AIBC (Australia Indonesia Business Council) bersama dengan IABC (Indonesia Australia Business Council), Konsulat Jenderal RI untuk wilayah Victoria dan Tasmania, BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dan Pemerintah Victoria turut mengundang Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk datang di acara bisnis forum yang bertemakan Opportunities between Yogyakarta and Victoria in Knowledge Based and Creative Industry Sectors.
Acara yang dihadiri para pebisnis asal Australia dan beberapa warga Indonesia yang tinggal di Victoria itu dimulai dengan kata sambutan oleh Murli Thadani, Chairman AIBC, kemudian disusul dengan pidato singkat dari Sri Sultan Hamengkubuwono X yang didampingi dan diterjemahkan oleh Konsul Jenderal RI di Melbourne, Dewi Savitri Wahab.

“Kami mencoba membangun kerjasama di bidang pendidikan dan kebudayaan, karena sudah beberapa kali kita diundang untuk dialog budaya dan pendidikan, dan Victoria leading di sector itu. Bagi kami hal ini juga sesuatu yang sangat penting, karena bagaimana pun kami ingin kampus-kampus di Jogja itu tidak hanya milik pemerintah, namun juga swasta, membangun sinergi. Karena yang namanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita harus membangun kebersamaan. Meningkatkan sumber daya manusia, tidak hanya mahasiswa tetapi juga dosen-dosen, sehingga semua bisa belajar,” papar beliau mengenai tujuan kerjasama yang terjalin antara Yogyakarta dengan Victoria.
Bicara mengenai kebudayaan, Sri Sultan berharap dapat terjadi dialog serta transformasi budaya. Sebab, menurut beliau, budaya tidak stagnan melainkan dinamis, dan selalu bergantung kepada generasinya yang menciptakan budayanya sendiri. “Karena bagi saya akan terjadi modernisasi, tapi modernisasi itu kan sikap dalam pola pikir, kita harus bisa bedakan mana modernisasi dan western-isasi. Tantangannya adalah bagaimana bisa merebut ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk mempunyai daya saing.”
Seperti yang diketahui, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi sehingga kerap disebut sebagai kota budaya, kota pendidikan, city of tolerant dan sebagainya. Pada tahun 2014, terdaftar sebanyak 118 lembaga pendidikan, baik dalam tingkat universitas, institusi, maupun akademi.
“Selain itu, jumlah mahasiswa yang ada di Yogyakarta, baik asing maupun lokal, mencapai lebih dari 300ribu mahasiswa. Dan dengan jumlah tersebut, masyarakat kecil di Jogja mendapatkan pendapatan yang jauh lebih besar daripada 300ribu wisatawan asing yang berkunjung ke Jogjakarta,” tambah pemimpin kerajaan Yogyakarta tersebut. Beliau menjanjikan, pemerintah daerah secara konsisten membantu para anggota dari lembaga pendidikan, bagaimana bisa meningkatkan kapasitas, meningkatkan mobilitas dan sumber daya manusia untuk bisa memberikan nilai tambah, tidak hanya di Jogja tetapi juga untuk investasi sumber daya manusia Indonesia sendiri.
Perihal pengaruh nilai-nilai asing di wilayahnya, Sri Sultan mengatakan, “saya juga mengetahui banyak pengusaha dari Australia di Jogja. Mereka memiliki industri, buka toko roti dan rumah makan. Demikian juga di sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), kerajinan dan sebagainya. Saya berterimakasih, bukan masalah terjadinya dominasi asing di Jogja, tetapi justru menumbuhkan kreatifitas baru dalam dinamika produk-produk di sektor industri kreatif di Yogyakarta.”
Beliau sempat menceritakan mengenai produk animasi yang sedang naik daun, seperti contohnya perusahaan game developer terkemuka Gameloft asal Perancis turut membuka kantor cabang di Yogyakarta dengan merekrut developer lokal dalam pembuatan produk game mereka. Menurut penelitian, Yogyakarta merupakan pengguna komputer tersbesar di Indonesia, termasuk produk-produk sumber daya manusia di bidang teknologi dan animasi banyak yang berada di sana. Tidak ketinggalan, jumlah hacker yang cukup banyak juga ada di Yogyakarta.
“Saya punya pengalaman, kebetulan hacker-hacker itu adalah teman anak saya yang juga bergerak di bidang Teknologi Informatika. Daripada jadi hacker, akhirnya saya undang ke kantor, mereka bersedia, dan dari hacker-hacker itu kami fasilitasi menjadi 83 perusahaan baru, dimana kami lalu kerjasama dengan Telkom untuk menjadi inkubator, untuk membuat produk-produk animasi.” Beliau pun membangun studio untuk mereka yang mempunyai latar belakang animasi dan sebagainya, tetapi tidak mempunyai studio. Jadi mereka bisa menggunakan studio milik pemerintah didalam kegiatan produksi.

Pengalaman tersebut merupakan salah satu contoh investasi yang dapat dilakukan di DIY. Kebijakan dari pemerintah Yogyakarta juga tidak akan mudah berubah karena tidak ada pemilihan gubernur, sehingga memberi kepastian bagi para calon investor dalam proses investasi. “Saya dapat arahkan investasi untuk apa yang kompetitif, dan jika ada masalah, saya mungkin bisa bantu,” ujar Sri Sultan.
Pertemuan hari itu lalu ditutup dengan penandatanganan kerjasama Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Victoria, yaitu dalam bentuk peresmian jalinan antara Aptisi (Asosiasi Perguruan Swasta Indonesia) dan Acpet (Australian Council for Private Education and Training) yang disaksikan Sri Sultan Hamengkubuwono X, Presiden IABC Yogyakarta George Marantika, Presiden AIBC Victoria Murli Thadani, Duta Besar Indonesia untuk Australia H.E. Nadjib Riphat Kesoema.
sasha
foto: rr