Di penghujung 2021 kemarin, BUSET diundang ke acara pemutaran film dokumenter “All Circles the Moon and Dirt Shines in the Sun” di North Magdalen Laundry, Abbotsford Convent. Diproduksi oleh kelompok pembuat film indepedenden, Dogmilk Films, film ini adalah hasil karya pertama dari program lintas budaya mereka Sipakatuo, yang bila diartikan dari Bahasa Bugis memiliki makna ‘Saling Menghidupi’.

All Circles the Moon and Dirt Shines in the Sun berdurasi 91 menit dan bercerita tentang kehidupan dan perkembangan di Toraja selama 15 tahun terakhir. Seluruh kilp video yang digunakan dalam film ini berasal dari arsip milik kelompok videografer lokal Delta Sanggala TV (DSTV), yang telah merekam kegiatan di Toraja sejak tahun 2006. Salah satu bagian dari film ini menangkap suasana pemakaman sesuai adat Toraja, dimana almarhum/almarhumah dibaringkan di rumah, bersama dengan keluarga yang masih hidup, hingga keluarga dapat membayar pemakaman yang layak.
Dalam pengerjaannya yang berlangsung selama satu setengah tahun, sutradara Wahyu Al Mardhani dan Chris Cochrane-Friedrich merekonstruksi 4000 klip video milik DSTV menjadi sebuah narasi berdasarkan cerita dan hasil wawancara ketua DSTV, Victor Konda. Rekaman suara yang dipakai juga seutuhnya diambil di Toraja oleh seniman Josh Peters.
Dan yang membuat film dokumenter ini unik, All Circles the Moon and Dirt Shines in the Sun ditampilkan melalui empat layar yang diputar secara bersamaan dan bergantian, sebagai bagian dari satu narasi yang utuh. Keempat layar tersebut juga menampilkan segi pandang yang berbeda dari suatu kejadian yang sama.
Dalam wawancaranya dengan BUSET, Produser Sam Hewison dari Dogmilk Films berbagi cerita tentang pembuatan film ini serta harapan Sipakatuo untuk kedepannya.
BUSET: Hai Sam, cerita dong, bagaimana produksi film ini dimulai?
Sam: Jadi kami, team produksi dari Dogmilk, bertemu dengan DSTV untuk pertama kalinya di tahun 2017. Saat itu, kami sedang merekam video prosesi adat di daerah Toraja dan setiap kalinya kami selalu berpapasan dengan anggota tim DSTV yang sedang merekam event yang sama. Karena sering berpapasan, akhirnya mereka mendatangi kami lalu bertanya “Kalian berasal dari mana?”, “Sedang apa disini?”, “Sedang merekam video apa?”, “Kamera jenis apa yang kalian gunakan?”, “Apa sih editing software yang kalian pakai?”. Jadi awal persahabatan kami dimulai dari ketertarikan bersama dalam pengambilan video.
Seiring berjalannya waktu, kami menjadi sangat akrab dengan DSTV, sehingga pada tahun 2019, mereka mensponsori Visa Jurnalistik kami untuk kembali ke Toraja. Kami disambut ke rumah mereka dan kami pun bekerja sama selama dua bulan. Setelah itu, karena kami belum bisa kembali ke Toraja, kami melanjutkan persahabatan ini dengan membuat sebuah film dari video-video yang terkumpul.
B: Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat film ini?
S: Jadi kami sendiri sudah mendokumentasikan kegiatan di Toraja selama empat tahun, tetapi seluruh rekaman yang ada di dalam film berasal dari arsip milik DSTV. Mereka sudah merekam video sejak tahun 2006, jadi klip tertua yang ada di film ini adalah dari 15 tahun yang lalu. Dalam produksi, kami menonton semua rekaman yang ada, menyeleksinya lalu merekonstruksikannya menjadi sebuah naratif.
Q: Dari seluruh daerah di Indonesia, mengapa memilih Toraja? Apa yang membuat Toraja unik?
A: Ketika sutradara kami Chris menghadiri upacara pemakaman kakeknya, ia bertanya-tanya apakah ada cara lain untuk ‘merayakan’ kematian dalam budaya yang berbeda. Toraja sendiri terkenal dengan upacara pemakaman dan ritual kematiannya yang khas, karena itulah Toraja menjadi tujuan pertama kami.
Ketika akhirnya tiba di sana, kami kagum atas kekompleksan, begitu bergairahnya suasana Toraja. Penduduknya sangat ramah, ditambah lagi dengan pemandangannya yang begitu indah, betul-betul seperti hadiah untuk kami para pembuat film.
B: Siapa yang mencetuskan ide menampilkan film ini lewat empat layar?
S: Judul karya ini adalah All Circles the Moon and Dirt Shines the Sun, dalam Bahasa Toraja berarti Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari Allo’. Karena sifat jamak dari Bahasa Tojara Kuno, kami ingin memasukan gagasan pluralisme dan multiplisitas terjemahan ini ke dalam film itu sendiri. Jadi keempat layar yang kami pakai merepresentasikan beragamnya interpretasi atas suatu peristiwa, juga berbagai perspektif yang ada ketika mengalami suatu waktu dan tempat.
Selain itu, karena banyaknya klip hasil pengumpulan oleh DSTV, kami merasa bahwa penggunaan empat layar akan sangat membantu dalam menghasilkan sebuah naratif yang kaya.
B: Untuk Sam secara pribadi, apa sih kesan yang kamu dapat dari para pembuat film asal Toraja?
S: Mereka sangat murah hati, betul-betul videographer yang sangat berbakat. Mereka bekerja sangat keras dan memiliki mata sinematik yang indah. Mereka memiliki dorongan untuk mengambil gambar yang sangat besar, seperti harus syuting sepanjang waktu. Kalau kalian ada waktu, boleh kunjungi kanal YouTube mereka, yaitu Toraja Unik, dimana kalian bisa melihat aktivitas mereka dan video-video tentang Toraja lainnya.
B: Bagaimana film ini dapat berkontribusi untuk Toraja dan Victoria?
S: Idenya adalah untuk membangun jembatan budaya dan kreativitas antara teman-teman di Melbourne dan di Sulawesi Selatan. Kami telah belajar banyak dari teman-teman pembuat film di Toraja dan Makasar. Kami harap mereka juga telah belajar banyak dari kami. Persahabatan yang kami jalin betul-betul didasarkan oleh pertukaran ide yang positif, sehingga kami harap film ini boleh menjadi hasil yang pertama dari banyak film, dan menjadi bukti konkrit terjalinnya persahabatan yang saling menguntungkan bagi pembuat film muda asal Australia dan Indonesia.
B: Bagaimana cara kami menonton film ini selepas screening yang kalian adakan di Melbourne?
S: Saat ini kami belum memiliki rencana untuk menampilkannya lagi, terlebih karena pengaturan dan kebutuhan teknisnya yang cukup rumit (empat layar). Tetapi kami berharap dapat segera menampilkannya di Makasar dan Toraja, juga di kota-kota lain di Indonesia dan Australia. Kami juga akan mengirimkan karya kami ke beberapa festival seni budaya dan berharap yang terbaik.
Kontributor dalam film ini:
Directed & Edited by Wahyu Al Mardhani & Chris Cochrane-Friedrich
Sound by Josh Peters
Produced by Sam Hewison
Research & Translation by Afifah Tasya
Images by DSTV: Victor Konda, Egy Tonapa, Paul Tandiayu, Edwar Kevin Ada, Arnold Sirenden Souisa, Arnold Tappe, Efrendi Mantung, Avner, Gusto Setiadi, Rakhuelo Gutenz Konda
Assistant Editing by Irfan Ashar Pratama
Website by Declan O’Hara
Assistant Translation by Alif Imam Dzaki, Ari Pailan
Photography by Thasya Azzahra Syah
Design by Cosmo Feltham
Kata Mereka tentang All Circles the Moon and Dirt Shines the Sun:
Cian O Malley, dari Irlandia

“I felt privileged and thankful that this community had shared their lives and experiences with me in such intimate detail. Seeing a complete spectrum of this community’s lives from quotidian chores to funeral rites and treatment of death was quite profound.
While many aspects of their lives was understandably different it was beautiful to see how these people and I were alike in many respects. It gave me a deep appreciation of how we as humans operate on a fundamental level and interact with each other to form societies.”
“Saya merasa sangat teristimewa dan bersyukur diberi kesempatan untuk mengenal kehidupan dan pengalaman komunitas ini dengan sangat detail. Melihat spektrum lengkap kehidupan komunitas ini, dimulai dari tugas harian, hingga upacara pemakaman dan perawatan untuk almarhum/almarhumah memberi efek mendalam untuk saya.
Walaupun banyak dari aspek kehidupan mereka yang sangat berbeda, saya mengamati juga banyaknya kesamaan diantara kami. Film ini membuat saya mengapresiasi secara mendalam, bagaimana kami sebagai manusia beroperasi pada tingkat fundamental dan berinteraksi satu sama lain di dalam masyarakat.”
Tessa, dari Irlandia
“A beautiful documentary in the truest sense of the term. The layered audio helped the film feel more intimate. I’ve been reflecting on beliefs traditions and understandings of being with death since the screening, what a beautiful piece of art that gives me space to do that.”
“Sebuah film dokumenter yang indah dalam arti sebenarnya. Audio berlapis yang diterapkan membuat film ini terasa lebih intim. Saya telah merenungkan tradisi kepercayaan dan pemahaman tentang kematian sejak pemutaran film. Karya seni yang sangat indah, yang memberikan saya ruang untuk melakukan hal ini.”