Seperti yang telah diketahui, dampak dari Pandemi Covid-19 sudah melibatkan hampir semua sektor kehidupan yang berhubungan dengan manusia. Sebagai contoh, sektor pendidikan. Semenjak pemerintah Australia mengumumkan masa darurat Covid-19, satu persatu institusi pendidikan dari Sekolah Dasar (SD) sampai universitas mulai memberlakukan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hal ini mengharuskan beberapa orangtua murid untuk melakukan home-schooling kepada anak-anaknya, namun, simaklah kisah yang sedikit berbeda dari seorang ibu dengan tiga anak berikut ini.

“Karena saya ibu rumah tangga, yang membedakan hanya saya tidak antar jemput sekolah, that’s it”, begitu kata Gita saat ditanya dampak yang paling terasa selama mendampingi anak-anaknya dalam pembelajaran jarak jauh 

Ibu dengan tiga anak yang duduk di bangku kelas 5 SD, 7 SMP, dan 12 SMA ini bercerita bahwa anak-anak biasanya mulai sekolah dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore. Sepengetahuannya, guru sudah memberikan lesson plan kepada para murid agar mereka dapat mengantisipasi dan mempersiapkan pelajaran sebelum kelas dimulai.

Selain itu, Gita mengaku bahwa para guru menaruh perhatian yang sangat besar terhadap tumbuh kembang anak didiknya. Setiap dua hari sekali, asisten guru menelpon orangtua untuk menanyakan kabar dan kemajuan murid selama pembelajaran di rumah. Gita merasa bahwa sistem PJJ ini tidak membebankannya dari segi asistensi terhadap anak, ia berkata bahwa anak-anak kerap berbicara kepada gurunya jika mengalami kesulitan di bidang akademik.

“Jujur, saya tidak membantu banyak dalam soal akademik, saya juga tidak merasa ada kendala apa-apa, I’m happy they are at home, actually,” sambung Gita saat ditanya hambatan yang dialami selama anak-anak bersekolah di rumah.

Yahya Tandio Bakor (Year 5)

Iklim sekolah yang baik dan kondisi rumah yang mendukung merupakan dua faktor penting dalam menjaga kelancaran proses pembelajaran jarak jauh agar tetap berjalan dengan baik ditengah situasi yang tidak menentu ini. Namun, yang tak kalah penting dan harus lebih diperhatikan lagi adalah bagaimana pelajar itu sendiri menanggapi efek PJJ yang berdampak pada keseharian nya. 

Perlu diketahui bahwa tanpa kita sadari, pergeseran metode pembelajaran dari yang mewajibkan pertemuan tatap muka secara langsung di lingkungan sekolah menjadi pertemuan tatap muka tidak langsung di lingkungan rumah masing-masing tentu berdampak besar terhadap keterampilan sosial anak.

Keterampilan sosial merupakan keahlian yang diperoleh individu melalui kolaborasi aktif dengan lingkungan sekitarnya. Di sekolah, berbagai macam keterampilan sosial seperti keterampilan berinteraksi, berkomunikasi, bekerjasama dan menyelesaikan masalah terus diasah setiap hari melalui hubungan aktif antara sesama murid dan guru. Dengan sistem PJJ yang menggunakan metode online, semua interaksi dinamis yang tadinya diperoleh melalui pertemuan tatap muka secara langsung sekarang harus dibatasi oleh layar komputer. 

“I think with online schooling it’s harder to collaborate with other people,” tutur Clarissa, seorang murid kelas 12, saat menceritakan kendala yang dialaminya selama menjalani sekolah online.

Walaupun aspek komunikasi tetap terjaga, interaksi sosial melalui dunia maya tentunya memberikan efek yang berbeda. Sensasi, kemudahan, dan manfaat tertentu yang diperoleh dari interaksi secara langsung menjadi lebih sulit untuk didapatkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa keterampilan sosial pun bisa menurun akibat hilangnya ruang bersama dan interaksi langsung antara pengajar dan peserta didik yang biasa didapatkan di sistem sekolah konvensional. Dengan kata lain, perlu usaha lebih untuk mempertahankan keterampilan sosial agar tetap terasah selama menjalani pembelajaran jarak jauh ini.

Kontribusi dalam diskusi kelas harus ditingkatkan untuk menunjukkan kehadiran dan keterlibatan di dalam kelas, sensitifitas terhadap perasaan teman lain dan isyarat sosial juga harus ditingkatkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya cyber-bullying di komunitas kelas, dan perlu motivasi ekstra untuk tetap semangat dan aktif dalam menjalani serangkaian agenda kelas online.

Clarissa Imani Bakor (Year 12)

Selain itu, kegamangan pelajar yang disebabkan oleh ketidakjelasan pelaksanaan ujian akhir sekolah merupakan efek lain dari pembelajaran jarak jauh. Di Australia, pelaksanaan ujian akhir untuk kelas 12 sempat ditunda dengan tanggal ujian yang belum dapat dipastikan.

Ketidakpastian ini meningkatkan kecemasan dan kebingungan pelajar di tengah kewajiban mereka untuk tetap belajar secara normal dalam situasi seperti ini. “We have no idea what the timeline is set for us. It’s already hard enough without this (Covid-19),” sesal Clarissa.

Lantas, apakah kendala yang dialami para pelajar selama masa pembelajaran jarak jauh ini merugikan, atau malah membawa kesempatan baik bagi mereka untuk berkembang? Kuncinya ada di resiliensi pelajar itu sendiri.

Resiliensi adalah kemampuan individu dalam beradaptasi dan mengatasi berbagai persoalaan dalam hidup. Resiliensi yang baik dapat diukur dari usaha dan keberhasilan seseorang dalam melewati masalah tersebut. Pelajar dengan resiliensi yang tinggi dapat melihat dampak negatif pembelajaran jarak jauh melalui lensa yang lebih positif. Mereka dapat memikirkan alternatif dan jalan keluar dari ketidaknyamanan yang sedang dihadapi.

Soal keterampilan sosial yang rentan menurun di era pembelajaran jarak jauh ini, pelajar dengan resiliensi tinggi dapat memikirkan berbagai alternatif untuk tetap menjaga keterampilan dan interaksi sosial nya agar tetap terasah. Bahkan, segala bentuk adaptasi yang telah dilakukan dalam mengikuti norma baru di kelas online seperti yang telah disebutkan sebelumnya dapat dijadikan sebagai ajang untuk memperoleh keterampilan baru dalam segi komunikasi, misalnya keterampilan berkomunikasi secara efektif di dunia maya.

Selain itu, pelajar dengan resiliensi tinggi akan beralih dari kecemasan yang diakibatkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Mereka lebih memilih untuk memusatkan perhatian kepada aktivitas positif dan hal-hal yang dapat mereka kontrol. Opsi ini dapat meningkatkan produktivitas pelajar di saat yang bersamaan. 

Pelajar dapat meningkatkan resiliensi mereka dengan lima cara; meningkatkan kesadaran diri, fleksibilitas dan stabilitas perilaku, kemampuan merelakan hal-hal baik secara fisik maupun mental, dan kemampuan mengakses dan mempertahankan emosi positif. Peran orangtua sebagai salah satu model bagi anak tak kalah pentingnya. Mencontohkan sifat-sifat yang mencerminkan resiliensi seperti berfokus kepada hal-hal yang pasti dan menunjukan banyak alternatif dalam menyelesaikan suatu permasalahan dapat membantu anak mengembangkan resiliensi mereka. 

Tity