Saat Anda mendengar kata “taekwondo”, apa yang muncul di benak Anda? Olahraga bela diri keras yang menguras fisik serta sarat tendangan? Tim Buset juga memikirkan hal serupa tentang ilmu bela diri asal Korea Selatan ini. Tapi sesungguhnya pandangan itu terlalu sempit untuk menggambarkan taekwondo secara utuh. Ada begitu banyak fakta menarik yang mengejutkan saat Buset menemui Arash Mozhdeh di pusat latihan Mozhdeh Martial Arts (MMA) yang terletak di kawasan Altona.

Arash sudah mulai berlatih taekwondo bersama lima saudaranya sejak masih teramat kecil, sekitar usia 4 tahun. Selama 20 tahun menggeluti olahraga ini ia sudah melalui kejuaran demi kejuaran dan dilatih oleh banyak pelatih kelas dunia. Ia juga sempat masuk dalam tim nasional Iran, negara asalnya. Untuk ke depannya, ia tengah fokus membidik Olimpiade 2020 mendatang dengan menjadi kontingen Australia.
Berbekal pengalaman kejuaraan dan mengajar, Arash bersama keempat saudaranya membuka MMA enam bulan lalu. Satu saudara perempuannya masih tinggal di Iran dan menjadi pelatih taekwondo tim nasional Iran. Dimulai dari satu kelas, yakni Olympic Taekwondo, MMA kemudian berkembang dengan membuka kelas Traditional Taekwondo dengan kelas untuk anak-anak yang baru dibuka awal Januari lalu, Fitness Kickboxing, dan Personal Training.
Dalam enam bulan, MMA mengirim tiga muridnya untuk berkompetisi di ajang nasional (seluruh Australia) dan ketiganya mendapatkan medali emas. Arash mengungkapkan ini adalah salah satu pencapaian membanggakan yang didapatnya dan MMA.
Tapi tentu saja olahraga satu ini tak hanya semata-mata memberikan keuntungan bagi kesehatan fisik dan peluang untuk berkompetisi. Ada berbagai fakta yang membesarkan hati, bahwa olahraga ini bisa dilakukan oleh siapapun. Apa saja fakta dan manfaat “tersembunyi” yang ditemukan Buset saat berbincang dengan Arash?
Taekwondo Tidak Mengenal Batasan Usia
Di MMA, mungkin Anda akan terkejut menemui murid berusia 70 tahun masih rajin berlatih. Arash juga mengisahkan ada beberapa anggota yang sudah puluhan tahun tidak berlatih tapi berani berkomitmen untuk mulai berlatih. Di tempat ini rentang usia sekitar 20 anggotanya sangat beragam, mulai dari usia tiga tahun hingga 70 tahun. “Anda juga akan melihat bahwa taekwondo ini merupakan olahraga keluarga. Di sini ada tiga generasi yang ikut bergabung, mulai dari kakek nenek, anak, hingga cucu berlatih bersama,” ujarnya. “Yang terpenting adalah komitmen dan konsistensi,” lanjut Arash. Menurutnya, idealnya olahraga taekwondo dilakukan 3-4 kali dalam seminggu. Ya, seringkali yang membatasi diri kita adalah keraguan kita sendiri.
Memumpuk Kedisiplinan dan Rasa Hormat

Arash menyaksikan banyak perkembangan positif setiap anggota klubnya. “Banyak anak yang pertama kali datang masih malu-malu dan enggan berbaur. Setelah enam bulan berjalan, Anda akan melihat mereka berubah menjadi pribadi yang berbeda, mereka lebih percaya diri.”
Namun Arash juga mengingatkan bahwa rasa hormat kepada orang lain sangat dikedepankan olahraga ini. “Anda boleh saja menguasai banyak skill, Anda mampu menghasilkan tendangan terbaik, tapi jika tidak punya rasa hormat, kamu tidak akan mendapat apa-apa,” ujar Arash mengingatkan. Betul bahwa taekwondo mengajarkan berbagai teknik tendangan, pukulan dan berbagai pola serangan, namun bukan berarti dilakukan untuk menyerang orang lain tapi untuk membela diri jika memang diperlukan. Confident but respectful, kata kunci dari Arash.
Mengajak untuk Kembali Aktif
Salah satu tantangan manusia modern saat ini adalah tetap aktif bergerak. Tidak bisa dipungkiri, kini kita bisa seolah-olah bergerak padahal hanya “bergerak” lewat virtual reality atau menggerakkan jari lewat games pada smartphone. Anda tak perlu repot bergerak membeli makanan atau barang karena sekarang ini ada berbagai aplikasi yang memungkinkan barang diantar hingga ke depan pintu Anda. Belum lagi Anda dikepung oleh makanan siap saji dan beragam snack yang sesungguhnya membahayakan kesehatan. Salah satu misi Arash, ingin mengajak lebih banyak orang untuk aktif bergerak. “Anda bolehlah bermain, tapi jangan lupa untuk belajar, bekerja, dan tentu saja bergerak. Apapun olahraga yang Anda pilih, berusahalah untuk tetap aktif.”
“A Back Belt Is A White Belt That Never Quit”
Entah siapa yang pertama kali melontarkan ujaran di atas, tapi taekwondo sesungguhnya merefleksikan hidup itu sendiri. Arash bercerita bahwa ia sempat didera cidera selama dua tahun lamanya. Dan tahun lalu menjadi tahun pembuktian untuknya bahwa ia tidak menyerah begitu saja. Ia mengikuti training camp di Iran selama beberapa minggu dan berhasil berlaga di Croatia Open dan Greece Open bulan November lalu.
“Saya ingin membuktikan kepada murid-murid saya bahwa saya tidak menyerah. Sama halnya dengan hidup, kita tidak boleh gampang menyerah. Selalu ada momen naik turun dalam hidup. Sama halnya saat kamu gagal saat ujian naik tingkat di taekwondo. Kamu mungkin sudah berlatih dengan keras, tapi kegagalan bisa saja tetap terjadi. Yang terpenting adalah apa yang selanjutnya kamu lakukan, berhenti atau tetap berlatih? Bagi saya, kita harus bersabar dan berusaha yang terbaik. Dan yang terpenting jangan mudah menyerah.”
***
Indira Setiaputri: “Tidak Ada Kata Terlambat untuk Memulai”
Ada banyak aspek yang membuat Indira menekuni kembali olahraga Taekwondo. Semasa SMP hingga SMA ia sempat berlatih taekwondo selama lima tahun lalu berhenti. Dua dasawarsa berselang, ia kembali menjajal bela diri ini di sebuah klub di Melbourne hingga berlanjut di MMA milik Arash.
Ia sempat mencoba beberapa jenis bela diri lain, namun ia kembali pada taekwondo. Menurutnya taekwondo menarik karena ada tahapan lewat belting (sabuk putih hingga hitam) dan memiliki silabus sehingga latihan pun terbilang fokus dan lebih optimal. “Ada pattern bernama poomsae, ada latihan sparing, latihan menendang, memecahkan papan kayu dan yang terpenting adalah elemen self defense yang buat saya esensial, apalagi saya perempuan,” paparnya.
Buatnya tidak ada kata terlambat, asal ada kemauan pasti dengan mudah beradaptasi. “Ada banyak anggapan bahwa taekwondo adalah olahraga yang sangat physical, memang sangat physical jika memang ingin ikut bertanding di kejuaraan nasional. Tapi jika ingin meningkatkan fitness level, kita bisa ikut kelas taekwondo tradisional,” tambah Indira.
Seminggu tiga kali Indira berlatih di MMA. Buatnya jarak yang jauh antara rumah dan tempatnya berlatih – ia harus menyetir sekitar 40 menit – tidak menjadi masalah. Bahkan anaknya yang kini berusia 6.5 tahun sudah berlatih sejak berusia 4.5 tahun. Menurutnya, berlatih bersama anak juga menambah family bonding mereka berdua.
“Untuk kesehatan mental juga sangat bermanfaat. Saya ini sehari-hari bekerja di kantor. Taekwondo bisa menjadi stress relief, memulihkan semangat, dan ajang bersosialisasi. Saya merasa setelah latihan saya lebih bertenaga,” tukasnya. Dengan berbagai tingkat kesibukan yang tentu saja berbeda-beda, tiap orang paling tidak harus menyisihkan waktu untuk diri sendiri, salah satunya dengan berolahraga. Bagi Indira, komitmen dan determinasi sangat vital untuk berlatih taekwondo. Dan menurutnya yang tak kalah penting, semua itu harus dijalankan dengan hati yang senang tanpa beban.
Deste