Pada 10 Desember 2017 lalu di St Andrews Gardiner Uniting Church dilangsungkan dua pelantikan penting. Pendeta Dr Ji Zhang dari Tiongkok ditunjuk sebagai Majelis Theologian-in-Residence dan Pendeta Dr Apwee Ting dilantik sebagai National Consultant Assembly Resourcing Unit. Uniting Church merupakan gereja terbesar ketiga di seluruh Australia, terdiri dari 2.000 gereja dan enam sinode (atau dikenal juga dengan istilah konsili). Ada 26 bahasa yang disampaikan di Uniting Church termasuk Indonesia, Korea, Mandarin, Vietnam, Sudan, hingga Arab.

Dalam kesempatan ini, Buset sempat melakukan wawancara singkat dengan Pendeta Dr Apwee Ting mengenai tugas barunya dan tantangan ke depan yang harus ditaklukkan. Sekilas mengenai perjalanan hidup Pendeta Apwee yang sudah 27 tahun berdomisili dan berkarya di Australia, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan Australia karena berprofesi sebagai seorang akuntan dari Indonesia. Ia kemudian kembali bersekolah mengambil jurusan Teologi di Melbourne College of Divinity yang merupakan bagian dari Melbourne University.

Dari sanalah, kehidupannya sebagai gembala umat mengepak. Pendeta Apwee kemudian ditahbiskan sebagai pendeta untuk memberi pelayanan di Camberwell selama 10 tahun, dua tahun di Elsternwick, dua tahun di Bandoora, dan tiga tahun di Dandenong. Rentang panjang perjalanan pengabdiannya ini selanjutnya beranjak ke satu titik, National Assembly. “Tugas saya sekarang adalah pembinaan jemaat, teologia, masyarakat majemuk dan keadilan,” ujarnya.

Pendeta Apwee Ting bersama beberapa jemaat asal Indonesia yang hadir

Baginya, sama seperti Indonesia, Australia juga dibentuk dari masyarakat yang multikultur. Keterbukaan menjadi sebuah keharusan. “Saya lihat saat ini kekristenan tidak lagi menjadi suara dominan di Australia. Jadi kita perlu bernegosiasi untuk mengabarkan berita baik itu dengan bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Berbeda itu artinya kita tidak lagi bisa mendikte masyarakat tapi bersama-sama melihat apa yang terbaik di tengah masyarakat,” papar Pendeta Apwee yang berasal dari Solo, Jawa Tengah.

Saat ditanya mengenai gambaran Kekristenan di Australia, Pendeta Apwee memberi telaah. “Di Australia, kekristenan mulai turun sejak tahun 1970-an. Masyarakat masih dipengaruhi etika Kristen, tapi sudah tidak lagi mendengar suara gereja. Jadi kita tidak lagi menyuarakan suara gereja, tapi kita menyuarakan suara Tuhan yang kita percaya di tengah masyarakat,” jawabnya. Apalagi menurutnya, kini marak berita yang beredar mengenai pelecehan seksual di gereja. “Hal ini membuat orang Australia melihat bahwa lembaga keagamaan tidak lagi bisa dipercaya. Padahal, masyarakat Australia masih percaya pada sesuatu yang lebih besar dari mereka.”

Di tengah berbagai tantangan dan perubahan yang terjadi, Pendeta Apwee berharap sebagai orang Kristen dan beragama di Australia, setiap individu harus terlibat dalam pergumulan masyarakat. “Pergumulan itu salah satunya adalah membela hak-hak orang Aborigin yang merupakan first people di benua ini. Kita tidak bisa menampik bahwa kondisi kehidupan mereka sangat menyedihkan. Jadi apapun agama dan budaya kita, kita harus memprioritaskan kemanusiaan. Kedua, sebagai imigran, dengan apapun latarbelakangnya, kita harus menyuarakan perdamaian dan rekonsiliasi,” tegasnya.

 

 

 

Deste