Perjanjian IA-CEPA dari Kacamata Pengusaha

Perjanjian perdagangan bebas antara Australia dan Indonesia (IA-CEPA) resmi berlaku tanggal 5 Juli lalu. Akankah perjanjian ini membawa peluang baru bagi para pengusaha Indonesia ditengah wabah Covid-19 dan perang dagang antara Australia dengan Tiongkok? Pengusaha Joelioes Rahman berbagi wawasannya akan peluang dan tantangan IA-CEPA dengan BUSET.

Cermati Kebutuhan Pasar Australia

Bagi Joelioes Rahman yang punya segudang pengalaman sebagai seorang importir komputer, alat-alat pertambangan dan spare part kereta api, dirinya sudah tidak asing lagi dengan perdagangan ekspor-impor.

Perjanjian IA-CEPA yang berambisi untuk meningkatkan jumlah ekspor-impor dari kedua negara ini lantas dinilainya sebagai peluang bagi eksportir Indonesia untuk memasuki pasar Australia.

“Peluang itu ada. Sekarang saya coba monitor dan cari tahu supply-supply apa saja yang agak kurang, dan belum disupply oleh China. Kita akan manfaatkan dan coba supply dari Indonesia, kebutuhan-kebutuhan apa saja yang dibutuhkan oleh Australia, dan tentunya kebutuhan yang cukup banyak dan berkelanjutan,” kata pendiri Berkah Rumah Dagang Indonesia-Australia (BERDI) itu.

Joelioes berharap BERDI akan menjadi wadah bagi para UKM Indonesia untuk dapat mengekspor barang mereka ke pasar luar negeri. Dengan biaya tertentu, UKM dapat menyewa jasa BERDI untuk membantu mengirim, menyimpan, dan menjual produk-produk UKM di Australia.

Promosikan Rendang dan Green Coffee Bean

Selain berupaya untuk membawa produk-produk Indonesia ke Australia, pemilik PT. Kruppindo ini juga berusaha membawa produk-produk Australia masuk ke Indonesia, salah satunya adalah daging sapi. Ia lantas menarget Kota Payakumbuh di Sumatra Barat sebagai pangsa pasarnya. Kota yang dijuluki City of Rendang itu sempat naik daun baru-baru ini tatkala koki kelas dunia, Gordon Ramsay, sempat berkunjung ke Payakumbuh untuk memasak rendang. Namun, meski terkenal sebagai penghasil rendang, Payakumbuh justru kekurangan pasokan daging sapi.


Maka dari itu, Joelioes kini sedang bernegosiasi dengan Walikota Payakumbuh untuk mensuplai daging sapi Australia guna memproduksi rendang kalengan. Rendang kalengan ini nantinya akan diekspor ke Australia dan Timur Tengah dimana demand sudah tersedia.

Sebagai pemegang franchise Illy Coffee dan Kiliney Kopitiam di Indonesia dan pecinta kopi, Joelioes juga berencana untuk mengekspor green coffee bean yang sudah diproses.

“Dengan Aceh kapan hari ada pembicaraan green bean dari Gayo, kita akan roasting dan packing dengan bagus dari sana dan coba bawa ke Australia. Rencana kita, Desember atau Januari barang itu sudah sampai ke sini,” ujarnya.

Persaingan dan Kendala Modal

Meski Indonesia memiliki berbagai macam produk berkualitas tinggi yang layak ekspor, pengusaha yang sempat bekerja sebagai importir komputer di Belanda itu mengaku bahwa harga berperan besar dalam perdagangan ekspor-impor. Khususnya untuk kopi, Indonesia harus bersaing dengan Ethiopia dan Amerika Latin yang memasang harga jauh lebih murah. Hal ini dikarenakan harga kopi Indonesia di pasar domestik sudah lumayan tinggi sehingga banyak pedagang kopi di tanah air enggan untuk mengekspor kopi dengan harga yang lebih murah.

“Selain itu ada persaingan berat dengan barang China dan Vietnam,” tambah pengusaha yang tempo hari diundang oleh KBRI Sydney untuk berdiskusi perihal IA-CEPA tersebut.

Pengusaha lulusan Delft University of Technology itu juga berpendapat bahwa kesuksesan Tiongkok dan Vietnam di pasar global didukung oleh program-program pemerintah mereka yang turut membiayai UKM agar dapat ekspor ke luar negeri.

Selain persaingan yang ketat, modal dan biaya juga turut menjadi tantangan bagi para UKM yang berniat untuk ekspor ke luar negeri. Karena tak hanya modal produksi, pembiayaan pengiriman barang dari Indonesia ke Australia dan biaya sewa gudang di Australia juga turut masuk ke perhitungan modal ekspor.

“Terlalu mahal untuk UKM mengirim barang ke sini (Australia). Belum lagi biaya sertifikasi,” komentar bos BERDI itu.

Tak Cukup Hanya Sekadar Bisnis Online

Kendala ekspor-impor kian diperbesar dengan parahnya wabah Covid-19 yang melumpuhkan bahkan membangkrutkan sebagian besar UKM di berbagai bidang usaha. Joelioes yang tahun ini terpaksa harus menutup berbagai kedai kopi dan restoran miliknya untuk sementara karena peraturan PSBB itu berpendapat bahwa krisis kali ini lain daripada krisis-krisis sebelumnya.

“Ya kalau kita lihat waktu krisis 98 UKM malah bagus, krisis 2008 juga UKM maju. Tapi sekarang UKM banyak yang mati, kecuali mereka yang online dan punya system. Jadi mereka sudah punya sistim pembayaran, distribusi, point of sale, payment gateway, dan integrasi logistik. Itu yang jalan, ” tegas Joelioes. Ia pun menekankan bahwa bisnis-bisnis conventional tidak akan bertahan di era online dan digital saat ini.

“Untuk meng-handle Covid, ga bisa usaha biasa-biasa saja. Harus extraordinary effort,” pesannya.

Discover

Sponsor

spot_imgspot_img

Latest

10 PERTANYAAN EMOSI JIWA

Tulisan pada edisi kali ini adalah ke-dua dari lima rangkaian artikel. Apabila edisi kemarin mengangkat topik yang berkaitan dengan psychoeducation, atau pendidikan kesehatan mental:...

Business Coaching Series: Kursus kilat bagi calon eksportir/importir Indonesia-Australia

Guna meningkatkan arus dagang Indonesia-Australia, selama bulan Juli dan Agustus KJRI Victoria dan Tasmania mengadakan seri webinar online 'Business Coaching Series: How to Become...

ANGLICAN TAHBISKAN DEACON INDONESIA

Untuk pertama kalinya Gereja Anglican yang mempunyai tradisi dan nilai budaya Gereja Katolik dari Kerajaan Inggris memiliki seorang Deacon berdarah Indonesia. Titel yang setara...

Memperkenalkan kopi Indonesia di MICE 2019

Melbourne tak hanya terkenal sebagai salah satu kota paling nyaman di dunia, tapi juga terkenal karena budaya kopinya. Tak heran jika ajang seperti Melbourne International Coffee...