Banyaknya berita hoax yang tersebar, baik dari media mainstream maupun media sosial, merupakan sebuah masalah yang dihadapi masyarakat global. Penyebaran berita hoax pun menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik di beberapa wilayah di dunia, salah satunya adalah negara adi-daya, Amerika Serikat.
Menyikapi kasus fake news atau berita hoax, Therese Davis, selaku Kepala Program Studi baru yaitu Komunikasi Media di Monash University, Australia, memberikan kuliah tamu dengan tajuk Fake News kepada mahasiswa dan mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara di Banten, Tangerang Selatan (5/9).
“I am the director on a new degree in media and communication at Monash University, we’ve been teaching this lecture for more than 20 years, at Monash, but it was tought as a major in the arts degree. We’ve decided that it was time for Monash to recognize how important media communication is in the 20th century and to make it a degree on its own,- Saya adalah Kepala di Program Studi baru, Komunikasi Media, di Monash University, di Monash kita sudah mengajarkan hal ini selama 20 tahun, namun hal ini diajarkan di jurusan Seni. Kami memutuskan untuk mengetahui betapa pentingnya komunikasi media di abad ke-20 dan akhirnya membuat jurusannya sendiri,” jelas Therese.

“And as a part of the leader for the new degree, we’ve been holding a number of seminars, with other academics and students, and one of the most recent seminars we had was fake news, hoaxes, because it’s a big issue in global media,- dan sebagai bagian dari kepala jurusan yang baru, kita sudah mengadakan beberapa seminar dengan partner kerja, universitas dan mahasiswa, dan topik dari seminar-seminar yang kita adakan adalah fake news, hoax, yang memang merupakan isu besar di media secara global,” tambah Therese.
Fake News atau berita bohong atau hoax dijelaskan dalam seminar Therese Davis sebagai sebuah cerita yang tidak benar – a story that is untrue –, kejadian pada saat seseorang mengunduh berita atau membagikan berita dan mengetahui bahwa berita itu tidak benar, atau berisikan informasi bohong.
Adanya penyebaran fake news pun digunakan sebagai dua hal, yaitu untuk menambah keuntungan sebuah media atau satu kelompok dan juga untuk menjadi alat keuntungan politik, alat propaganda. “Fake news is not the end for journalism, it is actually the hugest challenge that journalist have had, and journalist have more than ever have to get in and do their job and do it well and show the world why we need very highly school journalist in the world,- fake news atau berita bohong bukanlah akhir dari jurnalisme atau dunia jurnalistik, namun sebenarnya adalah sebuah tantangan terbesar yang dimiliki oleh jurnalis, maka jurnalis harus lebih serius dan mengerjakan tugas sebaik-baiknya, hal ini juga memperlihatkan kepada dunia bahwa dibutuhkan jurnalis-jurnalis yang berpendidikan tinggi,” jelas Therese.
Banyaknya mahasiswa dan mahasiswi Jurnalistik yang menjadi pendengar seminar membuat Therese memberikan masukannya kepada calon jurnalis-jurnalis muda saat melihat adanya praktek pembuatan maupun pempublikasian hoax. “You can call out fake news, you have to be the person to say that ‘That story is fake’, and call it out. If you find something like that, share it with your friend, tell people that this journalist is writing fake news, or that this website is fake, and this calling our process is I think very important and I think this is what journalist do all the time,- Anda bisa beritahu mana berita yang palsu, Anda harus jadi seseorang yang mengatakan bahwa berita itu bohong. Jika Anda menemukan sesuatu seperti itu, bagikan dengan teman-teman Anda, beritahu mereka kalau jurnalis tersebut membuat berita bohong, atau situs tersebut bohong, hal ini adalah hal yang penting dan merupakan sesuatu yang selalu dilakukan jurnalis,” jelas Therese.
Dalam wawancaranya bersama BUSET, Therese menjelaskan bahwa salah satu penyebab dari adanya Fake News adalah banyaknya jurnalis yang melakukan pekerjaannya secara tidak profesional, alias ceroboh. “Some of the story might be true, it’s not a hoax, it’s not a fake story, but it’s where people have written it so quickly they haven’t checked the facts and they’re getting things mixed up and that’s something that we have to be very careful about is that we don’t get sloppy journalism, I think sloppy journalism is as much problem as the fake news,- Beberapa berita bisa jadi benar, bukan hoax, bukan berita bohong, tapi bagaimana orang-orang menuliskannya secara cepat dan tidak sempat mengecek kembali fakta-fakta yang ada, membuat semuanya menjadi campur aduk, di situ lah kita harus menjadi sangat hati-hati dan tidak memilik jurnalisme yang ceroboh, menurut saya jurnalisme yang ceroboh juga adalah sebuah masalah seperti berita bohong,” jelas Therese.
Adbm