
Cuaca Melbourne 8 Oktober kemarin cukup menipu, angin yang berkecepatan 18 sampai 23 kilometer per jam menghapus hangatnya terik sinar matahari kala itu dan Patrick Nugroho, sebagai seorang yang men-showcase kostum emas Burung Garuda lengkap dengan ornamen detail dan sayap yang besar mengaku bahwa ia “Hampir terbang juga ya cuman Alhamdulillah masih bisa bertahan di tanah”.
Multicultural Networking Fun Day kembali diadakan hiatus selama pandemi COVID-19. Acara hari itu berlangsung mulai pukul sebelas siang hingga enam sore di Yarra One Atrium, 16 Claremont St, South Yarra. Acara yang diadakan oleh Perhimpunan Warga Indonesia di Victoria atau PERWIRA Australia adalah ranah dimana masyarakat diaspora Indonesia dapat berkumpul sambil menyaksikan penampilan budaya maupun berbelanja fashion dan kuliner tradisional. Sebelum memasuki venue, pengunjung disambut oleh lagu dan nyanyian khas indonesia yang terdengar di sepanjang jalan Claremont dan harumnya rempah masakan Indonesia pun langsung tercium ketika menginjakkan kaki di venue.
Diana’s Kitchen (instagram: @dianaskitchen.au) hari itu berjualan berbagai makanan khas indonesia mulai dari nasi kuning, gorengan, sampai jajanan pasar yang terletak di dua booth yang berdekatan. Kak Diana Harlin, pemilik dan pembuat resep dibalik semua hidangan yang terpampang hari itu sudah hadir di venue untuk persiapan sejak pukul delapan pagi. Salah satu jajanan favorite pengunjung adalah gorengan Kak Diana yang selalu laris manis. “Aku bahkan belum sempat cobain loh mba karena habis terus” sahut Kak Lidhya Ananta seorang anggota tim Diana’s Kitchen yang sedang menempuh gelar bachelor-nya di Melbourne Business School.

Asal-usul dari nama Diana’s Kitchen atau Dapur Diana dalam Bahasa Indonesia berawal dari pertemuan Kak Diana Harlin dengan seorang yang menyukai masakannya “Suatu hari ketemu dengan Konsil Melbourne sini yang biasa ngurusin kita festival, terus dia suka. (Dia bertanya) ‘kamu kenapa tutup?’ terus akhirnya sama dia pun dikasih izin di rumah makanya itu bisa beroperasi dari rumah. Tapi ya gitu, kita dirumah berupa katering” cerita beliau.
“Hari ini ngga seramai kemarin apa karena venuenya juga ya, terus kemarin lebih banyak warga asing yang datang sekarang ramai sekali masyarakat Indonesia.” menurut Mba Sri Hartati dari tim Diana’s Kitchen tentang pengunjung hari ini sembari membandingkannya dengan Festival Indonesia minggu lalu.

Para pengunjung mengelilingi panggung utama yang, terdiri dari podium bagi para pemusik dan space di depan untuk para penari, dihiasi sepasang ondel-ondel. Seorang pengisi acara yang memainkan gitar dan harmonika pun bertanya ke penonton “Boleh yang mau request lagu maju ke depan” dan Pak Binsan Napitupulu mengangkat tangan dengan antusias sembari berkata Kembali Ke Jakarta. Tak lama beliau pun menyanyikan lagu era 70-an yang dipopulerkan oleh Koes Plus, bergema dengan penuh emosi nostalgia.
“Saya dari jakarta tapi sudah sangat lama tidak di Jakarta, tahun 1988 pun pindah ke Melbourne. Jadi ingat Jakarta dan selalu senang kalau mendengar lagu itu, liriknya enak sekali, seperti kembali lagi.” sahutnya. Beliau kemudian menambahkan mengapa kembali lagi nya acara hari ini sudah cukup lama dinanti, “Multicultural Day ini memang bagus, saya selalu suka bisa nyanyi gembira walau suara saya ngga bagus” jawabnya.
Tak lama, MC pun mengumumkan bahwa penampilan tarian khas Minang, Tari Limpapeh, akan segera tampil “With costumes representing the Padang traditional home structure that’s called Rumah Gadang the dance illustrate roles and activities of the matriarch, Bundo Panduan as the Limpapeh or Pillar of the Household. This dance is delicate yet assertive as how Bundo Panduan is meant to behave” dengan kostum megah berwarna merah dan emas dilengkapi payung cantik Uni Mona Lisa Hainsworth dan tim nya pun memasuki arena.

“Ini sebenarnya grupnya baru. Ini kan dari komunitas Melbourne Maimbau, Maimbau itu bahasa padangnya menghimbau. Terus saya sama temen mikir kenapa kita ngga bikin bagian seni tari. Yaudah kita bikin Sanggar Limpapeh—karena ini tarian pertama yang kita tarikan —dan artinya bagus juga, Limpapeh itu pengayom karena menceritakan tentang Bundo Panduan atau ibu” sahut Uni Mona. Walaupun baru aktif selama dua bulan, Sanggar Limpapeh sudah memiliki pembagian kerja yang jelas mulai dari sebagai guru tari, yang merupakan Uni Mona, designer kostum yang membuat from scratch kostum-kostum penari hari ini, hingga make-up artist yang selalu siap membantu di tiap penampilan.
“Tujuan dari sanggar ini sebenarnya pure murni mau memperkenalkan budaya Minang mulai dari tari, dari kostum; dan semoga habis ini orang jadi makin tau tentang Indonesia dan especially Budaya Minang” tambah Uni Mona. Sanggar Limpapeh yang terbuka untuk umum melaksanakan latihan tiap hari Minggu sore dan akun Instagram @ajo_bule siap menjawab pesan mereka yang tertarik bergabung.
Waktu menunjukkan pukul empat lewat dan para pengunjung masih terlihat antusias menonton penampilan-penampilan budaya ditemani jajanan khas Indonesia. Meski sudah sore dan suhu sudah mulai turun, semangat para bintang tamu dan penonton tetap panas.
