Titel bergengsi Top 10 Indonesian CEOs versi SWA Business Magazine 2002 dan 25 Outstanding Indonesian CEOs versi Warta Ekonomi Business Magazine 2000 pernah diraihnya. Beliau juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Co-Founder dan Board of Patrons Chairman Indonesia Business Links (IBL), Presiden Direktur berbagai perusahaan pertambangan internasional (Newmont Pacific Nusantaraa, PT Kaltim Prima Coal, PT Rio Tinto Indonesia), dan Presiden Direktur Siemens Indonesia.

Kini, Noke Kiroyan mengemban posisi sebagai Chairman of Indonesian National Committee of Internasional Chamber of Commerce (ICC), Vice Chairman of the Partnership for Governance Reform in Indonesia, Advisor Australia-Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG), dan Presiden Direktur dari perusahaannya sendiri; Kiroyan Partners.

Sosok pria yang biasa dipanggil Pak Noke ini selalu mengedepankan kode etik dalam berbisnis. “Menurut pendapat saya, kita menjalankan perusahaan saja tidak cukup. Tapi harus menjalankan dengan baik dan beretika. Itupun yang menjadi landasan di perusahaan ini [Kiroyan Partners], ethical principles nomor 1,” ujar Pak Noke di kantornya yang berada di kawasan Kuningan, Jakarta.

Menerima penghargaan dari Perhumas (Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia)
Menerima penghargaan dari Perhumas (Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia)

Tekad dan kegigihan seorang Noke Kiroyan sudah tertanam bahkan sejak masa mudanya. Terbukti ketika beliau menempuh jenjang pendidikan tinggi di Universitas Padjajaran (Unpad) jurusan Ilmu Komunikasi, meski sibuk dengan berbagai kegiatan layaknya mahasiswa lainnya, Noke muda mengisi waktunya dengan kegiatan positif. “Waktu saya kuliah di Bandung, saya juga kursus bahasa di Goethe Institut. Ada tes yang namanya Deutsch als Fremdsprache [German as Foreign Language] tahun ‘72, ternyata saya lulus terbaik se-Indonesia. Karena itu, saya mendapatkan scholarship untuk Belajar bahasa Jerman selama 2 bulan di Jerman.”

Beasiswa tersebut baru keluar tahun 1974, dua minggu setelah Noke memulai karirnya di Siemens Indonesia sebagai Management Trainee. Ini tidak dijadikannya sebagai halangan. “Saya pikir, saya baru mulai di Siemens masa ditinggal? Tapi karena Siemens perusahaan Jerman, mungkin saja mereka tertarik. Lalu saya buat memo dalam Bahasa Jerman kepada Direktur Keuangan yang waktu itu adalah pimpinan saya,” kisah Noke. Tanpa disangka, selain diizinkan untuk pergi ke Jerman, Noke juga ditawarkan untuk belajar keuangan dan administrasi perusahaan di Jerman selama 2 tahun.

Bahkan sebelum lulus dari Unpad pun dirinya sudah meraih gelar Industriekaufmann (setara dengan diploma Business Administration di Jerman) terlebih dahulu. “Mendapat suatu pengetahuan yang saya kira luar biasa tentang keuangan dan administrasi perusahaan. Tanpa itu saya tidak mungkin jadi Presiden Direktur,” yakinnya.

Tentunya tidak ada perjalanan karir yang mulus tanpa tantangan. Salah satu tantangan terbesar yang tidak terlupakan bagi Noke adalah ketika baru pulang dari Jerman dan menempati posisi Manager Personalia di Siemens. “Saya terima [posisi tersebut] dan baru tahu setelahnya bahwa waktu itu perusahaan asing dilarang untuk melakukan kegiatan dagang, hanya direservasi untuk perusahaan nasional. Siemens harus memecat karyawannya, jadi saya sebagai Manager Personalia, ya tugas saya itu.” Noke menambahkan, “waktu itu keresahan karyawan luar biasa. Saya menghadapi demo buruh, macam-macam.”

Noke pun mengumpulkan tim-nya dan berkata, “personalia atau human resources adalah bagian dari management. Jadi bagaimana juga, kita harus menjalankan kebijakan perusahaan. Saya minta kalian tetap loyal kepada perusahaan. Tapi kalau tidak bisa ya, please tell me.”

“Saya juga bilang, ‘tantangan kita berat karena seluruh teman-teman kita akan melawan kita, karena tugas kita adalah memecat orang’,” jelas Noke yang menganggap pengalaman tersebut adalah yang paling berat mengingat usianya yang sangat muda dan belum banyak berpengalaman di bidang tersebut.

“Tapi ya dalam perjalanan saya 17 tahun [di Siemens], banyak ups and downs-nya. Setiap tantangan saya berhasil atasi, saya naik pangkat.”

menjalankan perusahaan saja tidak cukup tapi harus menjalankan dengan baik dan beretika

Dalam usaha melebarkan kepakan sayapnya, pada tahun 2007, Noke mendirikan sebuah perusahaan konsultasi komunikasi bernama Kiroyan Partners.

“Setelah saya keluar sebagai eksekutif, saya mendirikan perusahaan. Sedangkan untuk mendirikan perusahaan industri, saya tidak punya uang terus terang saja. Perusahaan dagang, saya tidak bisa dagang. Ya perusahaan jasa. Jasa apa? Ya komunikasi. Kenapa komunikasi? Karena saya menguasai ilmunya. Dan kedua, selama saya menjadi CEO perusahaan-perusahaan tambang, semua jasa perusahaan public relations sudah saya pakai. Semua yang di Jakarta sudah saya pakai. Perusahaan asing semuanya. Dan saya yakin saya bisa lebih baik dari itu.”

“Jadi saya bilang, ‘I can do it. I can do it better than them’”. Karena saya lebih tahu situasi Indonesia, saya tahu cara kerja mereka, dan saya punya dasar pengetahuan teoritisnya. Jadi alasannya sederhana, perusahaan jasa karena modalnya tidak perlu terlalu besar, dan saya bisa menguasai bidangnya.”

Di sela-sela pengalamannya berkarir dan meniti kehidupan di Tanah Air, pria yang fasih berbahasa Indonesia, Inggris, Jerman, dan Belanda ini ternyata merupakan salah satu korban pemboman hotel JW Marriot pada tahun 2009. “Makanya telinga saya rusak, pakai hearing aid,” katanya menyesalkan kejadian tersebut.

“Jadi setiap Jumat pagi, ada Breakfast Meeting yang diadakan oleh seorang Amerika, namanya James Castle. Dia membuat round table discussion tiap Jumat, dan waktu itu selalu diadakan di Hotel Marriot. Nah, Jumat tanggal 17 Juli 2009 – saya ingat betul tanggalnya, tanpa kita ketahui seorang suicide bomber masuk ke ruangan tempat kita makan, tempat kita mengadakan breakfast round table. Dan dia meledakkan itu. Empat di antara kita di meja itu meninggal, saya hidup. Ada 19 orang yang selamat,” kenangnya.

“Saya ada di ruangan itu. Jadi waktu terjadi ledakan ya, saya merasakan suatu tekanan yang sangat besar, seolah-olah didorong ke depan. Terus saya kehilangan kesadaran. Saya bangun kembali beberapa menit kemudian, sudah gelap gulita karena lampu mati. Saya pikir saya buta karena tidak bisa lihat apa-apa walaupun mata terbuka. Terus saya bilang, “I can’t see! I can’t see!”. Terus saya dengar dari sebelah sana ada yang juga orang ngomong ‘I can’t see’ juga. Pelan-pelan saya bangun, dari kejauhan kelihatan ada cahaya yang rupanya pintu masuk. Ya saya jalan ke situ. Ternyata I can see!”

Pada hari yang sama, terjadi dua ledakan bom bunuh diri, yakni di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, DKI Jakarta. Aksi teroris tersebut mengakibatkan 9 korban meninggal dunia dan 53 orang luka-luka.

Kendati demikian, pria yang hobi membaca ini percaya bahwa dalam mengatasi segala masalah seseorang harus berpikiran terbuka, jangan lalu terbawa suasana dan hidup dalam kegelapan emosi. Begitu juga dalam berkarir. “Sewaktu saya menjadi Presiden Direktur di Siemens Indonesia, saya adalah Presiden Direktur pertama yang membuat Collective Labor Agreement. Saya bilang, ‘loh, di Jerman itu normal. Hubungan management dengan karyawan itu baik karena ada labor union. Dan itu hak mereka,” katanya bijak.

Kepada pembaca BUSET, Pak Noke berpesan agar tidak putus asa dalam memajukan bangsa. “Walaupun, misalnya, jadi warga negara Australia, tidak jadi masalah, tetap bisa membantu Indonesia untuk lebih maju. Meski berada di luar negeri, saya kira masih banyak yang bisa dilakukan untuk Indonesia,” tutupnya.

 

Jlie