International Conference and Cultural Event (ICCE) of Aceh 2016
Pada akhir September 2016, sebuah acara konferensi yang digalang oleh International Conference and Cultural Event (ICCE) dilangsungkan selama tiga hari di Performing Arts Building, Monash University, Clayton. Tema yang diangkat pada eksibisi dalam konferensi internasional ini adalah “Exploring Aceh’s Culture to Foster Suistainable Development”.
Acara ini diselenggarakan dengan tujuan untuk mempromosikan serta memperkenalkan ragam budaya khas daerah Aceh, Indonesia dan juga untuk membangun hubungan socio-economic antara Aceh dan dunia internasional, serta dalam rangka melanjutkan kontribusi akan kesuksesan penyebaran ragam kultur di negara Australia.
Selain konferensi, ICCE juga mempersembahkan eksibisi seni lukis selama 15 hari dari pelukis asal Aceh, Mahdi Abdullah, lewat karyanya yang berjudul “Transmemorabilia: The World of Mahdi Abdullah”. Ada juga festival film yang berjudul Aceh & the Acehnese dan berbagai macam artefak “Keuneubah Endatu” yang meliputi instrumen musik, kostum, perhiasan, hingga sulaman serta beragam objek menarik lainnya yang dapat disaksikan di MADA Gallery, Monash University Caulfield.
***
Profesor Margaret J. Kartomi
Co-convenors ICCE Aceh 2016
“Saya pertama kali ke Aceh tahun 80 dan telah 15 kali ke sana dan saya lihat bahwa kesenian Aceh seperti Tari Saman dan lain-lainnya itu sangat luar biasa. Body percussion music yang paling berkembang di seluruh dunia ada di Aceh. Tapi siapa yang tahu mengenai itu? Bahkan orang Indonesia sendiri kurang tahu mengenai uniqueness dari kesenian di Aceh. Harapan saya dengan diadakannya acara ini adalah kesenian Aceh dapat diekspos dan juga hubungan antara kesenian dan pembangunan bisa diteliti lebih lanjut supaya kesenian asli Aceh dan Gayo tidak diabaikan dan mestinya diajarkan di sekolah-sekolah. Identitas orang Aceh tergantung oleh ini. Selain itu, di Aceh juga banyak bahasa mulai dari Bahasa Aceh, Gayo, Tamiang, dan Melayu yang harus dijaga dan dipertahankan. Dengan diadakannya konferensi ini, kita mungkin bisa menerbitkan buku mengenai hal-hal ini supaya pemerintah dan juga perusahaan swasta dan lain-lainnya dapat membantu untuk menjaga dan mempertahankan tradisi kesenian Aceh.”
Ari Pahlawi, S. Sn., M.A.
Co-convenors ICCE Aceh 2016
“Acara ini dilatarbelakangi dari kekhawatiran akan kondisi Aceh pasca Tsunami dikenal sebagai laboratorium dunia, tempat pembelajaran dunia soal konflik, Tsunami, bahkan pembelajaran dunia tentang agama Islam dan demokrasi yang mulai ditinggalkan. Aneh rasanya kalau pembicaraan tentang Aceh semakin kesini semakin sedikit. Isu tentang Aceh ini sudah mulai mereda dari konteks keilmuan. Di acara ICCE yang ke dua, ada cetusan yang mengatakan Aceh ini bisa kasih sumbangan apa untuk multikultural Australia. Dari situ, berbekal ilmu dan keterbasan orang yang sangat sedikit di Australia, kita mengupayakan untuk menyelenggarakan acara ini dan pada akhirnya usaha yang digalang dengan dengan keterbasan orang ini dapat terwujud. Selain itu, tujuan dari acara ini juga untuk berterimakasih kepada dunia atas bantuan untuk Aceh. Ada berbagai fakta memprihatinkan tentang aceh yang 12 tahun lalu tertimpa bencana tsunami, dimana masih ada konflik dan ketidaksiapan masyarakat terhadap konteks pe rsiapan bencana. Aceh masih membutuhkan perhatian dunia agar komitmen dunia yang dulu ingin membuat Aceh itu recoverynya berhasil, itu tetap terpantau. Sekarang, bukan masanya lagi yang berbicara tentang Aceh itu orang asli Aceh, yang berbicara Jakarta itu harus orang asli Jakarta. Kita itu berbagi napas di bumi ini. Sehingga ketika kita bisa bersama-sama membangun Aceh lebih beradab, itu juga bagian dari membangun Indonesia.”
Leo