Poedijono, pria 79 tahun asal Wonogiri, Jawa Tengah rupanya telah memberikan kesan begitu mendalam bagi seorang tokoh akademisi seni dan budayawan Bali yang juga dosen kehormatan di Victorian College of Arts Melbourne University dan dosen tamu The College of Holy Cross Massachusetts, USA, Profesor I Wayan Dibia.

Gemblengan tari Poedijono sewaktu masih di Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) Bali pada 1969, telah membentuk sosok Dibia. Poedijono dianggap sebagai guru yang telah berjasa merubah jalan hidupnya dalam berkesenian.
Jasa guru itu tak begitu saja dilupakan sang murid. Setelah lebih dari 50 tahun, sang profesor mengejawantahkan rasa terima kasihnya dalam sebuah karya biografi. Perjalanan kiprah kesenian pria dusun Krisak yang telah menelurkan profesor dan doktor seni budaya dari berbagai negara itu menurutnya sangat patut diangkat. “Ini adalah persembahan saya sebagai murid beliau,” ujarnya.
Buku berjudul “Poedijono, a Multitalented Artist Crossing the World” itu diluncurkan, di Geoks Art Space, Singapadu, Gianyar, Jumat (14/6/2019). Dalam peluncuran bukunya itu, turut dihadiri pelaku, akademisi seni Bali, diantaranya Prof Made Bandem, DR. I Nyoman Catra, Ida Pedanda Gede Putra Bajing (sulinggih dari Griya Tegal Jingga, Desa Sumerta Kaja, Denpasar Timur), dan beberapa tokoh-tokoh penting lainnya.
Pemerhati seni asal Gianyar ini merasa perlu untuk membuat sebuah biografi bagi sang guru penerima gelar OAM (Order of Australia Medal), sebuah penghargaan tertinggi Pemerintah Australia dan Tanda Kehormatan Satya Lencana Presiden RI ini. Kebetulan, kata dia, dari segi cerita sangat menarik. Salah satu warisan bagi seni Indonesia adalah, Poedijono menciptakan sendratari Ramayana warna Jawa dan Bali di tahun 1962. “Tiga tahun sebelum tarian Ramayana Bali karya I Wayan Beratha muncul, Pak Poed yang pertama menggarap Sendratari Ramayana, dimana tariannya bergaya Jawa dan iringan musiknya menggunakan gamelan Bali gong kebyar,” urai Dibia.
Ada unsur irisan sejarah, ujarnya, yakni akulturasi budaya antara Jawa Bali yang sudah terjalin dari abad ke-9 hingga saat keluarnya sendratari Ramayana Jawa Bali 1962. Menurutnya, sangat penting untuk diinformasikan secara luas kepada pembaca lewat buku yang dikemas dalam dua bahasa (Indonesia-Inggris) tersebut. “Ada irisan sejarah yang terlupakan, itu saya masukan di buku ini, di samping juga jasa beliau untuk memperkenalkan kesenian Indonesia kepada negara luar yang sangat luar biasa seperti gamelan, tarian Jawa Bali, dan wayang kulit,” terangnya. Poedijono-lah yang pertama kali memperkenalkan budaya Jawa Bali di Australia. Sejak 1972, puluhan ribu anak sekolah dan masyarakat Australia telah diajar gamelan serta lebih dari 30 set gamelan yang kini berada di berbagai sekolah dan universitas negeri Kangguru adalah atas jasa beliau.

Ada cerita yang membuat Dibia terharu yang juga ditulis dalam buku ini, yakni bagaimana di usia senja sang guru masih mengabdikan hidupnya pada kesenian. Cerita tentang seniman yang oleh media Kompas dijuluki sebagai duta besar kesenian Jawa Bali ini saat akan mementaskan wayang kulit di Melbourne, Australia. Saat itu, kondisi lengannya mati rasa lantaran menderita salah satu penyakit. “Beliau ini meminta bantuan orang untuk membantu mengangkat tangannya untuk bisa memainkan wayang,” tuturnya.
Sementara itu, Poedjiono yang juga hadir dalam peluncuran bukunya tersebut mengaku senang dan bangga, selama ia berkesenian mendapat apresiasi lewat buku dari muridnya (Dibia). Dia berharap lewat buku ini, bisa memberi inspirasi pembaca dan seniman muda untuk konsisten berada di jalur yang digeluti, dan mencintai warisan budaya asli Indonesia. “Semoga dari karya ini bisa memicu generasi muda terutama seniman untuk bisa terus melestarikan seni Indonesia,” harap suami dari Luh Merti ini.
Totok, Sur WB