Rani Pramesti adalah seorang seniman berdarah Indonesia yang karyanya sudah diakui di Tanah Kangguru. Bahkan pada pameran perdananya yang bertajuk Chinese Whispers di Melbourne Fringe Festival 2014, alumnus University of Sydney tersebut telah dianugerahkan penghargaan Best Live Art dan Innovation in Culturally Diverse Practice oleh Kultour.

Mei ini Rani akan menghadirkan sebuah karya baru, Sedih // Sunno di Next Wave Festival. ‘Sunno’ berarti ‘mendengarkan’ dalam bahasa Hindi. Bekerjasama dengan seorang seniman berlatar belakang Fiji-India, Rani meminta persetujuan ibu kandungnya untuk mengungkap kekerasan seksual yang dialami sang bunda semasa kecilnya.

Mari kita simak lebih lanjut mengenai projek instalasi serta pribadi wanita dengan segudang talenta ini.

 

Bagaimana kisah perjalanan Rani sebagai seniman independen?

Saya sebenarnya tidak memiliki aspirasi menjadi seniman sewaktu masa kecil maupun masa remaja. Sewaktu masuk highschool di Perth, Western Australia, sama seperti kebanyakan teman-teman Indonesia saya yang lainnya, saya mengambil subjects yang lumayan mainstream, terutama bagi para pelajar Indonesia; seperti Matematika, Fisika, Kimia. Cita-cita saya sebenarnya adalah menjadi marine biologist, karena sewaktu masa kecil, saya sering sekali menyelam di sekeliling Indonesia.

Dan ketika saya mengambil S1 saya, di University of Sydney, saya berubah pikiran dan memilih mengambil jurusan Social Work / Anthropology. Mungkin karena pengaruh besar Ibu saya yang memang telah bertahun-tahun memberi pengabdian dalam bentuk kerja sosial, bersama perempuan-perempuan dari kalangan ekonomi bawah di Jakarta. Soal Antropologi, saya memang tertarik pada perpaduan antara budaya yang sempat saya amati sejak pindah ke Australia.

Sewaktu saya mengikuti kursus Social Work/Anthropology tersebut, saya sempat bergaul dengan mahasiswa mahasiswi yang berkecimpung di dunia aktivis terkait lingkungan hidup dan juga dunia seni.

Mungkin memang sudah takdir, saya sempat tinggal di seberang jalan sebuah Artist Run Initiative, yakni sebuah warehouse di Cleveland Street, Sydney yang dijadikan pusat kesenian alternatif oleh berbagai seniman muda yang menetap di Sydney. Warehouse tersebut bernama Lan Franchis.

Saya sempat iseng, saya bilang saya mau mengadakan festival feminis, yang akhirnya saya namakan Skit for Tat: Womyn, Gender & Sexuality Festival. Tim Lan Franchis, menyetujui dengan enteng, meskipun pada waktu itu saya belum berpengalaman memproduksikan acara kesenian sama sekali.

Dari situlah, saya mulai aktif di dunia seni Sydney. Setelah menggelar festival tersebut, saya lalu iseng lagi, ikut audisi untuk PACT Centre for Emerging Artist dan langsung diterima di program mereka, imPACT Ensemble yang khusus mendukung pemain teater di bawah umur 25 tahun.

Selanjutnya, pada tahun 2010, saya audisi untuk Victorian College of the Arts dan dipilih dari antara 800 lebih penduduk se-Australia yang ikut audisi. Sejak itu, saya menetap dan bekerja di Melbourne.

  

Apakah ada banyak perbedaan instalasi Sedih // Sunno dari Chinese Whispers?  

Pertama-tama, perlu saya jelaskan bahwa baik Chinese Whispers maupun Sedih // Sunno bukan berbentuk ‘pertunjukan’ yang biasa; dimana para penoton duduk terpisah dari para pemeran atau pemain dan tidak saling berinteraksi sama sekali.

Keduanya adalah karya pertunjukan-instalasi. Yang saya maksud dengan ‘pertunjukan-instalasi’ adalah bahwa para penonton memasuki ruangan yang telah kami buat sendiri.

Contohnya, untuk Chinese Whispers, penonton memasuki labirin yang terbuat dari kain putih polos dan menelusuri lorong-lorong dan ruangan-ruangan kecil, dimana mereka bisa menemukan benda-benda unik yang ada hubungannya dengan jalur cerita karya tersebut. Pada saat yang bersamaan, selama perjalanan 40 menit tersebut, para penonton mendengarkan, melalui headphones dan iPod masing-masing, kisah pribadi saya yang pindah dari Jakarta ke Australia pasca Tragedi Mei 1998.

Nah, untuk Sedih // Sunno, sekali lagi, para penonton memasuki ruangan yang telah dibangun oleh tim kreatif kami. Namun kali ini, ruangan tersebut dibentuk dari koleksi kain Batik Ibu saya. Ini dikarenakan fokus utama Sedih // Sunno adalah adegan-adegan penting dari kisah hidup Ibu saya.

 

Mengapa Rani merasa tertarik dengan tema seperti itu?  

Sebenarnya, kenyataan bahwa Sedih // Sunno mengambil inspirasi dari kisah hidup Ibu saya, adalah suatu ketidak-sengajaan. Awal tahun 2015, saya pertama kali berkumpul dengan 3 seniman Sedih // Sunno yang lainnya, yakni: Ria Soemardjo (musisi/vokalis), Shivanjani Lal (visual artist) dan Kei Murakami (lighting designer/arts therapist).

RANI PRAMESTIPada waktu itu, ide pertama kami adalah membuat sebuah pertunjukan-instalasi dari perjalanan kami masing-masing memulai hidup baru di Australia. Sebenarnya, karya ini tadinya kami namakan, Yes Way We Made Australia Home.

Tapi, setiap proses kreatif, terutama dalam membuat karya original (lain dari membuat pertunjukan dari naskah yang sudah jadi contohnya), pasti mengalami banyak perubahan dalam perjalanan yang ditempuh.

Dan proses kreatif Sedih // Sunno telah berjalan selama 1.5 tahun lamanya! Jadi banyak sekali perubahan yang telah kami alami bersama.

Singkatnya, kami lalu memutuskan membuat pertunjukan mengenai kisah hidup nenek-nenek kami, karena ternyata kami berempat sempat menjalin hubungan erat dengan semua almarhum nenek kami.

Dari situlah, saya lalu berangkat untuk mencoba mencari rumah yang sempat ditempati nenek saya di Solo, Jawa Tengah, pada tahun 1960-1965. Saya ditemani Ibu saya dalam perjalanan tersebut.

Nah, ketika saya sedang mewawancarai Ibu saya mengenai nenek saya, yang sebenarnya saya panggil ‘Grandma’, Ibu saya lalu membuka diri mengenai pengalaman sedih yang dialami beliau di rumah tersebut.

  

Tantangan apa yang dijumpai selama proses membuat karya Sedih // Sunno?

Wah, banyak sekali tantangan yang saya jumpai dalam berprofesi di dunia seni di Melbourne! Salah satunya adalah mencari dana yang cukup supaya saya bisa membayar seluruh tim kreatif maupun tim produksi saya.

My art is not a hobby. It’s my profession. Dari prinsip ini, saya merasa sebagai seniman dan produser utama, bahwa saya harus membayar tim yang bekerja sama dengan saya. Jadi saya banyak jungkir balik di situ. Terus menerus menulis funding application ke berbagai lembaga kesenian di Australia: baik dari level lokal, propinsi (state), nasional (federal) maupun untuk pihak philanthropy dan sampai pada crowdfunding. Sayangnya, sebagai seniman independen, tenaga saya lebih banyak terkuras dalam pencarian dana, maupun dalam kerjaan administratif lainnya, daripada dalam proses kreatif itu sendiri.

Selama perjalanan 1.5 tahun membuat karya Sedih // Sunno, tim kami hanya menghabiskan waktu maksimum 5 minggu dalam proses latihan dan berkarya di studio. Sedangkan, tanggung jawab saya sebagai produser Sedih // Sunno memakan waktu berbulan-bulan dengan bayaran yang sangat minim.

 

Apa ekspektasi Rani dalam hal jumlah pengunjung dan pesan yang ingin disampaikan?

Saya orangnya agak keras kepala. Sebenarnya saya tahu bahwa dengan bentuk pertunjukan-instalasi yang sangat intim ini – Sedih // Sunno hanya menerima 12 orang penonton untuk setiap pertunjukan – bahwa karya ini tidak mungkin break even, apalagi membuahkan profit.

Namun saya bersikeras mementaskan pertunjukan seperti ini, karena saya yakin dalam membicarakan sesuatu yang begitu tabu, seperti child sexual abuse, setiap penonton membutuhkan suasana yang nyaman dan aman, dimana mereka merasa benar-benar ‘ditemani’ oleh ke-empat seniman Sedih // Sunno. 

Efek yang didapati dari pertunjukan yang begitu intim, saya yakin akan dirasakan secara jauh lebih dalam, daripada efek yang dirasakan ketika penonton menyimak sebuah pertunjukan bersama ratusan bahkan ribuan orang lainnya, seperti produksi besar Broadway, contohnya.

Jadi saya percaya pada suatu prinsip artistik yang sebenarnya tidak masuk akal dari sisi finansial. Saya orangnya memang idealis dan untuk sementara ini, masih bisa menerima bahwa karya saya membuat diri saya sendiri miskin (sambil tertawa) tapi imbalannya, saya rasa karya-karya saya bisa memperkaya hidup orang lain, melalui keberanian membicarakan hal-hal yang sulit dibicarakan.

 

Apakah terpikir untuk mengadakan Sedih // Sunno di Indonesia?

Sejauh ini, saya mementingkan membawa Chinese Whispers ke Indonesia terlebih dahulu.

 

 

‘Sedih // Sunno’ karya Rani P Collaborations

BUSET COVER - RANI PRAMESTI - SEDIH SUNNO

Dipersembahkan oleh Next Wave, bekerjasama dengan Arts House dan Metro Arts

5-15 Mei 2016
Arts House, North Melbourne Town Hall
521 Queensberry Street, North Melbourne

Durasi: 60 menit
Rabu – Jumat: pk. 18:30
Sabtu: pk. 15:00, 18:30
Minggu: pk. 17:30
(Mohon datang tepat waktu. Penonton yang datang terlambat tidak diperkenankan masuk.)

$28 umum / $23 concession
booking: 2016.nextwave.org.au/#event=213

Peringatan:
Memuat unsur kekerasan seksual

 

 

 

 

 

**Acknowledgement Statement**
Sedih // Sunno was commissioned and developed through Next Wave’s Kickstart program for Next Wave Festival 2016, presented in association with Arts House and Metro Arts, with the support of the Australia Council for the Arts, Creative Victoria, the Besen Family Foundation, Herb Feith Foundation and Creative Partnerships Australia MATCH program. This project has been assisted by the Australian Government through the Australia Council, its arts funding and advisory body.

(foto: Daniela Rodriguez)