Tak dapat dipungkiri lagi bahwa era globalisasi dan teknologi perlahan merubah proses pertukaran informasi, produksi dan konsumsi. Kondisi dunia yang dinamis dan kompleks seperti saat ini mengharuskan pelaku ekonomi untuk menjadi lebih kreatif dalam memasarkan produk dagangannya. Hanya memiliki modal secara finansial pun dirasa tak cukup bersaing dalam dunia usaha. Perlu adanya nilai-nilai kreativitas sebagai aset penting dalam menggerakkan ekonomi.

Suasana kegiatan diskusi

Dari 16 sektor ekonomi kreatif yang ditentukan pemerintah Indonesia, sektor kuliner menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia dikenal dengan kebangaan mereka terhadap kekayaan kuliner nusantara. Dari Sabang sampai Merauke, dari nasi padang hingga bakso, dari angkringan hingga restoran bintang lima. Kecintaan masyarakat terhadap kuliner nusantara diharapkan mampu membangun semangat pelaku usaha ekonomi untuk memulai usaha di dunia kuliner.

Namun, kepopuleran kuliner Indonesia di luar Indonesia dianggap kurang jika dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, contohnya Thailand dan Vietnam. Hal ini diduga karena kurangnya promosi masakan Indonesia di luar negeri meski berpotensi tinggi.

Konsul Fungsi Ekonomi, Zaenal Arifin (tengah) memperkenalkan narasumber

Hal ini menjadi pekerjaan rumah penting untuk lembaga perwakilan masyarakat Indonesia yang ada di luar negeri. Salah satunya bagi Konsulat Jendral Indonesia di Melbourne yang juga berfungsi untuk mempromosikan ekonomi Indonesia di negara bagian Victoria.

Bekerjasama dengan Navanti Holdings, KJRI Melbourne mengadakan kegiatan berbasis diskusi santai dengan tema Creative Economy Forum: Ngobrol Kuliner Indonesia di 11th Space pada Senin, 4 Maret lalu.

Konsul Jendral Spica menyampaikan kata sambutan diawal acara

Kegiatan yang baru pertama kali diselenggarakan oleh KJRI Melbourne tersebut mengundang empat narasumber ahli. Dimoderatori oleh Konsul Fungsi Ekonomi, Zaenal Arifin, pengusaha sukses Ivan Tandyo, pengacara berdarah Makasar Konfir Kabo, chef dan pemilik restoran fine dining di Ubud Bali, Chris Salans, serta manager Indofood di Melbourne, William Ho berbagi pengalaman dan pendapat mereka tentang kuliner Indonesia dan usaha kuliner Indonesia di Victoria. Lebih dari 80 tamu undangan yang kebanyakan berlatar belakang pengusaha kuliner Indonesia tersebut tampak antusias ikut berdiskusi bersama keempat narasumber yang hadir.

Rasa Itu Penting Tapi Penyesuaian Juga Penting

Salah satu isu yang dianggap membatasi kepopuleran masakan nusantara di Victoria ialah tampilan masakan yang ditawarkan. Karena sebagian besar rumah makan Indonesia menyerupai kedai atau warung kecil, hal ini dianggap kurang mampu menarik perhatian warga negara asing. Terlebih jika mereka tidak akrab dengan makanan khas Indonesia.

Kudapan khas Indonesia disediakan sebelum diskusi berlangsung

Dari segi rasa, menu yang ditawarkan rumah makan tersebut dianggap asli dan kaya rempah-rempah khas Indonesia. Meski diminati warga negara Indonesia yang rindu akan makanan Indonesia, hal ini justru dianggap sebagai dinding tinggi bagi warga lokal. Rasa yang medok mungkin tidak sesuai dengan selera warga lokal, terlebih jika mereka baru mencoba makanan Indonesia. Makanan Indonesia dianggap sangat tradisional dan sulit jika diubah. Hal ini mengunci Indonesia dalam tradisi dan sulit untuk menyesuaikan dengan lidah warga asing.

Maka dari itu, perlu adanya keberanian untuk berkreasi dan berinovasi demi menarik perhatian warga lokal. Menggabungkan tradisi Indonesia dengan cita rasa barat, contohnya penambahan salad, kentang goreng daripada nasi, dan menu pilihan vegan dianggap sebagai langkah tepat dalam menarik perhatian warga lokal.

Platform Ramah Tamah Bagi Pengusaha Kuliner Indonesia

KJRI mencatat ada setidaknya 44 restoran Indonesia dan satu katering Indonesia di Victoria dan Tasmania. Banyak dari mereka yang memanfaatkan kegiatan sore itu dengan berkenalan satu sama lain. Kegiatan satu ini dianggap sebagai wadah untuk pengusaha kuliner Indonesia saling berdiskusi, saling berbagi cerita suka dan duka, serta mencari solusi bersama-sama.

(kiri ke kanan): William Ho, Konfir Kabo, Zaenal Arifin, Spica Tutuhatunewa, Ivan Tandyo, Chris Salans

Meski ada persaingan diantara mereka, kegiatan satu ini diharapkan mampu mempererat tali hubungan dan memulai jaringan kerjasama untuk memajukan kuliner Indonesia di Victoria. Namun, kesempatan satu ini diharapkan tak disalahgunakan untuk mengatur harga yang justru menyalahi aturan dagang.

Menjaga nama baik restoran Indonesia di Victoria menjadi tanggungjawab bersama. Memperhatikan bahan dasar makanan yang digunakan, mengikuti aturan-aturan yang berlaku, serta memperhatikan saran konsumen sangatlah penting demi mempertahankan usaha kuliner Indonesia di Victoria.


APA KATA MEREKA

Spica Tutuhatunewa – Konsul Jendral KJRI Melbourne

Harapan KJRI Melbourne agar restoran Indonesia bisa bertahan lama. Tak harus menjadi restoran besar bintang lima, tapi tempat yang kecil tapi design dan interior yang menarik dan rapi, serta tampilan makanan yang lezat menyesuaikan keinginan warga asing.

Hana Tania – Pemilik Restoran Ayam Penyet Ria

Kegiatan ini sangat bagus karena pemilik usaha bisa mengenal satu sama lain. Jika sebelumnya, kami hanya mengetahui nama rumah makannya, sekarang kami sudah bisa berkenalan dengan sosok dibalik usaha tersebut. Ini juga menjadi langkah tepat untuk berbagi pikiran mengenai permasalahan dan peluang kuliner Indonesia di Victoria.

Tisya – Chef

Menurut saya, kegiatan ini sangat baik karena bisa membuka pikiran kita lewat diskusi. Dengan adanya kegiatan serupa, saya berharap relasi antar pelaku usaha kuliner dapat menjadi lebih erat dan dapat bekerjasama mempromosikan kuliner nusantara.

Octa