Seri diskusi Bukan Rumpi Tapi Diskusi yang selalu diadakan empat kali dalam setahun oleh Monash University untuk mengeksplorasi lebih mendalam koleksi Perpustakaan Sir Louis Matheson khususnya yang berkaitan dengan Indonesia kembali hadir. Diskusi pertama di tahun 2018 dibuka dengan obrolan tentang musik dangdut.

Anita Dewi dari Monash University memberi kenang-kenangan usai diskusi

Dengan tajuk “Indonesia Society Through The Lense of Dangdut Music” peserta yang hadir digiring untuk tak sekadar mengupas buku Dangdut Stories yang ditulis oleh Prof. Andrew Weintraub tapi juga menghampiri berbagai dinamika yang terjadi hingga sekarang. Diskusi dipimpin oleh Dr Edi Dwi Riyanto yang memang punya riwayat dekat dengan pelaku musik dangdut karena area penelitiannya berkisar pada dangdut, hip hop, dan rockdut. Ia mendapatkan gelar Ph.D dari Monash School of Music dan menjadi peneliti yang tengah mengunjungi dan melakukan penelitian di Fakultas Seni Monash University.

Dari pemaparan singkatnya, sekitar 20 peserta yang hadir diajak berkenalan dengan rupa-rupa musik dangdut yang dilihat dari akarnya dianggap sebagai musik melayu. Namun dalam perkembangannya, musik ini mulai berkawin silang dengan musik tradisional Indonesia lainnya, seperti rockdut yang mengombinasikan rock dengan dangdut, jaranan dangdut, dangdut koplo, hingga pongdut yang merupakan singkatan dari jaipong dangdut. Bahkan Edi sempat memperlihatkan video dari  grup Dangdut Cowboy asal Amerika Serikat yang turut menyanyikan lagu-lagu dangdut dengan dibubuhi irama musik country.

Dangdut membuktikan bahwa jenis musik ini terbilang cair dan lentur, terbuka dengan percampuran berbagai genre. Begitu pula dengan penerimaannya di masyarakat. Meski kerap digolongkan sebagai musik kelas menengah bawah tapi sebenarnya siapapun dengan mudah mencerna dangdut. Belum lagi dengan goyangan erotis dan pakaian penyanyinya yang cukup syur, konser musik dangdut ditonton dari yang dewasa hingga anak-anak secara bebas. Sebuah dinamika yang absurd dan seringkali penuh pro kontra jika kemudian berbenturan dengan norma agama. Tentu Anda masih ingat bagaimana pedangdut pendatang baru kala itu, Inul Daratista dikecam oleh Rhoma Irama karena goyang ngebor-nya dianggap pornoaksi.

Apalah Dangdut Tanpa Goyang?

Dr Edi Dwi Riyanto

Sulit membendung dangdut tanpa goyangan, sama halnya dengan Anda tentu sulit menolak menambahkan garam pada makanan Anda yang hambar. Edi menambahkan bahwa goyang adalah DNA dari dangdut. Akan selalu seksi dan erotis. Sekarang ini kita mengenal macam-macam goyangan tak hanya goyang ngebor yang dipopulerkan Inul Daratista, tapi ada juga goyang itik, goyang dumang, dan masih banyak lagi.

Edi juga mengetengahkan fenomena bahwa meskipun lirik lagu dangdut penuh kesedihan dan cengeng, entah itu tentang patah hati, pengkhianatan, dan berbagai kepiluan lainnya, tapi dangdut tidak pernah lepas dari ritme yang bikin orang ingin bergoyang. Hal ini bisa jadi berkaitan dengan masyarakat Indonesia yang cenderung positif. Menghadapi segala sesuatu dengan senyum.

Ada begitu banyak ruang pada dangdut yang terbuka untuk diteliti. Dari sisi psikologi, benturan dengan norma agama, dan masih banyak lagi. Sama halnya saat Edi yang melirik dangdut untuk kajian penelitannya, salah satunya karena ia melihat fenomena luar biasa terjadi di Youtube. Lagu berjudul ‘Sayang’ yang didendangkan Via Vallen sudah ditonton lebih dari 100 juta penonton di kanal tersebut. Jumlah itu tidak main-main, berarti kira-kira setengah dari seluruh populasi penduduk Indonesia paling tidak sudah menonton. Fenomena ini kemudian menarik minat Edi untuk meneliti lebih lanjut.

Sayangnya diskusi ini terlampau singkat, kurang dari satu jam tuntas. Namun seperti filosofi dangdut, persoalan keterbatasan waktu mungkin tak perlu dipikirkan secara serius. Sama halnya dengan masalah perasaan jangan ditangisi, tapi dijogeti saja. Begitu kira-kira filosofi musik penuh kontroversi tapi dicintai ini.

 

 

 

Apa Kata Mereka 


Anggraeni Suryana

Saya sedang ambil Master of Education in Early Childhood di Monash University dan tergabung dalam komunitas OJWM (Orkes Jawi Waton Muni). Sangat menarik mengikuti acara ini karena tidak disangka dangdut bisa didiskusikan juga. Saya sendiri suka musik dangdut dan kami di OJWM sering menyanyikan lagu dangdut. Seperti yang dibilang Pak Edy, mau lagunya sedih tapi musik dangdut itu bikin happy dan pokoknya joget.

Enung Rostika               

Terlepas dari masih banyak polemik yang melingkupi dangdut, apakah musik ini produk asli Indonesia atau bukan, tapi bagi saya musik ini merepresentasikan budaya dan karakter orang Indonesia. Sedih atau senang tetap tersenyum. Dangdut yang dianggap rendahan sebenarnya pun banyak yang mengapresiasi hingga luar negeri.  Dan area penelitian terhadap musik satu ini juga sebenarnya masih banyak yang bisa diteliti, dari mulai segi psikologi hingga masalah copyright.

 

 

 

Deste