Seperti yang pernah saya bagikan di beberapa kesempatan, salah satu kasus yang lebih pelik buat diurai ialah manakala terkait dengan urusan perasaan. Perasaan dimaksud ialah yang terkait dengan urusan asmara bin percintaan. Sejarah dari aneka budaya, kita bisa ikuti ketika berurusan dengan perasaan cinta dan/atau benci maka semua pihak tak terkecuali bisa terkena. Betapa sang Kaisar, Raja, Pahlawan sampai ke pengangguran dan gembel pun bisa terkena urusan tersebut. Bahkan sosok pemuka agama dan orang spiritual pun tak kebal dari kemungkinan terkena imbas urusan percintrongan (istilah jadoel untuk “asmara”)!
Akhir Maret kemarin, di media masa heboh oleh pemberitaan turunnya seorang pemimpin dari sekte agama (organised religion) dengan pengikut ratusan juta di seluruh dunia. Pasalnya ia terlibat dalam skandal percintaan. This is not the first case and am sure we will hear others similar cases in the future.
Beberapa tahun lalu, dunia per feng shui an di tanah air pun sempat geger karena ada master sohor yang tersangkut urusan love – affair – hate.

Finger crossed, with our own best efforts and good actions, dan dibantu dengan Heaven’s protection and blessing, semoga kita semua senantiasa dianugerahkan dengan keberuntungan dalam hubungan kasih sayang.
Sekarang, sedikit yang membahas mengenai konsep hubungan dalam budaya Tionghoa. Hubungan yang dimaksud tentunya adalah dalam konteks pernikahan. Salah satu prasyarat utama dan penting ialah adanya kecocokan energi kedua mempelai; yakni ba zi yang 合 (klop) menjadi sesuatu yang kudu (bahasa Londo nya untuk “mesti”). Tanpa adanya 八字合 (kecocokan ba zi) maka kemungkinan besar sebuah pernikahan tidak akan terjadi.
Kalau teman-teman ada waktu dan berminat; silahkan beranjangsana ke Musium Tionghoa di Taman Mini di Jakarta, di sana jelas di display kan mengenai objek-objek penting yang jadi persyaratan pernikahan tradisionil Tionghoa; salah satu nya ialah ba zi report kedua mempelai yang 合 (compatible)!
Faktor dan atau persyaratan penting lainnya ialah konsep “门当户对” yang secara literal bermakna “matching doors and parallel windows.” 门当户对 (méndānghùduì) ini maksudnya sebuah pernikahan akan lebih mudah untuk berhasil manakala kedua mempelai adalah diantara dua pihak yang setara socioeconomic, educational standing. Masalah kesetaraan penampilan (looks) juga adalah tak bisa diabaikan.
Filosofi-filosofi di atas tentu tidak semudah (seperti era silam) untuk diaplikasikan. Faktor sebagian dari keturunan Tionghoa yang sudah tidak tahu atau sudah sama-samar dengan budaya leluhurnya sendiri; karena masalah kepercayaan yang dianut; dan tentunya karena aspek usia dan pengalaman hidup.
Coba saja sampaikan ini ke kaum remaja dan atau orang yang lagi dimabok kasmaran; kemungkinan besar mereka akan menaifkan bahkan menertawakan. Kuno lah! Non sense lah! dan aneka lines yang intinya menyepelekan dan atau bahkan juga menertawakan. Until one day setelah rumah tangga / hubungannya mengalami tsunami. Barulah akan melek bahwa urusan rumah tangga bukan sekedar masalah cinta saja; kasih dan sayang pun masih memerlukan bread and wine (baca: urusan finansial, dan banyak hal lainnya)!
Informasi yang dijabarkan di atas pun kebanyakan mendapatkan sanggahan dari pihak lain, yang mungkin karena beragam faktor adalah punya subjektivitas terhadap yours truly. Akhirnya, prinsip nya jadi yang penting shot the messenger saja; tidak peduli dengan informasinya!
Kalau ke yang karakternya bak “kamfret” (meminjam terminologi di NKRI Pancasila-UUD45 Harga Mati); suer owe (saya) tidak pusingin dah, cara berpikir dan otaknya serta kelakuan para kamfreters memang beda. Perhatikan saja perilaku sosok-sosok di NKRI yang tak suka ke Presiden dan pemerintahan; jadinya apapun selalu negatif tanggapannya!
Kembali ke konsep hubungan dalam budaya Tionghoa. Kalau diperluas, bukan semata dalam konteks sebuah pernikahan. Dalam interaksi sosial pun sama. Konsep méndānghùduì (门当户对) pun penting. Bukankah dalam budaya lain pun ada istilah “Birds of a feather flock together!” Jadi kita tidak bisa menyepelekan atau menganggap tidak ada pengaruh dari méndānghùduì.
Tanpa melibatkan banyak emosi, dan tambah banyakan objektifitas serta kejernihan nalar, plus keberanian untuk jujur ke diri sendiri; coba perhatikan dalam kelompok perkawanan, perkerabatan, dan sebagainya. Bukankah dengan mudah kita dapatkan adanya sosok-sosok yang ibaratnya hanya sekedar jadi dayang-dayang atau pesuruh atau pelengkap penderita saja dalam klub / komunitas / tribe nya! Nah kebanyakan ini bisa karena faktor timpangnya sikon yang bersangkutan dibanding peers nya. Pada akhirnya ya seakan / merasa “match / fit” tapi sebenarnya “doesn’t belong.”
Tentu kita semua beda menyikapinya fenomena “fit BUT NOT belong.” Ada yang hepi-hepi saja dengan sikon begitu; meski sekedar jadi “Office Boy” dan atau sejenisnya yang penting bisa masuk dalam kelompok. Atau ada yang sebenarnya sadar dan merasa ga nyaman, tapi karena beragam faktor (kebutuhan) maka tetap tahan tahanin diri untuk tetap in the pack!
Hence, aspek kesetaraan dalam interaksi antara manusia ialah bukan hal sepele; kecuali kalau kita baik-baik saja lalu mendapat perlakuan yang tidak adil, kita terima-terima saja dijadikan objek pelengkap penderita, buat bahan bebodoran, untuk dikacungin, dikorbankan dan aneka tindakan yang tidak bikin nyaman!
Ini mengapa masalah kesetaraan kekuasaan dalam interaksi antara pasangan, antara sesama manusia adalah penting dan menentukan apakah kita menerima sikap yang bagaimana dari orang lain. Adalah tergantung dari diri kita sendiri juga untuk memilih dan bersikap; mau atau tidak terima. Oleh karenanya, lebih perhatikan lah bagaimana kita mentolelir sikap orang lain ke kita; karena kita sedang mengajarkan orang lain untuk bagaimana memperlakukan kita!
Dalam beberapa kesempatan saya harus bilang: “silahkan kalau kamu selalu memperlakukan orang dengan semena-mena dan penuh ketidakadilan; tapi tolong jangan mimpi bisa memperlakukan itu kepada diri saya, karena kakanda / adinda lah yang akan kecele dan kecewa!”
Yang juga penting, semuanya berawal dari diri kita juga. Kita harus ramah, terbuka dan baik ke orang lain. Kalau setelah itu, sikap baik kita disalah-tafsirkan atau mau dimanfaatkan maka jangan sungkan untuk bersikap tegas dan mengambil tindakan! Dalam hidup, kita harus juga bisa enak hati!
Jangan melakukan hal-hal yang kita tak mau hal-halnya dilakukan oleh orang lain ke kita…semua orang di empat samudera dan sepuluh penjuru angin adalah teman kita, TAPI jangan lupa pula untuk menjaga diri dan kepentingan kita sendiri! Tutur kata dan perilaku yang beretika memang bisa bantu kita menavigasi hidup, tapi jangan naif pula bahwa mengira cara tadi ialah satu-satunya cara; Justru ada kalanya kita perlu pula bisa tegas dan keras untuk mensiasati hidup!
Inilah kenyataan yang sudah bermilenia dipertontokan oleh Mother Nature (yang tak selalu nyaman; kadang terjadi tsunami, banjir dan gampa bumi); hal yang juga sudah beribu tahun diingatkan oleh ajaran-ajaran agama bahwa ketika kita melakukan kebaikan maka ada surga menanti, lakukan sebaliknya maka ada neraka menunggu. Banyak co ho sim (berbuat kebaikan) maka lebih akan ketemu Dewa/i; banyak co huai sim (berbuat kejahatan) maka lebih mungkin akan ketemu Giam Lo Ong!
Suhana Lim
Certified Feng Shui Practitioner
0422 212 567 / suhanalim@gmail.com
Semoga kita semua senantiasa sehat walafiat fisik dan psikis; semoga kita semua blessed dengan relationship luck! 天公保护平安 (May Heaven Always Protect and Peaceful be with You)!