Melbourne menjadi tuan rumah konferensi AIDS se-dunia Juli ini. Konferensi yang diselenggarakan pada 20 hingga 25 Juli ini membahas secara detail mengenai penyebaran, penanggulangan serta perkembangan kasus HIV melalui sidang pleno yang dihadiri oleh para ilmuwan, aktivis, perumus kebijakan bahkan penderita HIV dari seluruh dunia.
Konferensi AIDS Internasional yang mengambil tema “Stepping Up The Pace” menunjuk Melbourne Convention and Exhibition Centre yang terletak di seberang Crown Casino and Entertainment complex sebagai tempat pelaksanaan. Dengan area yang luas, pengunjung dapat menemui puluhan tenda informasi dari para exhibitors seperti National AIDS Council Zimbabwe, National Association of People with HIV Australia, Sedia Biosciences Corp dan masih banyak lagi.
Seperti yang diketahui, penyebaran HIV sangat erat kaitannya dengan kelompok LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender). Inilah mengapa banyak lembaga HIV/AIDS yang mulai mendekatkan diri dengan organisasi LGBT untuk memberi penyuluhan dan mendukung gaya hidup yang sehat.
Pengakuan dan Harapan Dede Oetomo
Dari Indonesia, selain Baby Rivona dan Ayu Oktariani, Dede Oetomo yang ialah pendiri sekaligus Pembina GAYa Nusantara (GN, www.gayanusantara.or.id) – organisasi homoseksual di Indonesia – dipastikan akan datang menghadiri Konferensi AIDS Internasional 2014.
BUSET sempat bertegursapa dengan Dede seputar komunitas LGBT di Indonesia. Dede menyebutkan bahwa identitas homoseksual telah muncul di kota-kota besar Tanah Air sejak awal abad ke-20 dan sekitar tahun 1960, mulai muncul organisasi LGBT yang dimotori kelompok wanita transgender yang kini dikenal sebagai waria.
Lebih lanjut, melalui Ikhtisar Eksekutif Laporan LGBT Nasional Indonesia (UNDP-USAID, 2014) yang dikirimkan oleh Dede, menyatakan adanya pengakuan dan dukungan bagi LGBT dari sejumlah komisi nasional demi mencegah penyebaran HIV yang mulai marak sejak 1990an. Perkembangan LGBT dinilai pesat setelah peristiwa 1998 yang membawa perubahan drastis pada sistem pemerintahan Indonesia. Kendatipun, hingga saat ini “secara umum pihak kepolisian gagal melindungi kelompok LGBT dari berbagai serangan.”
Tak bisa dipungkiri, masih banyak masyarakat Indonesia yang justru menganggap LGBT sebagai humor. Bahkan banyak aktor yang sengaja berlaga sebagai wanita karena bisa menaikkan populartiasnya. Dede sendiri mengamini fenomena tersebut. “Ini khususnya berkaitan dengan waria dan laki-laki yang feminim. Di satu pihak ini menunjukkan masyarakat pada level kehidupan nyata bisa menerima waria dan gay feminin, tetapi asal bukan kerabatnya sendiri. Dalam hal ini kelihatan menduanya masyarakat, serta homo- dan transfobianya.”
Dede sendiri adalah seorang gay berusia 61 tahun yang mulai mengakui identitasnya kepada keluarga dan teman-temannya – atau yang biasa diistilahkan ‘coming out’ – antara tahun 1979-1980. Sebelumnya Dede remaja dibingungkan tentang orientasi seksual dirinya sendiri. Sejumlah psikolog dan psikiater terkenal di Indonesia kala itu telah ditemuinya namun Dede tetap belum bisa mengerti mengapa ia berbeda dengan pria lainnya.
September 1978 Dede berangkat ke Negeri Paman Sam untuk studi di Cornell University, New York. Di sana ia pun sambil mencari-cari jati dirinya dengan membaca buku. “Seluruh rak waktu itu penuh buku tentang homoseksualitas. Aku baca hampir semuanya,” ujar Dede yang lalu merasa yakin tidak ada yang salah dalam diri seorang gay.
“Coming out-ku di Amerika itu seperti tsunami. Kebetulan waktu itu Natal, aku mengirimkan kartu Natal ke seluruh penjuru dunia pada orang-orang yang kukenal dan kutulis: ‘I am happy now because I am finally courageous enough to tell you that I am gay.’”
Menyinggung tentang penolakan keluarga terhadap LGBT sebagai bagian dari keluarga mereka, terlebih lagi terkait dengan norma sosial dan agama, Dede menjelaskan, “keadaannya sebetulnya beragam. Ada yang tidak dapat menerima, tetapi ada juga yang dapat menerima. Sudah mulai ada ulama yang menggunakan pendekatan humanis dan menyatakan bahwa agama Samawi pada hakikatnya tidak menentang homoseksualitas dan transgenderisme. Dalam gerakan tentunya kita mendekat ke tokoh-tokoh seperti ini, sebut saja Prof. Siti Musdah Mulia, Pdt. Stephen Suleeman, Pdt. Ester Mariani Rihi Ga dan beberapa lagi. Saat ini banyak (calon) ulama muda yang nantinya akan ikut meramaikan wacana keagamaan. Jangan lupa juga bahwa ada keluarga dan anggota masyarakat yang sekuler dan liberal.”
“Pada peringkat individu dan keluarga, harapan saya ada keberanian untuk mendobrak kebekuan konservatif yang heteronormatif serta hampir terobsesi dengan kehidupan berkeluarga heteroseksual dan prokreatif. Pada peringkat kelembagaan, ada keberanian dari pendidik, politikus dan lain-lain yang mendengarkan denyut nadi masyarakat untuk tidak melestarikan status quo yang menyesakkan kita yang berbeda dari kehendak status quo itu,” lanjut Dede.
Menghadiri Konferensi AIDS Internasional XX, bagi pria kelahiran Pasuruan, Jawa Timur ini merupakan bagian penting untuk menambah wawasan yang dapat diterapkan melalui GAYa Nusantara. “Untuk saya, khususnya sebagai aktivis gay, ada terobosan dalam pencegahan dan pengobatan bagi gay dan waria, yang di banyak negara masih menjadi kelompok yang paling banyak tertular HIV sementara sumber daya untuk pekerjaan itu masih minim. Selain itu, saya mengantisipasi akan ada penggarisbawahan lagi terhadap faktor-faktor nonbiomedis seperti HAM, kenikmatan seksual dan sebagainya yang menciptakan kondisi yang kondusif untuk pekerjaan itu.”