Monash Learning and Teaching Building menjadi saksi peluncuran buku berjudul “Roller Coaster 4 Musim: Lika Liku Perjalanan Studi Doktoral Mahasiswa Doktoral Indonesia di Australia” yang dibuat komunitas mahasiswa Doktoral Melbourne (atau juga dikenal sebagai Social Researchers Forum/SRF). Ajang yang sengaja diadakan dalam bentuk panel diskusi itu dihadari tak hanya oleh mahasiswa yang melanjutkan studi S3 melainkan juga semua dari berbagai universitas di Melbourne.

Prof. Ariel Heryanto memperkenalkan buku “Roller Coaster Empat Musim”

Ditunjuk sebagai mediator adalah Pratiwi Utami, seorang mahasiswi PhD dalam jurusan Film, Media and Communication di Monash University. Sedangkan panelis datang dari tiga profesi berbeda, yakni Spica A. Tutuhatunewa, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Melbourne; Profesor Ariel Heryanto, Direktur Herb Feith Indonesia Australia Engagement Centre; dan Iwan Awaluddin, mahasiswa PhD jurusan Communication and Media studies di Monash University yang juga berperan sebagai editor untuk buku tersebut.

Selain menjadi agenda rutin SRF, dikatakan bahwa proses penerbitan buku ini memakan waktu hingga dua tahun, dan merupakan kumpulan dari 20 penulis yang masing-masing mengkontribusikan satu cerita. Sebelumnya SRF telah menerbitkan “Berlayar” yang juga membahas pengalaman mahasiswa doktoral dengan pengumpamaan sebuah perjalanan dalam kapal layar, menganalogikan fase naik turun yang dilalui mahasiswa doktoral.

Pemotongan tumpeng oleh Konsul Jendral Spica Tutuhatunewa

Dalam “Roller Coaster 4 Musim”, antusiasme luar biasa yang dialami para mahasiswa pada awal perjalanan mereka di Australia menggambarkan generalisasi musim panas. Yang lalu disusul dengan musim gugur, mometum penyesuaian mulai terasa dimana para mahasiswa harus menghadapi kenyataan seperti sulitnya mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Para mahasiswa lantas merefleksikan sekaligus menjaga keharmonisan dalam studi dan kehidupan mereka selama musim dingin sebelum akhirnya tiba musim semi yang menjadi akhir perjalanan studi dan awal penentuan langkah berikutnya.

Perjuangan Seorang PhD

Profesor Ariel mengatakan bahwa menjadi seorang mahasiswa PhD memerlukan pengorbanan yang sangat besar karena seorang kandidat harus mendedikasikan waktu sekitar 3 tahun lebih untuk sebuah riset topik. Dan oleh karena program ini merupakan investasi yang besar – tak hanya dari pihak pemberi beasiswa namun juga bagi calon kandidat – maka itu bijaknya setiap kandidat memiliki mindset yang kuat dan sungguh-sungguh dalam melakukan riset topik yang bisa berguna secara jangka panjang.

Iwan Awaluddin, Editor

Program PhD di Australia memiliki perbedaan dibanding di negara lain. Contohnya di Amerika Serikat, seorang kandidat harus melalui proses yang rumit; menguasai minimal dua bidang serta ujian disiplin. Di Australia, para kandidat sudah diekspektasikan untuk melalui itu semua lewat program S1 dan S2, maka diharapkan untuk jauh lebih independen saat mendalami jenjang S3 (doktoral).

Dari kacamata lain, Profesor Ariel mengungkapkan kepentingan seorang supervisor dalam mengangkat kandidat di bawah bimbingannya sangat besar. “Karier dia ditentukan dengan karya Anda. Kalau di sini, Anda selesai dengan thesis atau disertasi akan diuji dunia. Bukan oleh pembimbing Anda. Artinya si pembimbing ikut diuji,” ungkapnya.

Walaupun seorang kandidat telah menyelesaikan studi doktoralnya, tantangan yang dihadapi tidak berhenti begitu saja karena mereka harus merencanakan dengan baik langkah setelah program tersebut.

Pada kesempatan yang sama, Konjen Spica menyambut baik diadakannya peluncuran buku “Roller Coaster 4 Musim: Lika Liku Perjalanan Studi Doktoral Mahasiswa Doktoral Indonesia di Australia”. Beliau berharap para mahasiswa berkelimpahan syukur bisa memperdalam ilmu di luar negeri dan berusaha memberikan kontribusi kepada institusi yang mensponsori mereka. “Sebelum saya menjadi menjadi Konsul Jenderal, saya adalah Direktur untuk Sekolah Dinas Luar Negeri. Jadi saya jadi kepala sekolah untuk diplomat-diplomat yang baru lulus. Yang saya harapkan dari teman-teman junior yang baru lulus sekolah luar negeri adalah dia harus bawa fresh ideas. Kan pengalamannya beda. Keterbukaan, diskusi, critical thinking. Dan bagaimana itu bisa dibawa dan diterjemahkan agar generasi muda Indonesia dapat berpikir lebih kritis,” tutur beliau berdasarkan perspektif dan pengalamannya.

Mendapat perhatian spesial dari kalangan mahasiswa

Motivasi dalam membuat buku ini pun juga dibagikan Iwan kepada Buset Magazine. “Selama ini kan kita mendalami studi PhD cerita-cerita menarik yang dirasakan sendiri. Jarang dibawakan ke orang lain. Nah waktu itu kami berpikir bahwa, kan proses edit buku itu lama, setiap saat ada mahasiswa baru, ada yang lulus, kenapa tidak kemudian cerita-cerita ini dikumpulkan, jadi bahan bahan cerita untuk teman baru yang akan menempuh PhD. Sehingga ketika mereka mengambil PhD bisa belajar dari kami baik yang buruk maupun sukses,” ujarnya sambil berharap lebih banyak buku lagi bisa dirilis oleh komunitas tersebut.

Menanggapi pertanyaan mengenai perbedaan gaya menulis dari semua kontributor, Iwan mengatakan “ada rambu-rambunya, jangan terlalu curhat pribadi yang sangat personal. Jangan juga terlalu ilmiah seperti jurnal.”

Foto bersama kontributor dan tamu undangan

Selain adanya tantangan dalam soal pendanaan dan cara membagi waktu dengan kegiatan utama selama perjalan membuat buku tersebut, ada juga kendala geografis yang dialami editor. Hal ini dikarenakan para kontributor tak hanya berasal dari mereka yang sedang menempuh studi Doktoral di Australia, tetapi juga mereka yang sudah lulus dan kembali ke Tanah Air. Kendati demikian, faktor geografis ini ternyata dapat menjadi berkah tersendiri karena memudahkan proses percetakan di Indonesia serta peluncuran buku di Jakarta 8 September lalu.

Apa Kata Mereka

Derry Agustin
Kontributor buku dan Kandidat PhD Fakultas Edukasi Monash University

Rasa senang pasti ada, tapi senangnya lebih ke membantu menjawab beberapa pertanyaan dari teman-teman. Karena selama ini teman-teman saya dari Indonesia banyak bertanya, misalnya bagaimana mencari supervisor. Saya senang kalau bisa jawab satu-satu. Tapi kalau yang nanya banyak, itu takes time. Jadi buku ini lebih seperti menjadi media bagaimana saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu berdasarkan pengalaman saya.

Leonardi Chandra
Mahasiswa Masters Public Administration di University of Melbourne

Saya termasuk orang yang tidak mau ikut PhD. Saya datang ke acara ini antara untuk peruntukan itu atau menguatkan untuk bisa PhD. Tapi outcome saya yakin tak akan ikut PhD. Selain dari hard worknya saya lihat tadi seperti yang dibilang Ibu Spica, saya di Indonesia kerja sebagai PNS di kementerian keuangan, seperti dibilang tadi institusi saya apakah butuh expertise seperti itu. Tapi ini suatu insight yang bagus makanya saya jadi tertarik beli bukunya untuk tahu lebih dalam.

Denis