Sutradara Proud To Be Me Amanda Octavianty bersama Budi Sudarto, Vice President of AGMC

Berawal dari persahabatannya dengan seorang gay dan lesbian ketika kuliah, Amanda Octavianty terpanggil untuk membuat film dokumenter mengenai pergulatan kehidupan kaum LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer) di Indonesia sebagai tugas kuliah. Saat itu, wanita yang juga menjabat sebagai News Editor in Chief untuk sebuah kanal edukasi milik pemerintah ini sedang mengambil gelar Master di Curtin University, Perth. Ia mengaku butuh waktu satu tahun untuk mengumpulkan dan meyakinkan narasumber yang berkenan diwawancara.

Film ini pun akhirnya terwujud dan berhasil dipremierkan di Melbourne pada hari terakhir Oktober lalu. Dalam film dokumenter berdurasi 25 menit ini, Amanda berhasil mewawancarai aktivis sekaligus pendiri GAYa Nusantara Dede Oetomo, Tenaya Santika, Rina, dan Achoe – khususnya perjalanan mereka saat ‘coming out’ dan usaha mereka agar bisa diterima dalam keluarga mereka. Sebagai sebuah film pendek agaknya sulit untuk mendapatkan kedalaman dan kompleksitas kaum LGBTQ di Indonesia, namun sudah cukup memberi gambaran betapa sulitnya mereka diterima di masyarakat. Menariknya, Proud To Be Me juga berhasil menampilkan dua lesbian – yang biasanya cenderung lebih tertutup – untuk mengisahkan perjalanan mereka. Salah satu narasumber yang berhasil diwawancara, Achoe, seorang lesbian yang mengenakan hijab mengungkapkan bahwa mereka yang menolak LGBTQ lebih dikarenakan interpretasi agama, bukan agama itu sendiri.

Setelah pemutaran Proud To Be Me, sekitar 50 orang yang hadir diajak mengikuti diskusi mengenai proses pembuatan film ini dan menyelami lebih jauh bagaimana perjuangan dan stigma yang harus dijalani kaum LGBTQ di Indonesia. Panelis yang hadir diantaranya Amanda Octavianty, sang sutradara; Dr. Helen Pausacker dari The University of Melbourne; Hendri Yulius – penulis sekaligus peneliti studi gender dari The University of Sydney; dan Yenni Lim dari komunitas Yellow Kitty. Diskusi ini dipandu oleh Budi Sudarto – Vice President of AGMC (Australian GLBTIQ Multicultural Council).

Faktanya, kaum LGBTQ di Indonesia memang sulit diterima masyarakat secara luas, apalagi jika kemudian dipertemukan dengan norma agama dan kaum konservatif. Kenyataannya, suka tidak suka, manusia merupakan individu yang bhinneka, termasuk urusan orientasi seksual. Belum lagi menurut Hendri Yulius, identitas seksual bisa bersilang temu dengan berbagai keragaman lain, entah itu faktor ekonomi, politik, atau budaya sehingga kian kompleks.

Film ini menjadi usaha Amanda agar para kaum LGBTQ tetap bangga pada diri mereka sendiri dan mendapat respek dari orang lain. Semoga saja film ini menemukan audiens yang lebih banyak lagi, meski menurut Amanda film ini tidak akan diunggah di Youtube atau kanal virtual lain.

Diskusi singkat mengenai kehidupan dan tantangan yang dihadapi kaum LGBTQ di Indonesia

Melbourne dipilih menjadi kota pertama untuk pemutaran film ini tentu bukan tanpa alasan. Menurut Amanda, masyarakat Melbourne sudah lebih terbuka dengan isu LGBTQ dan beberapa elemen pemerintah pun turut memberi dukungan. Rencananya tahun depan film dokumenter ini akan diboyong ke Kanada dan Amsterdam. “Dokumenter ini dibuat untuk memperlihatkan kepada komunitas LGBTQ di seluruh dunia, bahwa inilah kondisi LGBTQ di Indonesia. Mereka ada dan butuh respek dari semua pihak. Setidaknya, lewat roadshow ini saya juga bisa mendapat pencerahan dan pendapat dari banyak pihak agar turut menolong teman-teman LGBTQ di Indonesia untuk coming out dan menjadi diri mereka sendiri,” ungkapnya.

 

 

 

 

 

 

Apa Kata Mereka

 

Hendri Yulius

Ini sebuah upaya yang bagus. Untuk orang-orang Australia pasti dokumenter ini eye opening karena mereka melihat konteks kultural yang berbeda, perkembangan politik yang beda. Dan tentu pengalaman coming out yang berbeda.

 

Yenni Lim

Job well done! Meski saya tahu ada beberapa persoalan seperti pendanaan dan kesulitan mencari narasumber, tapi Amanda bisa melingkupi greater area, menyentuh banyak perbedaan yang terjadi di Indonesia dan orang bisa melihat kedalaman persoalannya.

 

Vito Mursa

Ini adalah pertama kalinya saya menonton film dokumenter tentang kehidupan LGBT Indonesia yang dibuat oleh orang Indonesia sendiri. Untuk durasi 25 menit, dokumenter ini sudah cukup mencakup semua pihak termasuk dari sudut pandang lesbian yang jarang dieksplorasi, kecuali transgender yang tidak dimunculkan. Sayangnya film semacam ini hanya diputar di Melbourne, semoga saja ada kesempatan untuk diputar di Indonesia, paling tidak untuk mengedukasi publik Indonesia.

 

Hans Peter Herewila

Proud To Be Me is a commendable effort. The documentary captures some raw and honest moments that hits a little close to home. Altough it has minor technical issues, such as translation, editing and sound, that need to be addressed, I really think the documentary should reach a larger audience in Indonesia. I hope Amanda will continue her effort in shining a positive light at he life of LGBTQ  people in Indonesia.

 

 

Deste