidikan Nasional!