Udara dingin malam itu diiringi alunan tangga nada musik Kolombia berpadu dengan suara musik tradisional Indonesia. Lantunan tersebut berasal dari Evelyn Hotel di bilangan Brunswick Street, Fitzroy. Terdapat lorong kecil di bar yang bila ditelusuri dapat membawa kita menuju ruangan dengan beberapa kursi tertata menghadap panggung bersorotan lampu warna merah dan biru. Di sana terlihat seorang pria sedang menghayati permainan gitarnya dan sesekali menyumbang vokal pada mikrofon didepannya.
Ia adalah Rayhan Sudrajat, seorang vokalis, komposer, dan multi-instrumentalis asal Bandung. Malam itu Rayhan tampil dalam sebuah acara bertajuk “Global Flow” yang menghadirkan seniman musik dari Australia, Kolombia, Peru, dan Polandia.
Rayhan berbagi panggung dengan Oscar Jimenez asal Kolumbia untuk membawakan hiburan musik selama kurang lebih satu jam. Melalui lagu-lagu Kolombia ciptaan Oscar, Rayhan yang sedang mengambil Master of ResearchEthnomusicologydi Monash University mengekspresikan kebolehannya pada musik tradisional. “Musik di penampilan kami tadi beberapa memang dari Kolombia, tapi beberapa saya masukkan unsur Kalimantan Tengah dan beberapa juga dari Sunda Tua,” paparnya.
Uniknya, meski tidak sepenuhnya mengerti arti lirik yang dikumandangkan teman kolaborasinya malam itu, pria yang semasa di Indonesia bekerja sebagai pemusik penuh waktu ini tetap tahu kapan harus menyumbang suara. “Ketika Oscar nyanyi, kita bisa analisa dari liriknya, dari beberapa ritme. Seperti misal dari nadanya ada beberapa yang sedih, beberapa yang ceria, karena buat saya nada itu berbicara,” jelas Rayhan.
“Waktu main musik, saya dan Oscar tidak harus buat janji untuk main begini atau begitu. Kita ketemu, main musik, dan langsung nyambung. Dan mungkin tidak semua orang langsung klik di awal, hanya beberapa, tapi sama Oscar saya langsung klik,” lanjutnya.
Oscar pun kagum terhadap talenta yang dimiliki Rayhan. “Ritme Kolombia sangatlah berbaur dengan musik Indonesia. Saya merasa bahwa kami benar-benar terhubung satu sama lain. Cara Rayhan bermain gitar dan bernyanyi membuat saya berpikir: wow!” ungkap pria yang juga tergabung di sebuah bandbernama Amaru Tribe ini.
“Saya ingin berkolaborasi lebih lagi dan mendekatkan kedua budaya ini. Banyak sekali hal yang dapat kita lakukan di kota seperti Melbourne, sebuah tempat dengan banyak orang dari negara yang berbeda. Kebanyakan masyarakat di sini belum mengenal budaya satu sama lain, dan saya pikir mereka perlu,” kata pria yang sudah malang melintang di bidang musik Australia selama 20 tahun tersebut.
Identitas Budaya
Rayhan berharap agar penonton yang hadir mengerti bahwa inti dari penampilan panggungnya malam itu adalah bukan tentang seberapa indah musik yang dimainkan, tapi untuk menunjukkan pentingnya sebuah kolaborasi. Menurutnya, “musik itu hanya bonus. Kalau untuk pengunjung, teman-teman yang hadir tadi, saya ingin agar mereka sadar bahwa, ‘Oh, ternyata orang Kolombia yang tadinya musiknya cuma begitu, Indonesia begitu, ternyata bisa digabungkan’.”
Walau tidak datang dari latar belakang musik tradisional, alumni Universitas Padjadjaran jurusan literatur Inggris tersebut tengah mengeksplorasi instrumen turunan leluhur. Ia menilai banyak hal relevan yang bisa dipelajari, termasuk salah satunya dalam pencarian identitas diri. Selain itu, saat dibawa ke luar negeri, justru musik tradisional lebih mampu membuka ruang baru yang tidak bisa didapatkan dari musik modern.
Usaha semacam ini tentu patut diacungkan jempol. Di saat masyarakat Indonesia sendiri kurang mengapresiasi instrumen kampung yang kerap disebut kuno dan jadul(jaman dulu), pria yang baru berusia 28 tahun itu pun memperjuangkannya dengan tulus dan penuh harap.
Rayhan meyakini bahwa dengan generasi muda yang semakin inovatif dan berani bersuara, musik tradisional Indonesia memiliki masa depan yang cerah. “Hanya mungkin jaringannya yang perlu diperkuat,” ucapnya.
Sebelum menutup wawancara bersama Buset, Rayhan berpesan agar teman-teman pemusik ataupun penikmat musik dapat terus membawa nilai budaya khas bangsa dalam kolaborasi dengan kebudayaan lain, terlebih lagi dibantu adanya kemudahan fasilitas yang sudah disiapkan kota multikultural semacam Melbourne ini.
***
APA KATA MEREKA
MEITTY CURTAIN | Wiraswasta
Saya dan teman-teman senang ada perpaduan beberapa kebudayaan dari South Americadan Indonesia. Benar-benar kekinian dan “jaman now”. Jadi bisa masuk kalangan manapun, anak-anak muda, mau pun kita yang sudah middle age crisis ini tetap happy.
Feedback untuk acara ini mungkin digital social marketing-nya harus jalan biar lebih banyak. Harus dihubungi ke PPIA karena student kan suka kayak gini. Untuk ke depannya sih kalau aku bilang go with the flow, ya pokoknya ikutin saja arus kemana saja pergi.
HEATHER DIGBY | Property Manager
I knew this event from my friend, she lets me know any Indonesian events in Melbourne. I studied Indonesian when I was 10, so I kind of just keep in contact with the community a little bit to see what’s going on. Gives me chance to practice or to just hear the language.
I thought the performance was really great, it’s just really great to hear music from many different cultures, it’s just really fun, and just kind of nice to dance to, and it’s free form as well, so people can express themselves a bit more. I really enjoyed it!
Please do more of them and collaborate with more different artists. I think there’s definitely a potential for Indonesian music because it is really interesting and quite complex. The traditional music has a lot of beautiful instruments with the different orchestras and drumming, flutes, so I really enjoyed it.
Nasa