Pemilu Amerika Serikat 2020 kali ini menerima perhatian khusus dikarenakan kuatnya polarisasi sentimen terhadap periode President Trump, baik dari warga AS maupun dari luar negeri. Kali ini BUSET berbincang-bincang dengan Abigail Budiman, seorang peneliti politik di suatu think tank (nama tidak disebutkan karena isu privasi) berbasis di Washington D.C. seputar dampak terhadap diaspora Indonesia semasa era Trump dan sentimen yang mereka bawa di pemilu kali ini. Berikut ringkasannya.

Kebijakan Imigrasi Sebagai Karakteristik Utama Era Trump
Signal terkuat yang diberikan oleh administrasi Trump adalah ‘Amerika menerima terlalu banyak imigran’, yang kemudian direalisasi melalui diperketatnya kebijakan imigrasi. Selama empat tahun terakhir, pemerintah Amerika telah melakukan beberapa perubahan terhadap visa F1 (untuk para mahasiswa internasional) dan visa H1B (visa pekerja). Ketentuan dari optional practical training (OPT) atau izin bekerja setelah lulus, yang merupakan fitur dari visa F1, kini melarang para mahasiswa bekerja di bidang yang tidak sesuai dari bidang studi mereka. Perusahaan juga saat ini diharuskan untuk membayar gaji lebih tinggi untuk para pekerja asing yang hendak mereka sponsori untuk visa H1B. Selain itu, Administrasi Trump telah mengeluarkan serangkaian kebijakan imigrasi lainnya seperti family separation policy dan zero tolerance policy yang menarget para imigran gelap di perbatasan Mexico-Texas.
Tidak Tegas Dalam Penanganan COVID-19 dan Ekonomi yang Labil
Administrasi Trump memang telah mengeluarkan signal-signal ekonomi proteksionis melalui perang dagang dengan Tiongkok. Namun, selain dari kebijakan penurunan pajak bagi bisnis-bisnis tertentu, masih banyak dari kebijakan ekonomi domestik Trump yang masih belum terealisasi penuh. Kebijakan yang memberi dampak ke ekonomi Amerika mulai terlihat jelas di era pandemi dimana administrasi Trump gagal memberi peraturan penanganan COVID-19 yang jelas. Peraturan yang ambigu ini membingungkan para pelaku bisnis yang tak lagi yakin dengan bagaimana cara beroperasional di masa pandemi. Alhasil, perilaku pelaku pasar menjadi tidak menentu dan membuat pasar dan ekonomi Amerika labil.
Efek Signifikan Terhadap Diaspora Indonesia
Diaspora Indonesia di Amerika terdiri dari 2 grup; diaspora yang baru menetap di Amerika seperti mahasiswa internasional dan profesional muda, dan diaspora yang sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Amerika dan telah berkeluarga. Kebijakan imigrasi Trump cenderung memberi dampak signifikan terhadap grup yang pertama dimana para mahasiswa internasional dan profesional muda tak lagi menganggap Amerika sebagai negara yang terbuka untuk mereka. Sentimen ini semakin diperkuat oleh kebijakan baru yang dikeluarkan saat COVID-19 dimana mahasiswa internasional yang hanya menghadiri kelas secara online diwajibkan pulang ke negera mereka.

Dampak signifikan juga terjadi terhadap visa J1 yang diperuntukkan bagi ‘special immigrant for cultural exchange‘ atau imigran yang terlibat dalam pertukaran budaya seperti para mahasiswa Fullbright dan jurnalis. Beberapa waktu yang lalu, Trump memilih direktur baru bagi kantor berita Voice of America, dimana beliau kemudian membatalkan visa J1 semua jurnalis yang akan kadaluarsa. Para jurnalis ini juga tidak lagi diperbolehkan untuk memperbarui visa mereka.
Diluar isu imigrasi, administrasi Trump dikenal sebagai pemerintahan yang ‘tough on China‘ atau keras terhadap Tiongkok. Hal ini dipandang positif oleh sebagian kaum minoritas yang tidak menyukai pemerintah Tiongkok.
Sentimen Kaum Diaspora Indonesia dan Kaum Minoritas Saat Pemilu
Secara historis, Amerika merupakan negara yang dibangun oleh imigran dan menjadi kuat oleh keanekaragaman masyarakat yang datang dari perbagai penjuru dunia. Namun, dengan kebijakan-kebijakan anti imigrasi yang dikeluarkan semasa administrasi Trump, banyak komunitas imigran yang merasa tidak lagi diterima oleh pemerintah Amerika. Mereka pun lantas memilih Biden.
Meski demikian, data pemilu 2020 justru menunjukkan adanya lonjakan persentase pemilu dari kaum minoritas yang memilih Trump. Jumlah ini naik dari 15-20% di tahun 2016 ke 30% di tahun 2020. Pasalnya, beberapa kaum minoritas dari Vietnam dan Amerika Latin memiliki sentimen bahwa Partai Demokrat kini telah berubah menjadi partai komunis. Sedangkan sebagaian besar dari kaum imigran Vietnam dan Amerika Latin merupakan orang-orang yang dulunya melarikan diri dari pemerintahan komunis di negara asal mereka. Ketakutan mereka terhadap kemungkinan berubahnya Amerika menjadi negara komunis inilah yang menjadi salah satu faktor terbesar untuk mereka memilih Partai Republik.

Penting juga untuk diketahui bahwa kaum minoritas, terutama minoritas Asia termasuk kaum diaspora Indonesia, cenderung memegang nilai-nilai yang lebih konservatif. Sebaliknya, Partai Demokrat saat ini lebih banyak merepresentasikan nilai-nilai yang condong ke arah liberal dan bahkan anarkis. Maka dari itu, para pemilih dari kaum minoritas yang berasal dari generasi tua lebih banyak memilih Partai Republik.
Prediksi Perubahan Kebijakan di Era Biden
Walau berhasil memenangkan pemilu 2020 dan menjadi presiden ke 46 Amerika Serikat, Joe Biden mewarisi Amerika yang sangat kompleks dan tengah mengalami krisis polarisasi politik terhebat di sepanjang masa. Menyadari ancaman polarisasi politik yang dapat memecah Amerika dan menghambat efisiensi dan kinerja pemerintah, Biden menjanjikan administrasinya untuk memprioritaskan rekonsiliasi dari dua pihak. Biden yang dikenal sebagai seorang Demokrat yang sangat moderat diprediksi tidak akan mengeluarkan kebijakan ekstrim yang terlalu memihak satu partai politik saja. Meski demikian, Biden telah memberi signal bahwa dirinya akan mengkendorkan kebijakan-kebijakan imigrasi Trump dan akan memberi perhatian lebih terhadap isu perubahan iklim yang terbengkalai di masa Trump.

Administrasi Biden yang memprioritaskan isu COVID-19 telah merancangkan serangkaian kebijakan kesehatan masyrakat. Diantaranya adalah ‘national mask mandate‘ yang mengharuskan semua orang Amerika untuk memakai masker dan satgas COVID-19 yang terdiri dari ahli kesehatan dan ilmuwan untuk menemukan dan mendistribusi vaccine.