Wimar Witoelar, seorang pengamat politik yang juga ialah mantan juru bicara Presiden Abdul Rachman Wahid bertemu dengan warga Indonesia di Melbourne November silam. Kehadirannya kali ini mengangkat sebuah topik yang sedang hangat dibicarakan, yakni merawat keragaman (nurturing pluralism).

Bincang sore tersebut dirancang santai, dimana para hadirin diperbolehkan melemparkan berbagai pertanyaan yang ingin didiskusikan.

Menurut pengamatan Wimar, warga DKI Jakarta bisa belajar banyak dari berbagai daerah pedalaman Indonesia lainnya. Kota-kota seperti Gorontalo, Pontianak, Singkawang dan masih banyak lainnya mempraktekkan ilmu toleransi dengan sangat jelas meski memiliki demografis yang beragam. Hal senada dikatakan oleh seorang warga asal Larantuka, Flores mengenai kampung halamannya yang mempratekkan toleransi, salah satunya dengan saling bersilaturahmi ketika hari suci suatu agama tiba. Ia lalu menambahkan jika salah satu faktor yang dapat memupuk persatuan adalah kebijakan lokal yang menekankan pentingnya moral dan perilaku seseorang daripada agama yang dianutnya.

Dalam penjelasan lanjutnya, Wimar pun meyakini jika kekayaan Indonesia justru bertumpu pada keragaman yang dimilikinya. Tanpa adanya keragaman tersebut maka negara kita tercinta tidak akan terbentuk seperti sekarang ini. Alangkah sayang bila keragaman tersebut dirusak oleh karena segelintir orang saja.

 

***

PILKADA DI DEPAN MATA

DKI Jakarta merupakan kota dengan tingkat toleransi terendah, menurut Pak Wimar cara apa yang bisa dilakukan untuk memutarbalikkan peringkat tersebut?

Jangka panjang tentunya pendidikan ya, tapi yang bisa dilakukan saat ini adalah keaktifan sosial media dan teman-teman pers berupa kampanye sosial. Sebab hal tersebut dikarenakan kekurangtahuan masyarakat.

Pembelajaran apa yang bisa kita ambil dari Pilkada kemarin, Pak?

Orang harus terbiasa dengan adanya resiko dari sistem demokrasi yang akan selalu ada (inherent risk). Harus disadari betapa pentingnya satu suara, apabila kita tidak menyuarakan pendapat kita, ya bisa kalah. Contohnya pemilihan kepresidenan Amerika Serikat yang baru saja berlalu, persentase masyarakat AS yang mendukung Trump mungkin hanya 32%, tapi mereka semua menggunakan hak suara mereka. Sedangkan yang tidak mendukung Trump tidak, sehingga terjadilah hal tersebut.

Tahun depan kita akan memasuki tahun politik lagi, apakah menurut Pak Wimar isu-isu SARA akan marak berkumandang lagi, Pak?

Pastinya, makanya saya juga tidak berusaha melawan mereka. Tapi yang saya usahakan adalah mempertebal golongan tengah, orang biasa seperti kita ini, agar mereka sadar pada saat Pemilu nanti bahwa suara mereka sangat memegang peranan penting.

 

 

 

Ishie