Beberapa saat usai menginjakkan kaki di kota Melbourne, penulis dan sutradara Richard Oh langsung meluncur ke gedung KJRI Melbourne untuk bertemu sapa dengan Konsul Jenderal Dewi Savitri Wahab bersama tiga orang tamu popular Tanah Air lainnya, Tio Pakusadewo, Fachri Albar, dan Yoki P Soufyan.

Mendapat kekuatan dari secangkir kopi untuk tetap terbangun setelah tujuh jam perjalanan dengan kapal terbang, pria kelahiran Bukit Tinggi ini dengan antusias meresponi pertanyaan awak media tentang perjalanan karier dan film Terpana garapannya dalam Indonesia Film Festival (IFF) 2017 yang telah digelar beberapa saat lalu.

Seperti yang sudah diantisipasi, lima belas menit tidaklah cukup bagi beliau untuk menceritakan makna artistik dan kehidupan yang terangkum dalam karya tulis maupun film buatannya.

Adalah seorang tokoh sastra yang dulunya menempuh pendidikan di Negeri Paman Sam dengan jurusan creative writing, Richard tidak pernah membayangkan dirinya akan bekerja di balik lensa kamera. Dua tahun setelah novel ketiganya yang berjudul The Rainmaker’s Daughter terbit, tiba-tiba Oh terinspirasi untuk membuat satu film tentang seseorang yang menemukan sebuah koper berisikan uang hasil rampokan. Dengan bantuan dana dari seorang pengusaha yang ia kenal, visinya tersebut terwujud dan merupakan awal keterlibatannya dalam dunia perfilman.

Film yang berjudul Koper tersebut tidak beliau sangka akan berhasil keliling festival internasional, yakni di Singapura dan negara-negara Eropa, juga dilombakan di Festival of Cinema and Culture of Asia yang ke-13 di Lyon, Paris.

Sepuluh tahun setelahnya, Terpana kemudian lahir melengkapi trilogi film yang disebutnya sebagai geometrika sinema. Menurutnya film tersebut lebih dari sekadar film romantis biasa. “Dari segi pendekatannya itu, tentu saja kalau dibandingkan dengan kebanyakan film, mungkin Terpana bukan tipe film yang biasa. Pertaruhan saya adalah bagaimana saya tidak menunjukkan karakter yang ada itu pegang-pegangan tangan, atau merayu, tanpa ada satu patah kata cinta, tapi intimasi itu tetap dapat dirasakan,” terangnya.

Bersama Fachri Albar di jumpa press IFF 2017

Berkaitan dengan film tersebut, Richard menekankan bahwa ia tidak setuju dengan pernyataan Susan Sontag, seorang penulis dan pembuat film asal Amerika yang mengatakan bahwa art is a seduction (seni adalah penggodaan). “Why? I don’t want to be a person that seduce somebody into my art. No. The truth in front, and all the arts on the side, see? Jadi ada kesan bertahun-tahun sejak dulu itu bahwa seni itu harus menggoda dan menggoda.”

Proses produksi karya yang dikerjakannya dengan penuh dedikasi tersebut, tanpa disangka memakan waktu dua tahun untuk akhirnya tayang di bioskop. “Terpana tayang setelah saya berhasil syuting tiga film baru setelahnya,” ujar Richard. Tak heran, film tersebut menjadi film arahan dan hasil tulisan terfavorit beliau selama sepuluh tahun berkecimpung di industri sinema. Ia percaya diri bahwa penonton akan sangat menikmati film yang dibintangi Fachri Albar dan Raline Shah tersebut.

It was my best movie. After you finish the film, you must feel a kind of intimacy yang Sudah diciptakan. The music, the sound, the whole thing. You will enjoy it.”

Melihat bahwa keempat film terakhir karyanya – Koper (2006), Description without Place (2011), Melancholy is a Movement (2015), dan Terpana (2016) memiliki konsep yang rumit, untuk film selanjutnya, beliau berencana untuk menggarap film yang sifatnya lebih komersil.

“Dan saya pikir obsesi saya pada tiga film yang merupakan geometrika sinema itu Sudah selesai. Sekarang I’m looking forward to making a film yang mungkin lebih accessible to the public dan lebih gampang diproduksi. Tapi tidak berarti jadi cemen,” ucapnya tegas sambil tersenyum.

Mengedepankan visi dalam karya-karyanya, Richard tidak pernah khawatir dengan jumlah penonton.

“Saya pikir it’s not a matter of people’s choice ya, it’s a matter of passion.”

 

Nasa