Dengan 1700 ulasan makanan yang ditulisnya, seorang Jeffrie Trika telah menjadi salah satu food blogger terkenal, bagian dari ‘Top Reviewers in Melbourne’ di Zomato. Tumbuh besar di Negeri Kangguru sejak usia 14 tahun, kecintaan Jeffrie pada cita rasa Tanah Air tidak kunjung punah. Kegemarannya menjadi seorang foodie ternyata telah dipupuk sejak kecil oleh kedua orangtuanya.
“Orangtua saya punya kesukaan yang aneh, mereka suka jalan-jalan, kalau jalan-jalan kita bukan nyari objek wisata tapi makanan,” jelasnya. Jeffrie mengaku bahwa ia memiliki perjalanan yang panjang untuk menjadi seorang food blogger yang sekarang secara aktif dan berkala mengunggah berbagai macam komentar ke dalam platform tertentu, antara lain, Zomato atau Trip Advisor. Saat menyampaikan cerita awal mula merintis karir sebagai food blogger, Jeffrie mengaku bahwa ia kagum akan kedua orangtuanya yang memiliki bakat untuk mencari makanan. “[mereka] bisa tahu macam-macam makanan tanpa ada Google, Zomato, Google Map. Ini kita ngomong [tahun] 80s,” ujarnya. Bakat dalam berkelana inilah yang menjadi modal dasar dan dimana bibit foodie seorang Jeffrie bertumbuh. “Mami saya pesen kalau makan berapapun duit, keluarin,” kenangnya. Keluarganya sangat gemar berkelana keliling dari Jakarta ke Bali, Lombok, Sumatera untuk berwisata kuliner. Indikator mahal atau murah, tempat bagus atau tidak, bukan menjadi masalah bagi keluarga Jeffrie. Terlepas dari faktor secara ekonomi dan lokasi, indikator terpenting yang menjadi penentunya adalah enak atau tidak enaknya sajian tersebut.
Memaknai Cita Rasa Berbagai Belahan Dunia
“Kita terbentuk seperti itu untuk mencintai, khususnya masakan Indonesia. Itu penting sekali kita melestarikan, kalau bukan kita yang makan siapa lagi yang makan?” ujar bapak kelahiran Bandung, tahun 1969 ini. Jeffrie menemukan bahwa makanan Indonesia itu unik karena memiliki rasa yang lebih bervariasi dibandingkan masakan dari daerah lain. “Martabak sampai kali ini tidak ada duanya, saya udah makan sticky date pudding paling enak di Melbourne tapi sama martabak itu beda,” katanya. Cita rasa makanan Indonesia dengan bermacam-macam bumbu, rempah yang ditawarkan dianggap Jeffrie sebagai faktor pendukung yang layak digaungkan kepada masyarakat di luar Indonesia.
“Saya menulis itu tujuannya cuma satu, mempromosikan makanan baik di Indonesia atau Australia,” ucapnya. Bagi Jeffrie, hal yang disayangkan dan patut ditingkatkan dari kuliner Indonesia merupakan kurangnya presentasi makanan tersebut sekalipun di restoran fine dining. Hal presentasi makanan menjadi salah satu titik lemah yang ia amati jika dibandingkan oleh kuliner Melbourne. Ia sadar bahwa Indonesia kurang memiliki apresiasi makanan. Dalam hal ini, Jeffrie menganggap bahwa Indonesia harus mencontoh Jepang mulai dari teknik produksi hinga pengemasan. “Everything is a precision,” komentarnya tentang apresiasi makanan di Jepang.
Migrasinya ke Melbourne pada tahun 1983 sejak dirinya berumur 13 tahun menghasilkan pengertian yang matang tentang dunia kuliner di kota Melbourne. Menurutnya, food culture di Melbourne merupakan hal yang sangat menarik. Dengan pengaruh kuliner Timur Tengah, Afrika, Asia, Perancis, Itali dan Jerman, variasi ini menjadikan cita rasa Melbourne yang beragam. Jika menilik sejarah, Jeffrie melihat bahwa migrasi dari masyarakat Hong Kong dan Vietnam juga menjadi faktor yang menghidupi kuliner Asia di Melbourne. “Mereka penting karena mereka orang paling gila makan, program migrasi yang bagus jadi bisa membuat Melbourne hidup seperti itu, automatis culture lain ketarik juga,” komentarnya.
Seorang Food Blogger yang Apa Adanya
Pria yang sudah selama 34 tahun berdomisili di Melbourne ini menganggap bahwa dirinya adalah orang yang objektif dalam menilai sebuah sajian di restoran. Ia berani untuk memberi kritik, ataupun saran yang menurutnya pantas untuk diberikan kepada restoran tertentu.
Sebagai seorang figur publik yang cukup dikenal namanya di kalangan dunia kuliner di sekitar Melbourne, tidak jarang Jeffrie juga menerima kritik. “Suka duka menulis itu kalau ada negative comment, namanya dunia sosial media bebas, setiap orang bisa comment, dan kadang-kadang kita punya taste kan berbeda pasti dari experience. Kalau kita mau jadi food blogger kita harus siap untuk terima kritik,” pesannya. Kegemarannya travelling juga melatihnya untuk berpikir objektif, dan bukan sekadar membuat komentar berdasarkan pendapat orang lain. “You have to try it yourselves and then you can make judgement,” sahutnya.
Melalui segala macam suka dukanya dalam wisata kuliner, Jeffrie menganggap bahwa interaksi dengan banyak orang telah memberinya pengetahuan dan pengalaman yang baru. “Knowledge saya jadi bertambah. Bukan untuk berdebat, tapi saya mau menyalurkan knowledge saya ke orang lain,” ujarnya.
Hobinya sebagai food blogger pun dapat berjalan sinergis bersamaan dengan latar belakang pekerjaannya yang fokus dalam menemani anak penyandang cacat serta memberikan dukungan untuk mantan narapidana untuk kembali ke komunitas. Keduanya dapat berjalan dengan lancar, ini diwujudkan dengan membawa orang-orang tersebut ikut bersamanya dalam wisata kuliner. “Makanan fungsinya adalah connector dari kemanusiaan, sebuah interaksi sosial. Tanpa makanan kita semua mungkin gila kali,” ujarnya.
Bagi Jeffrie, makanan dapat menjadi sebuah sarana agar setiap orang membangun koneksi, berbagi cerita dan pengalaman. Selama masa hidupnya, pengalaman yang meninggalkan kesan terbaik selama hidupnya adalah bukanlah saat ia berpergian dan makan dengan segala kemewahan yang ada di kelas first-class, tetapi saat ia berada di rumah bersama keluarga, siap menyantap makanan yang dibuat oleh kedua orangtuanya. “The best memory is when you eat with the people that you love, walaupun hanya tahu dan tempe, lho,” tutupnya.
Ulasan dan komentar Jeffrie seputar wisata kulinernya dapat dikunjungi di sini
Adisa