Sebagai bentuk kolaborasi antara Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre dan Monash Library, acara Monash Indonesia Seminar Series kembali diadakan di Louise Matheson Library, Monash University Clayton Campus, pada hari Jumat tanggal 11 April 2019.
Terbuka untuk umum, acara yang rutin diadakan setiap bulan ini menghadirkan berbagai topik untuk dibincangkan dan berbagai pembicara yang berpengalaman dalam topik tersebut.. Untuk kali ini, topik yang dihadirkan adalah “The Memetics of Cerita Silat.”

Professor Edward Buckingham, atau kerap disapa Edo oleh teman Indonesianya, adalah seorang profesor di bidang Manajemen yang juga memegang posisi Director of Engagement di Monash University. Ia juga berpengalaman dengan cerita silat Indonesia dan hadir sebagai pembicara acara, dan Profesor Ariel Heryanto selaku direktur untuk Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre, turut hadir sebagai moderator.
“Meme” dapat disebut sebagai sebuah unit budaya atau perilaku/ide yang dilanjutkan dari satu orang ke lainnya. Edo menjelaskan bahwa teori memetic dapat menggambarkan bagaimana sebuah “meme” dapat ditransfer, dan dengan penelitian ini ia menjelaskan tentang evolusi cerita silat dan perannya dalam pembentukan identitas Indonesia dan komunitas Tionghoa Indonesia.
Untuk mengilustrasikan sebuah “meme”, kegiatan amal. “For simplicity, we can describe these behaviours as charity, in considering a meme. Charity, the act of giving to those who are in need are imitated and replicated behavioural level. By charity in a literary sense can be replicated and propagated to the population only if it is lodged in a story that attract sustained attention. I refer this phenomenon as a literary complex of memes, or a literary memeplex.” Maka sebuah memeplex adalah kumpulan ide yang menyangkut dalam benak masyarakat melalui sebuah cerita yang menarik perhatian, lalu diteruskan ke yang lain.
Edo menjelaskan bahwa cerita silat adalah bentuk sastra yang berevolusi dari sumber-sumber cerita legenda dari Indonesia, India, dan cerita fantasi kepahlawanan dari Tiongkok. Namun sumber cerita yang paling berpengaruh dalam pembentukan cerita silat Indonesia adalah cerita kungfu dari Tiongkok, atau juga disapa Wuxia Xiaoshuo.
Dari yang berhasil sampai ke Indonesia berkat penerjemahan, ia mengidentifikasi tiga figur penting dalam cerita Wuxia Xiaoshuo, yaitu Jin Young (atau kerap disapa Louise Cha), Gu Long dan Liang Yusheng. “To understand Cerita Silat and its literary memeplex better, we need to consider its origin and its memetic bloodline, we can then begin to understand how the environment shaped the formation of this genre,” ujar Edo.
Karya Jin Young, Gu Long dan Liang Yushen sampai ke pembaca Indonesia berkat penerjemahan oleh kaum Tionghoa Indonesia, misal Oey Kim Tiang (O.K.T.) dan Gan Kok Liauw (Gan K.L.). Tingkat kemampuan membaca rakyat Indonesia pada masa kedatangan karya sastra tersebut mempercepat penyebaran ide/konsep dari cerita kungfu dan menjadikan cerita silat Indonesia. “Cerita silat owes a great deal of its memetic legacy to the translators who performed a role in shaping a martial arts fiction genre in Indonesia in terms of plot, language and reader’s expectations,” ucapnya.
Penerjemahan awal cerita kung fu yang dilakukan ke bahasa Melayu dianggap lebih susah dibaca, namun seiring waktu Penulis Indonesia mulai menceritakan kembali dan mengadaptasi cerita kung fu menjadi cerita silat dengan bahasa yang lebih gampang dimengerti, dengan konsep yang lebih meresonansi kepada para pembaca di Indonesia.
Cerita silat pun berkembang menjadi dua aliran yang melekat kepada para pemuda Indonesia, yaitu oleh karya Kho Ping Hoo dan S.H Mintardja. Kedua penulis tersebut pun memiliki nuansa yang berbeda, dengan karya Kho Ping Hoo yang mengangkat cerita berlatar Tiongkok dan karya Mintardja yang lebih berlatar Indonesia.

“Kho was someone who had idealized his heritage in China and naturally his heritage from Indonesia, but S.H. Mintardja lived it. He lived within a stone’s throw of the Keraton walls in Jogja. He wrote lots of opera and people knew him, he oozes ton of social capital. And he represents a bit of a break from everybody else because instead of drawing from Chinese Wuxia Xiaoshuo, he writes his own story,” papar Edo mengenai perbedaan antara S.H Mintardja dengan Kho Ping Hoo.
Karya S.H. Mintardja yang sering mengangkat kisah bangkitnya seorang pahlawan berlatar Indonesia, juga memiliki kemiripan dengan cerita kungfu dari tiongkok. “Written in a serialized form, highly addictive, and we can see these origins [stories] being common, even if they weren’t planned that way, was common to the literature in China. Jin Young when he wrote his books in Hong kong, they were basically done in order to sell the newspaper. That’s why this literary form was done in that manner, like what Jin young had done with Gu long and Liang Yusheng in Hong Kong,” lanjutnya seraya menunjukkan kemiripan dengan, misalnya, karya bernama Nagasasra dan Sabuk Inten, yang juga diterbitkan oleh surat kabar Kedaulatan Rakyat Jogja.
Kho Ping Hoo, seorang penulis keturunan Tionghoa yang sering mengangkat cerita berlatar belakang Tiongkok, pernah mengalami trauma dari kerusuhan rasial di Tasikmalaya pada tahun 1963, dan trauma tersebut dapat dicerminkan dalam karyanya. “The China he writes about, the meme he latches onto, was one that was developed by Jin Young’s Gu Long in the wuxia, and it was the China ruled by the minorities. And we’re not talking about the Europeans. This the China of the Yuan, Ming, Qin Dynasty, where you have foreign minorities/tribes running China …so in Kho’s book he often writes about the Muslims in China that are suffering under the Chinese regime. It’s in a way like turning many of his reader who were Muslim to say, do unto others as you would have them unto you,” tuturnya.
Melalui cerita silatnya, Kho Ping Hoo tak hanya menyampaikan pesan moral tapi juga kritikan terhadap ketidakadilan. “He would put devastating criticism of corruption in his work, injustices and so on. The role of fiction at that time gives them a safe space at that time that they can pass on social commentaries and reach out to young people and propagate those memes in a fashion that is relatively safe,” jelas Edo menunjukkan peran cerita fiksi sebagai sebuah perlawanan.
Edo menyayangkan depiksi Tiongkok dan Tionghoa dalam cerita silat berhenti pada Kho Ping Hoo. Karena karya-karya Wuxia Xiaoshuo mulai dibuat menjadi film-film sukses pada tahun 1990an, kebanyakan orang mulai berpaling kepada film tersebut. “He co-occupied the market representing China to the readers but with the opening of relationship of China with Indonesia, that position was thus taken over by the Jin Young memeplex.”
Cerita silat tetap menjadi sebuah karya sastra yang sangat penting untuk Indonesia karena ada kaum generasi baru yang belajar tentang Indonesia melalui karya sastra. Misal melalui buku Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi, yang juga belajar dari karya S.H. Mintardja. “There’s a new generation of Indonesian who are learning about Gajah Mada not from history books but from what they learned here, so I think it’s significant,” imbuhnya.
***
Apa Kata Mereka
Iwan Awaluddin Yusuf, PhD Candidate Media, Film and Journalism

Saya suka komik, cerita silat, superhero. Ada 2 personal favorit, pertama cerita silat dari Indonesia dan dari luar. Yang luar kita bicara universal superhero. Kalau dari silat Indonesia, saya sukanya Mahesa Jenar dari Nagasasra sabuk inten (karya S.H. Mintardja) karena memang dia merefleksikan seorang pendekar Jawa, pendekar Nusantara yang dia punya semacam kekayaan lokal yang tertuang dalam jurus-jurusnya, tata lakunya, itu yang Indonesia menjadikannya ikon, tapi kalau kita bicara kontemporer sekarang, saya lagi suka Wiro Sableng. Ya karena sama dia merefleksikan Indonesia banget, dan kelucuan – kelucuan yang tidak terlalu serius untuk menceritakan bagaimana dunia persilatan.
Masukan untuk acara ini sih saya berharap menghadirkan lebih banyak pembicara yang tidak hanya peneliti senior tapi juga anak – anak muda, peneliti muda yang juga punya konsep yang sama dengan isu tentang Indonesia jadi kesannya tidak terlalu berat dan akademis banget gitu. Misalnya, komik-komik Indonesia itu sekarang gimana nasibnya. Apakah ada kelanjutan dari kejayaan komik-komi masa lalu. Yang mengikuti fenomena begitu mungkin juga anak – anak muda.
Yacinta Kurniasih, Assistant Lecturer Indonesian Studies & Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre Management Committee member

Jadi ingat masa kecil. Bapak saya itu koleksinya banyak sekali. Kalau cerita tentang hal-hal yang baik suka ajarin, itu semua dari situ. Dari SH Mintardja dan Kho Ping Hoo itu. Kami kan langganan majalah, surat kabar dan lainnya yang dicarikan bagian komiknya ya. Kayaknya itu yang aku rindukan. Saya amati ternyata peran – peran penulis keturunan Tiongkok itu sudah ada sejak dulu dan besar sekali. Menurut saya itu menarik.
Kemudian pelestarian bahasa juga, saya juga amati perbedaan bahasa karena saya linguist, komik jaman dulu dibanding zaman sekarang itu puitis menurut saya. Saya berpikir, dan saya juga promosi juga di kelas saya, misalnya ada ide menarik. Kalau di Jepang, anime itu kan luar biasa, industri film di Korea Selatan atau Amerika serikat, nah kalau di Indonesia ingin menggali dari budaya yang banyak disukai, saya pikir cerita silat ini tampaknya harus kembali diangkat menjadi film untuk mendidik generasi yang sekarang ini. Jadi gak harus dari luar. Tinggal tergantung kreativitas kita bagaimana membawa itu kembali dalam bentuk yang lain.
Denis