Ialah Indrodjojo Kusumonegoro, atau yang lebih kenal dengan nama panggung Indro Warkop. Wajahnya sudah pasti tak asing lagi bagi kita yang suka menonton lawakan-lawakan Warkop di televisi.
Dalam kesempatan yang sangat langka Buset akhirnya dapat berjumpa dan berbincang bersama komedian senior Indonesia ini. Indro pun dengan ramah dan sangat welcomingmulai bercerita dan mengutarakan opininya tentang dunia lawak hingga bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai Bangsa Indonesia.
Penyiar, Pelawak, Pemain Film
Karir sebagai seorang komedian dimulai saat ia bergabung dalam program lawakan bertajuk ‘Obrolan Santai di Warung Kopi’ untuk anak muda di stasiun radio Pramborspada tahun 70-an. Awalnya Indro melakukan siaran bersama empat sekawan yang sudah lebih dulu eksis; Kasino, Dono, Nanu, dan Rudy. Obrolan mereka mulai banyak digemari para pendengarnya karena dinilai sangat menghibur, hingga lantas kerap diundang untuk tampil di atas panggung di beberapa sekolah dan universitas.
Tak perlu waktu lama bagi produser-produser film untuk melihat potensi kelima personil tersebut. Tawaran untuk rekaman kaset dan syuting film pun mulai berdatangan, akan tetapi ini tidak serta merta di-iya-kan. Semua dilakukan dengan penuh pertimbangan. Indro menceritakan bagaimana Warkop Prambors tidak menjawab permintaan bermain film karena merasa masih perlu menggali informasi. “Satu tahun kita nggak ngejawab karena kita survei dulu. Apa sih ini? Harus apa kita di sana? Bagaimana? Sementara kita kan nggak punya basic akting, kayak gitu istilahnya, kita pelajarin dulu dunia film, baru kita masuk ke dunia itu. Teorinya kita mungkin nggak gitu ngerti, tapi kita tetap berhati-hati sampai ngerti dulu,” kisah Indro.
Rudy lebih dulu meninggalkan Warkop Prambors dengan alasan kesulitan mengatasi demam panggung. Sedangkan Nanu memutuskan untuk mengundurkan diri setelah sempat membintangi film perdana mereka yang berjudul “Mana Tahan” pada tahun 1979. Akhirnya Warkop dibintangi oleh tiga personil Dono, Kasino, Indro (DKI).
Sejak itu Warkop DKI telah mencetak 34 judul film hingga tahun 1994 dan kemudian berlanjut dengan sinetron komedi televisi yang berjaya hingga awal tahun 2000. Sinetron Warkop DKI berhenti setelah Dono meninggal dunia di akhir 2001. Sebelumnya, pada tahun 1997 Kasino lebih dulu meninggalkan kedua rekannya akibat penyakit kanker otak.
Komedian Musti Cermat
Tidak ada manusia yang sempurna, tak terkecuali seorang pelawak sekelas Warkop. Indro menceritakan pengalaman ketika ia bersama teman-teman Warkop sempat tidak mendapatkan tawa dari penontonnya. Kala itu mereka berhadapan dengan buruh pemetik teh yang ternyata hanya mengerti Bahasa Sunda. “Akhirnya Mas Kasino naik dengan Bahasa Sunda sama Mas Nanu. Mas Nanu nggakgitu bisa Bahasa Sunda, tapi kemudian ngiringin Mas Kasino nyanyi lagu Sunda yang dipeleseting itu, alhamdullilah akhirnya berhasil,” cerita Indro.
Kehilangan dua partner Warkop DKI memang sangat berat bagi Indro, apalagi kesuksesannya sejak awal tercipta bersama-sama. Kendati demikian, dunia komedi masih menjadi bagian besar dari kehidupan Indro. Dan ia pun terus mengingat pesan almarhum Kasino dan Dono yang mewasiatkan agar Indro dapat terus berkiprah di dunia komedi dan mengibarkan bendera Warkop DKI.
Indro memproduseri film layar lebar yang terinspirasi dari rekam jejak kariernya. Pada tahun 2016, film “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1” tayang di bioskop-bioskop yang tersebar di Tanah Air. Film ini berhasil memecahkan rekor jumlah penonton terbanyak menembus angka 6.8juta. Indro pun sempat muncul di beberapa adegan sebagai Indro dari masa depan.
Setahun setelahnya, “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2” kembali ditayangkan. Belum ada pembicaraan untuk melanjutkan ke sekuel selanjutnya dalam waktu dekat ini.
Komedi adalah Kejujuran
Seiring dengan mulai popularnya stand up comedydi Indonesia pada tahun 2010, Indro beserta Indra Yudhistira, Pandji Pragiwaksono, dan Raditya Dika menggarap kompetisi Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) pertama di Tanah Air. Ajang ini disiarkan melalui Kompas TV mulai dari tahun 2011.
Selain mengantarkan para stand up comedianmenuju tangga kesuksesan, Indro juga memiliki pembelajaran tersendiri melalui proses seleksi peserta, audisi, sampai dapat tampil di panggung dan ditonton seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu yang disayangkan adalah motivasi peserta yang melenceng dari tujuan didirikannya SUCI. “Di negara kita ini ada banyak yang berkualitas, namun ternyata yang nggakjuga banyak. Banyak yang ikut audisi dengan bilang, ‘saya sebetulnya ikut ini karena nggakpunya uang’. Motivasinya macam-macam, bukan yang benar-benar, ‘guepengen jadi stand up comedian’,” papar pria kelahiran 8 Mei 1958 tersebut. Hal ini menjadi suatu kenyataan dimana masyarakat Indonesia lebih sering menjadi pengikut daripada menjadi diri mereka sendiri. Padahal Indro melihat komedi sebagai sebuah kejujuran. Apa adanya, apa yang dirasakan salam hati seseorang. “Lucu misalnya ketika seseorang menganggap sebuah toples biasa saja, tapi ada seseorang yang punya keresahan, kejujuran, ‘ini toples nggaklayak nih’, keluar lah ketidaklayakan atas toples itu, itulah kejujurannya,” jelas Indro.
Setelah keluar dari SUCI, setiap stand up comedian punya tanggungjawab masing-masing. “Stand up comedyitu liberal, tapi mohon maaf kami di sini buatnya Stand Up Comedy Indonesia, sesuai dengan budaya kita. Kita tahu seperti apa keadaan bangsa kita, jangan dibuat bahan lawakan, apalagi soal agama. Makanya saya bilang, suku, ras, semua jangan dimainkan di sini, kecuali kita punya data, jadi materi yang kita susun masih cerdas,” jelas bapak yang sekarang doyan mengikuti tur motor Harley Davidson itu.
Komedi dan Bangsa
Menurut pengamatan Indro sebagai komedian yang sudah malang melintang sejak 40 tahun silam, perkembangan komedi saat ini seperti berbanding lurus dengan keadaan di Indonesia, yakni meningkat secara kuantitatif, namun menurun secara kualitatif.
Buset pun menanyakan pendapat Indro tentang hal yang dapat dilakukan sebagai masyarakat Indonesia untuk menghadapi berbagai masalah yang datang menghampiri negara. Indro merespon dengan dua kata: bijak dan sederhana.
“Jadilah orang yang bijak, kita harus mengerti betul siapa diri kita dan jati diri kita yang dihubungkan dengan bangsa ini… sehingga kita berpikir sebagai satu kesatuan Indonesia,” katanya. Dan dengan bersikap sederhana, niscaya kita menjadi peka terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungan kita.
Satu lagi faktor yang tak kalah pentingnya adalah berbudaya. Ayah tiga anak ini menegaskan bahwa pengertian budaya yang dipahami setiap orang dapat menciptakan keharmonisan. Masyarakat dapat hidup berdampingan dan sebagai satu kesatuan bila setiap orang mampu menghargai budaya.
“Pesan ini untuk seluruh Bangsa Indonesia, ini adalah sebuah kunci untuk kita bisa sama-sama hidup rukun, kita bisa sama-sama menikmati apapun,” ucap Indro lantang.
Usai membicarakan topik yang cukup berat, sisi komedian Indro pun muncul ketika Busethendak berpamitan. “Tahu nggak kenapa sandal di Masjid sering hilang?” tanya Indro kepada anak-anak muda yang ada di depan pintu rumahnya, “karena sandalnya dilepas, coba kalau dipake, pasti kan nggak hilang!”
Perjumpaan Buset dan Indro diakhiri dengan tawa dan memori manis yang membekas.
adbm