Tepat dua puluh tahun yang lalu Indonesia mencatat sejarah penting reformasi yang ditandai dengan turunnya Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Selama itu pula peristiwa 13 – 15 Mei 1998 hingga sekarang masih dikelilingi tanda tanya akan siapa yang bertanggungjawab, mengapa, dan bentuk keadilan apa yang sudah ditegakkan.
Peringatan 20 tahun ini kembali menorehkan luka yang mendalam ketika belasan jiwa dicabut paksa akibat bom bunuh diri yang dilakukan suami-istri dan empat anak mereka di Surabaya, tepat pada 13 Mei 2018. Keesokan harinya, aksi yang sama dilakukan oleh lima orang yang berboncengan dua sepeda motor. Diketahui salah satu dari kelimanya adalah bocah berusia 8 tahun yang harus menjalani perawatan intensif, empat lainnya meninggal akibat ledakan bom.

Forum Masyarakat Indonesia di Australia (FMIA) bersama dengan School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics (LLCL) Universitas Monash bergabung untuk menolak lupa dengan menghadirkan pembicara serta mediator dari berbagai lini profesi untuk ikut memperingati 20 tahun kerusuhan Mei 1998 di kampus Monash pada 19 Mei lalu. Peringatan ini merupakan upaya untuk membangun kepedulian masyarakat terhadap sejarah dan keadaan politik Indonesia meski jauh secara jarak.
Sesi pertama diskusi terbuka mengangkat tema “Kerusuhan Mei 1998 Sebuah Hutang Politik” dan dimoderatori oleh Siauw Tiong Djin, PhD, Chairman Herb Feith Foundation. Narasumber yang turut menuangkan opininya seputar topik ini antara lain peneliti sosial politik Indonesia, Dr Jemma Purdey dan Soe Tjen Marching, PhD – pengajar, penulis, penggiat sosial dan akademisi yang kerap mengedepankan isu-isu seputar gender, politik, dan agama. Karena sedang berada di London, Soe Tjen brmengajak hadirin untuk menolak apatisme ketidaksadaran politik yang secara tidak langsung sudah melukai bangsa Indonesia terlalu lama dan dalam.

Rasa peduli dan ingin tahu tentang keadaan negara sendiri merupakan tahap awal dan utama yang dapat dilakukan warganya untuk menuju kondisi politik yang transparan sehingga nantinya dapat menuntut jawaban dari pemerintah soal keadilan. Pada kenyataannya, kekeruhan informasi mengenai Mei’98 justru telah berdampak membuat peristiwa ini terasa jauh. Maka, para pakar merekomendasikan untuk menggiatkan dialog sehat dimana kesaksian dapat diteruskan secara personal, sedianya kesubjektivitasan nara sumber masing-masing dapat memberikan sudut pandang baru yang berbeda, membuka wawasan kita lebih luas akan eksistensi dimensi-dimensi lain dari peristiwa ini.
Penulis dan peneliti di University of Melbourne Asia Institute yang memfokuskan risetnya pada bidang politik dan sosial kontemporer Indonesia, khususnya mengenai hak asasi manusia, keadilan, dan rekonsiliasi sejarah, Dr Ken Setiawan menjelaskan bahwa kerusuhan Mei’98 bukan hanya dilandasi isu politik, namun sudah mencakup pelecehan ham.
“Dengan menyambung hukum dengan ingatan sosial dan pengetahuan sosial, interpretasi, dan penerapan hukum, akan menyumbang ke masa depan yang lebih cerah dan adil bagi kita semua,” ujar Dr Ken yang turut berbagi kisah yang dirasakan ia dan orangtuanya bahkan sejak pergulingan politik orde lama ke orde baru pada tahun 1965.
Dengan cara yang berbeda, sebagai seorang seniman, Rani Pramesti menolak lupa melalui kreasi artistiknya. Rani melahirkan sebuah karya instalasi bertajuk The Chinese Whispersyang terinspirasi dari pengalaman pribadi sebagai anak keturunan Tionghoa dan Jawa pada masa kerusuhan Mei’98.
The Chinese Whispers merupakan novel grafik yang dapat diakses online secara gratis untuk menargetkan kesadaran publik yang giat online pada era digital ini akan apa yang pernah terjadi di negara kita.
“We cannot heal what we will not face”. “Tidak mungkin memulihkan luka yang tidak mau kita akui,” merupakan inti dari The Chinese Whispers, karya yang sesungguhnya terlahir dari cinta. Cinta untuk Tanah Air Indonesia, cinta untuk seni, dan cinta untuk generasi muda, khususnya generasi muda Indonesia. Rani percaya bahwa bercerita (storytelling) merupakan cara krusial untuk menyampaikan sejarah kepada generasi muda. Kisah pribadi ini akan lebih efisien dalam menghasilkan rekognisi dan koneksi lebih dalam yang lantas diharapkan dapat menimbulkan solidaritas dan kebersamaan.
Menghapus Etnis
Meski tabu untuk dibicarakan, namun sulit untuk dipungkiri adanya ikatan benang halus antara setiap peristiwa besar dengan krisis kepercayaan dan kesenjangan sosial yang mengacu pada sikap rasisme. Dialog ini seakan menjadi pengingat bahwa mencintai Indonesia tidak sama dengan menghilangkan etnis atau budaya yang ada didalamnya. Justru kebalikannya, sebagai bentuk nasionalisme yang baik, sejatinya warga Indonesia dapat saling mengesahkan segala keragaman etnisitas untuk melawan arus kebencian dan kehancuran.
Menurut Siauw Tiong Djin, ledakan rasisme bukan terjadi tanpa pemberitahuan, melainkan sudah berkembang biak dari benih-benih yang ditanamkan sejak lama. Paling tidak inilah yang ia rasakan sendiri. Pengalaman hidupnya ketika harus menerima kenyataan saat harus berpisah dengan sang ayah yang dinyatakan sebagai tahanan politik ini juga dituangkan dalam buku ‘Siauw Giok Thjan, Bicultural Leader in Emerging Indonesia’. Tidak mudah untuk bisa membela Indonesia, terlebih lagi sebagai politisi.
Penulis senior yang juga ialah koresponden majalah TEMPO di Australia, Dewi Anggraeni, turut menyumbangkan suaranya. Dewi menekankan bahwa kelalaian untuk menyadari dan menghadapi kenyataan pahit dan memilih untuk lupa hanya memberikan implikasi bahwa peristiwa ini dapat terjadi lagi.

Dewi menambahkan, ketakutan yang mendarah daging akan perbedaan bukanlah fondasi kesatuan bangsa besar yang kokoh. Ini justru dapat menimbulkan bangsa yang tidak berpendirian hanya karena takut menjadi sasaran.
Edukasi Teknologi
Pada era global seperti sekarang dimana arus ide dan informasi dapat mengalir secara deras, tidak jarang kita temui hoaxatau pemberitaan palsu yang harus dapat ditanggapi dengan bijak. Ini menjadi tantangan tersendiri tatkala erat kaitannya dengan pendewasaan pikiran serta tingkat pendidikan warga yang membaca berita-berita hoaxtersebut.
Di sesi terakhir, diskusi dimoderatori Putu Laxman Pendit, PhD antara narasumber Bonnie Triyana, Pimpinan Redaksi Majalah Historiadan Bela Kusumah Kasim, wartawan dan produser SBS Radio Indonesian Programdi Melbourne dan juga pendiri Aliansi Jurnalis Independen Indonesia cabang Melbourne. Dialog seru tersebut mengupas pandangan hoaxsejarah dalam kaitannya dengan memori kolektif Bangsa Indonesia serta perjuangan kebebasan pers di Indonesia.
Pembicara terakhir yang tak kalah menarik adalah Christianto Wibisono, penggagas majalah TEMPO sekaligus pendiri dan Komisaris Utama Pusat Data Bisnis Indonesia. Lewat video call, pria 73 tahun itu menceritakan pengalamannya ketika memutuskan untuk pindah ke Negeri Paman Sam bersama keluarganya akibat kerusuhan Mei’98. Ia baru kembali ke Tanah Air tahun 2006 silam.
Christianto berharap konflik kenegaraan dapat terselesaikan tanpa memicu hal yang bersifat sara. Menurutnya, musuh asli Indonesia adalah kemiskinan dan penderitaan masyarakat yang seharusnya diperangi bersama-sama sebagai bangsa.
Setiap topik dialog Indonesia Menolak Lupa mengundang pertanyaan dan testimoni menarik dari hadirin yang datang. Ini merupakan bukti kepedulian masyarakat yang penuh harap akan suatu perubahan. Pada akhirnya, demi menggapai tingkat kehidupan yang lebih baik, manusia perlu melakukan penilaian ke dalam, merencanakan ke depan, dan melakukan kebaikan yang ikhlas.
***
APA KATA MEREKA
Felicia Hanna
Sebagai anak yang lahir pada tahun 1998, ini pertama kali saya diceritakan tentang segala sesuatu yang terjadi dan akhirnya terbuka mata mengenai peristiwa ini. Ini membuat saya menghargai apa yang Indonesia sudah perjuangkan, untungnya sudah banyak yang berubah sejak saat itu. Saya sangat bersyukur dengan adanya pejuang-pejuang yang sadar akan masalah ini. Saya juga menjadi sadar akan pentingnya edukasi, dimana semakin kita pintar semakin kita akan sadar tentang apa yang salah dan benar, dan apa yang harus diperbaiki dan diperjuangkan. Saya menjadi sangat termotivasi untuk berjuang dan belajar untuk membangun negara untuk lebih baik lagi kedepannya.
Santi Whiteside
Menurut saya acara ini bagus sekali, mengingatkan saya akan kejadian ini. Saat kejadian ini saya sedang hamil delapan bulan. Setelah adanya berita kerusuhan dimana-mana, suami saya mendapatkan bantuan evakuasi dari tempat kerjanya. Namun, dengan kondisi kehamilan saya menolak dan berkata, “if I die, it’s okay, I’ll die here.” Saya merasa sedih sekali, acara ini sangat brings back memory. Semoga peristiwa seperti ini tidak akan lagi terulang di Indonesia.
Gerardus Suhardjono
Kerusuhan memang tak terlupakan. Momentum penyelenggaraan seminar ini sangat memberi masukan buat kita untuk ikut serta dalam pembentukan pemerintahan NKRI yang tetap Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila. Apalagi dengan adanya kasus-kasus terorisme. Isu sara masih tetap rawan digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu yang haus kekuasaan, dan penjarahan kekayaan alam kita. Jadi kita harus ikut aktif, antara lain, ikut pemilu dan memilih tokoh yang bisa mengubah mental dan karakter rakyat Indonesia.
Asa