Dinamika bertetangga antara Indonesia dan Australia selalu diwarnai fase naik turun. Bahkan banyak pengamat memastikan, dengan kondisi geopolitik saat ini, hubungan politik di level government to government akan selalu memiliki risiko mengalami turbulensi. Hal ini tak luput disinggung dalam sesi diskusi bertajuk “Victoria and Indonesia’s Public Sectors – Working Better Together” yang berlangsung di Treasury Theater, 10 Agustus 2017 lalu.

Digelar dan difasilitasi oleh Institute of Public Administration Australia (IPAA) bekerja-sama dengan Department of Premier and Cabinet, diskusi ini menghadirkan peneliti dari Lowy Institute, Matthew Busch sebagai moderator; para pejabat publik seperti Mahendra Siregar yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Perdagangan Indonesia, Wakil Menteri Keuangan Indonesia, dan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal; Dewi Savitri Wahab, Konsul Jenderal RI untuk wilayah Victoria dan Tasmania; dan Joel Backwell, Excecutive Director of International Education for the Department of Education and Training Victoria. Perbincangan dan tukar pendapat pun berlangsung seru dan sarat dinamika. Tak hanya menyentuh secara khusus pada sektor publik, tapi juga bagaimana seharusnya Australia dan Indonesia memaknai hubungan mereka secara lebih produktif.

Panelis Victoria and Indonesia’s Public Sectors – Working Better Together (dari kiri): Joel Backwell, Dewi Savitri Wahab, Mahendra Siregar, Matthew Busch

Mencari Titik Temu

“Jika melihat hubungan Australia dan Indonesia, termasuk di dalamnya Victoria, dilakukan oleh multistakeholder, multidisiplin, multiaktor, dan multioutlet, hubungan antar pemerintah sudah pasti akan bergejolak. Tapi selama pihak-pihak lain melakukan pekerjaannya dengan baik, seharusnya tidak akan terlalu berdampak. Hubungan antar negara ini sudah cukup dewasa, apalagi jika sudah sampai ke tahap sekarang. Pertanyaannya bukan lagi sudah matangkah hubungan kita, tapi bagaimana kita mengakselerasi, mengkapitalisasi, dan memperbaiki sinergi antar stakeholder ini. Kita butuh koordinasi,” papar Mahendra yang juga disetujui oleh Dewi. Meski begitu Joel Backwell beranggapan sebaliknya, baginya hubungan Australia dan Indonesia belum cukup dewasa karena terjadi dinamika terus menerus. Menurutnya akan sangat sulit membangun momentum jika tidak diiringi dengan stabilitas hubungan kedua negara.

Joel kemudian memaparkan data bahwa hingga 2002 ada begitu banyak sekolah di Victoria yang mengirimkan murid-muridnya ke Indonesia. Begitu pula dengan dirinya yang di usia 15 tahun sempat tinggal bersama keluarga Muslim di Bandung selama bulan Ramadhan dan sempat pula belajar hukum di Universitas Gadjah Mada. “Kemudian bom Bali terjadi. Ada larangan berpergian ke Indonesia. Dan selama 10 tahun, seluruh generasi Victoria dan Australia berhenti ke Indonesia. Kita kehilangan 10 tahun itu,” jelasnya.

Meski begitu, lima tahun belakangan menurut analisisnya, warga Victoria yang mempelajari Bahasa Indonesia mengalami peningkatan. Tercatat sekarang ini ada 65.000 warga Victoria yang mempelajari Bahasa Indonesia, padahal di tahun 2011 hanya 35.000 orang saja.

“Mengapa Indonesia penting? Kita memiliki banyak kesamaan, cinta pada keluarga, makanan dan menghargai keterbukaan. Indonesia dengan populasi besar dengan peningkatan jumlah kelas menengah diprediksi menjadi negara ketujuh terbesar di dunia dalam hal ekonomi di tahun 2030. Sayangnya mayoritas kabar yang beredar tentang Indonesia lebih banyak seputar konflik, fundamentalisme, obat-obatan terlarang, sehingga banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Tantangan utamanya adalah mengkomunikasikan pada komunitas dan menjelaskan pada orangtua, guru, dan kepala sekolah bahwa kedua negara ini punya potensi besar menjadi partner yang luar biasa,” tambah Joel.

“Tugas pemerintah adalah memfasilitasi dan memberi sinyal yang benar, bahwa mereka menyambut para entrepreneur dan techpreneur untuk melakukan bisnis, baik dari Australia ke Indonesia atau sebaliknya. Inilah yang saya sebut dengan upaya mendewasakan hubungan kedua belah pihak,” gagas Mahendra yang melakukan kunjungan ke Melbourne kali ini selama seminggu.

Topik hangat hubungan bilateral kedua negara menyita perhatian peserta panel

Masih Ada Banyak Ruang untuk Berkolaborasi

Menengok secara khusus ke sektor publik, Dewi menyatakan bahwa sudah banyak para pejabat publik (atau disebut dengan istilah ‘pelayan masyarakat’ Indonesia yang belajar di Victoria. Apalagi melihat bagaimana Melbourne berkembang menjadi kota bertaraf internasional. “Saya banyak belajar dari Australia, terutama dalam hal bagaimana mereka terus meningkatkan komitmen mereka untuk masyarakat. Saya pun ketika pertama kali datang ke sini untuk menjabat sebagai Konjen, saya segera berpesan pada staf saya, bahwa sebagai pejabat publik, warga Indonesia harus punya akses langsung ke telepon genggam saya. Jika ada yang tidak puas dengan servis saya, maka dia bisa segera mengirimkan SMS dan saya bisa langsung memperbaiki. Hal ini saya belajar dari para pejabat publik Australia,” terangnya.

Joel menambahkan bahwa ada pula program magang dan jadi sukarelawan bagi para murid internasional di sektor publik. Selain itu rupanya banyak penerima Australian Award yang berasal dari Indonesia yang bekerja di departemen layanan masyarakat di Victoria.

Sedangkan Mahendra menggarisbawahi isu lain. Buatnya sebagai individu, banyak warga Indonesia yang termotivasi untuk datang ke Australia, baik untuk sekolah atau bekerja. Namun, di atas semua itu, yang terpenting adalah pemerintah dan organisasi di Indonesia harus memiliki pemahaman melebihi motivasi individu tersebut. Karena jika tidak, maka motivasi individu tidak akan terpakai secara optimal. “Dengan adanya kolaborasi organisasi yang lebih terstruktur makan hubungan yang terjalin lebih langgeng. Maka krusial dimaknai, mengapa penting membangun hubungan dengan Australia, mengapa penting membangun hubungan internasional dan membuka Indonesia ke interaksi internasional,” serunya.

Ketiga panelis sepakat bahwa kerjasama kedua negara harus terus dipupuk, tentu dengan mempertimbangan banyak aspek dan upaya perbaikan. Dan yang terutama mengkomunikasikan pada publik, mengapa kerjasama Australia – Indonesia harus terus dipelihara.

***

Mahendra Siregar:
Jadi Pejabat Harus Positif 

Sesi diskusi ini dihadiri berbagai kalangan, dari para akademisi, mahasiswa, hingga tentu saja para birokrat serta staf pemerintahan. Ada pernyataan menarik dari Mahendra Siregar yang telah malang melintang sebagai pejabat publik di era kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Ia mengingatkan bahwa sebagai pejabat publik, Anda tidak akan disalahkan jika tidak membuat keputusan dan bahkan ketika tidak berbuat apa-apa. Berkarier sebagai pejabat publik selalu erat kaitannya dengan hierarki dan perasaan dihormati saat mencapai posisi tertentu. Menurutnya, sudah seharusnya para birokrat meninggalkan mindset semacam itu. “Birokrasi yang ada seharusya tidak menghentikan passion kamu untuk mempromosikan dan mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada reformasi dan kemajuan.”

 ***

 

 

Deste