Pada ajang diskusi Small Talk on Fashion di KJRI Melbourne, Novita Yunus memperkenalkan brand Batik Chic yang ia dirikan sekaligus berbagi pengalaman kepada para hadirin tentang bagaimana ia membangun usaha tersebut. Wanita yang kerap disapa Novi ini adalah pendiri serta creative director Batik Chic yang beredar sejak 2009, sebuah merk yang telah mempromosikan tak hanya batik, tapi juga berbagai macam kain tradisional dari Indonesia.

Menekuni karir di industri fesyen awalnya bukan sebuah dream job bagi seorang Novi. Sebelum mendirikan Batik Chic, ia terinspirasi dari sang ayah yang berprofesi sebagai bankir, dan mengikuti jejaknya bekerja di industri perbankan. Pengalaman kariernya di industri tersebut selama 13 tahun tentu tidak bisa dipandang sebelah mata.
Kendati demikian, hidup tidak selalu berjalan mulus. Cobaan batin pun menerpa dalam rupa perceraian. Menghidupi 3 anak seorang diri, Novi memilih untuk keluar dan mencari pekerjaan dimana ia bisa lebih mengimbangi waktu kerja dan untuk keluarga. Karena pengaruh dari sosok ibu yang mengajarkannya tentang tradisi dan kerajinan Indonesia, ia pun mulai membuat tas batik sebagai hobi dan memperlihatkan hasil karyanya di sosial media.
Siapa sangka, respon yang ia terima sangat positif. Bahkan banyak yang bertanya apakah tas-tas tersebut dapat dibeli. Dukungan tersebut lantas memberikan semangat pada Novi untuk terus berkarya. Alhasil, omset yang ia hasilkan melebihi penghasilan di pekerjaanya di perbankan. Novi akhirnya menjalankan bisnis tersebut secara full-time dan memberikan nama Batik Chic. Hingga kini, Batik Chic memiliki cabang di Jakarta, Surabaya, Bali dan Singapura.

Aktivitas Novi bersama Batik Chic tak hanya terbatas partisipasi di ajang Jakarta Fashion Week yang sudah berkali-kali diikuti, tapi juga sampai ke luar negeri. Beberapa negara yang pernah ia kunjungi antara lain Jepang, Rusia, Swiss, Perancis, Jerman, Italia, India, Venezuela, dan lain-lain. Pertengahan Maret kemarin Novi pula turut serta dalam ajang Vancouver Fashion Week 2019.
Marketing lewat koneksi
Pengalaman kerja di industri perbankan termasuk menjabat sebagai brand manager di HSBC dan DBS memberikan kesempatan kepada Novi untuk berinteraksi dengan berbagai klien dan membangun koneksi dalam berbisnis. Karena kebanyakan klien yang ia temui berada di kelas ekonomi menengah ke atas, Novi pun menyesuaikan target market Batik Chic untuk demografi tersebut.
Ketika bertemu dengan klien, terkadang ia juga ditanya nasihat soal pakaian mereka. Spontan Novi jadikan kesempatan tersebut sebagai bahan pelajaran untuk pengalaman padu padan pakaian.
Interaksi dengan klien selalu dianggap sebagai hal yang penting. Ibu dari tiga anak tersebut mengaku salah satu yang ia pelajari dari pelanggannya – yang ialah seorang pengusaha sparepart di Glodok – adalah tentang keluar dari zona nyaman.
“Dia punya rumah besar sekali di PIK (Pantai Indah Kapuk – Jakarta Utara), tapi tempat kerjanya di Glodok panas dan berdebu. Saya tanya dia kenapa mau kerja capek panas-panasan, kenapa gak bikin tempat bisnisnya lebih bagus. He said he always want to have that feeling of hunger. Dari situ I learned of that hunger, the inconvenience, gak enaknya gak punya duit. So that’s why I’m always working and working,” kisah Novi.
Alumni Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran tersebut juga menekankan betapa pentingnya marketing dan koneksi dalam usaha fesyen. “Dulu ketika saya memulai this new business, kan mulai dari nol. I thought of how fast I want this business to be well known. I choose the fastest way, by lots of collaborating with big brands,” tutur wanita yang pernah menghabiskan masa SMA di Medan. Dengan kolaborasi tersebut, Novi dapat mengurangi modal yang diperlukan dan juga memposisikan brandnya agar semakin dikenal. Koneksi-koneksi untuk meraih kolaborasi dan pelanggan ia dapat melalui pekerjaannya di private banking. Beberapa yang pernah bekerja sama termasuk Garuda Indonesia, dan kedutaan besar dan konsulat jenderal RI di berbagai negara. “Business without network is zero. If you’re a fashion designer and don’t have marketing, look for a good one,” sarannya.

Di balik harga Batik
Dalam partisipasinya di luar negeri, Novi tidak takut mengkolaborasikan tenun Indonesia dengan teknik tenun dari negara lain. Misal, ia pernah mengkolaborasikan teknik shibori yang berasal dari Jepang dengan batik Indonesia untuk acara Tokyo Fashion week. Selain itu, berkolaborasi dengan desainer dari India menggunakan bahan sutra mereka dan dengan design padu padan tenun dari Indonesia.
Persiapan yang Novi lakukan untuk ajang di luar negeri terkadang bisa lama. Untuk ready-to-wear, bisa disiapkan lebih cepat ketimbang untuk proyek spesial, misal Jakarta dan Vancouver Fashion Week, kadang bisa memakan waktu 9 bulan hingga 1 tahun.
Menurut Novi, batik itu sangat spesial, berikut juga dengan cara membuatnya yang bisa memakan waktu yang lama. “Batik tulis bisa memakan waktu 1 sampai 3 bulan untuk satu lembar. Dan kalau motifnya intricate sekali, bisa sampai 1 tahun,” paparnya. Karena prosesnya, harga batik bisa terbilang mahal, bahkan melebihi satu juta. Maka dari itu, ketika ingin meluncurkan produk batik, Novi merasa perlu meyakinkan orang tentang proses dan filosofi dibalik motif Batik tersebut dengan memberikan talkshow. “Ketika melihat harganya, pasti bertanya kenapa mahal sekali. Because they didn’t know the process. Once they know how the process and philosophy, then people will appreciate it. Once they appreciate it, they will never ask the price. Batik is an investment,” jelasnya.
Ketika ditanya jika ada motif batik tertentu yang ia sukai, Novi merasa semua memiliki nilai spesial masing-masing. Namun ia selalu mencoba mulai dengan batik yang kurang terkenal dan mengembangkannya agar diinginkan banyak kalangan.

Semangat berBatik
Dengan maraknya batik hasil printing, pemahaman nilai dan kecintaan di kalangan publik Indonesia tentang batik tradisional sangat perlu ditingkatkan. Batik tradisional adalah tradisi yang turun menurun dan bisa menghilang jika tidak ada lagi peminat.
“Dulu saya mendapat penghargaan dari UNESCO berkat tenun Ulap doyo. Dari anggrek hutan yang dipintal, adanya di kalimantan timur. Itu hampir punah karena banyak yang tidak mau beli. Sama halnya dengan batik, ketika daya beli menurun, makin banyak yang gak ada. Jadi ini adalah tanggungjawab kita bersama untuk melestarikan,” pesannya.
Semangat untuk melestarikan Batik tersebut juga Novi tanamkan ke anaknya. Ketika ia kecil, keluarga sering mengajar budaya Indonesia dan ibunya sering membawanya ke tempat tempat batik untuk membeli batik dan menjualnya kembali. Pengalaman ini sangat berkesan baginya dan sekarang Ia juga mengajarkan hal serupa kepada tiga anaknya. “Whenever I go hunting for Batik, I always take them out with me. Whenever I work, I bring them near with me. So they know what’s their mum is working on. Jadi saya berusaha filosofi-filosofi baik yang sudah diturunkan dari ayah ibuku saya ajarkan kembali ke anak. Sekarang anak perempuan saya yang dulu berusia 3 tahun ketika saya memulai bisnis ini, gila batik. Anak ku yang cowok juga sama,” ungkapnya bangga.
Novi juga berharap batik Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. “Saya melihat ada brand, orang bisa ngantri untuk beli. Saya ingin batik Indonesia bisa seperti itu. Sekarang yang berbondong-bondong beli batik kebanyakan orang luar, mereka tahu it’s an investment. Batik Kedungwuni di Pekalongan, itu dulu murah banget. Kalau sekarang mau pesan, bisa harus nunggu 3 tahun waiting list. Dulu harga 1 jutaan. Sekarang satu lembar batik bisa 25 juta,” tutur penggemar desain padu padan pakaian yang tidak mainstream ini.
Bagi Novi, tugasnya adalah menyebarkan virus cinta batik. Kendatipun, melestarikan Batik tetap menjadi tanggung jawab semua rakyat Indonesia. Jika generasi penerus enggan memakai Batik, bagaimana generasi kedepannya?
Denis