Pada tanggal 27 Maret 2022 tempo lalu, Persaudaraan Peranakan Tionghoa Warga Indonesia (PERTIWI) menggelar acara kumpul-kumpul tatap muka perdana sejak berakhirnya peraturan kunci tera (lockdown) di negara bagian Victoria. Acara ini sekaligus menjadi perayaan didirikannya PERTIWI cabang Victoria dan turut dihadiri oleh organisasi masyarakat lain yakni IDN Victoria, Peranakan Association Australia, dan profesor bidang studi Indonesia, Charles Coppel.

PERTIWI yang merupakan ormas warga Indonesia keturunan Tionghoa yang menetap di Australia didirikan oleh Udaya Halim, pakar sejarah dan pendiri Museum Benteng, museum kebudayaan Indonesia-Tionghoa yang berlokasi di Pasar Lama, Tangerang. Dalam rangka pendirian PERTIWI Victoria, Udaya khusus berkunjung dari Perth untuk bersilahturahmi dengan para anggota PERTIWI Victoria sekaligus memberikan diskusi arti ‘kebangsaan’ bagi para warga Indonesia. Topik ini merupakan salah satu topik sensitif bagi kaum minoritas di Indonesia, terutama suku Tionghoa, yang ‘ke-Indonesiaannya’ kerap diragukan.
Membedah kata ‘Kebangsaan’
Diskusi dibuka oleh Siauw Tiong Djin, ketua PERTIWI Victoria yang berpendapat bahwa kata kebangsaan tidak seharusnya dikaitkan dengan ras. Adapun sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada yang dapat disebut ras Indonesia, pasalnya Indonesia memiliki penduduk dari berbagai macam suku dan budaya yang asal usulnya tidak sama. Dalam merangkul kemajemukan suku dan budaya warga Indonesia dari Sabang hingga Merauke, Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dengan gigih memperjuangkan pengertian kata kebangsaan yang tidak berembel-embel ras dan agama. Baperki menekankan bahwa Indonesia sebagai negara yang beralaskan hukum, sepatutnya menganut konsep kebangsaan yang berdasarkan hukum kewarganegaraan dan bukan ras.

Memahami sejarah asal usul nama Indonesia
Udaya memulai diskusi kebangsaan Minggu sore itu dengan menjelaskan sejarah asal usul nama Indonesia. Sejak abad 19, beberapa tokoh penting dalam sejarah kolonial Inggris telah mengusulkan beberapa nama untuk arkipelago Indonesia yang dulu dikenal sebagai Dutch East Indies (Hindia Belanda). Beberapa nama seperti Indu Nesia dan Melaju Nesia telah diajukan oleh James Richardson Logan dengan usulan George Winsor Earl, yang mengandung unsur bangsa (nation) dan bukan berdasarkan etnis, ras, suku, atau agama tertentu.
Mengingat peran suku Tionghoa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
Menyinggung isu sensitif bagi suku Tionghoa di Indonesia yang sering mengalami diskriminasi dan penolakan dalam pengakuan mereka sebagai warga Indonesia, Udaya kemudian membahas kontribusi orang-orang keturunan Tionghoa yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di zaman kolonial Belanda dan Jepang. Kontribusi-kontribusi tersebut antara lain adalah keterlibatan 4 Bapak Bangsa dari Etnis Tionghoa yakni Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa dalam BPUPK dan PPKI, badan-badan yang memiliki peran vital dalam perencanaan kemerdekaan Indonesia. Adapula Sie Kong Lian, seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang menyediakan rumahnya di Jalan Keramat 106 untuk kongres pemuda yang kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Tak kalah pentingnya, yaitu Yokimtjan, pengusaha keturunan Tionghoa yang merekam lagu Indonesia Raya oleh WR Soepratman di tahun 1927.
“Sayangnya, bagian sejarah ini telah dihapuskan di buku-buku pelajaran sejarah saat ini, sehingga peran suku Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dianggap tidak ada. Bahkan beberapa buku sejarah menerjemahkan kata ‘Chinese communities’ (komunitas Cina) menjadi komunis Cina,” ujar Udaya.

Menanggapi isu kewarganegaraan dan ke-Indonesiaan warga turunan Tionghoa di masa kini
Sesi diskusi tersebut ditanggapi oleh YW Junardy, mantan presiden direktur IBM Indonesia yang juga merupakan warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Junardy berpendapat bahwa sejarah Indonesia yang tidak jujur kini berdampak buruk kepada generasi muda seperti millennial dari keturunan Tionghoa yang tidak merasa diterima sebagai warga Indonesia dan terus mempertanyakan kebangsaan mereka.
“Untuk itu, penting untuk sejarah diajarkan secara menarik di sekolah agar anak-anak muda Indonesia, termasuk yang keturunan Tionghoa dapat mengerti arti menjadi warga Indonesia itu,” cetus pria kelahiran Malang itu.
Acara hari itu kemudian diakhiri dengan sesi makan malam dan silahturahmi antara para anggota.
