Angkat tema gender dan seksualitas di Indonesia – koleksi seni kontemporer ‘#Perempuan 2021’ hadir di museum Australia

Seni kerap menjadi jembatan yang menghubungkan budaya antar negara. Tak hanya itu saja, seni, khususnya seni kontemporer, bahkan mampu menjalin dialog dan komunikasi lintas negara melalui tema-tema yang diangkat oleh para senimannya.

Koleksi ‘#Perempuan 2021’


Di bulan Maret tahun 2021 ini, Project 11 bekerjasama dengan Castlemaine Art Museum untuk memamerkan koleksi karya seni kontemporer berjudul ‘#Perempuan 2021’. Koleksi yang mengangkat isu gender, seksualitas, aktivisme, dan feminisme di Indonesia ini merupakan karya dari 8 seniman asli Indonesia – Arum Dayu, Citra Sasmita, Fitri DK, Maharani Mancanagara, Maria Indriasari, Patricia Untario, Ruth Marbun, dan Octora.

‘Kapan Nikah?’ dan kondom dari kaca

Layaknya karya seni kontemporer pada umumnya, karya-karya di koleksi ‘#Perempuan 2021’ masing-masing mengusung topik yang spesifik. ‘Kapan nikah’ dari Arum Dayu contohnya, mewakili kekesalan sang seniman akan pertanyaan tersebut yang sering ditujukan kepada dirinya maupun sebagian besar wanita dewasa di Indonesia. Dalam karya seni fotonya, seniman yang berdomisili di Jogjakarta itu berpose dalam pakaian pernikahan tradisional adat Jawa bersama dengan 4 pria yang berbeda.

Kapan Nikah by Arum Dayu



Ada pula ‘Silence’, karya seni berupa 84 kondom terbuat dari kaca oleh Patricia Untario yang mengacu kepada minimnya pendidikan seks (sex education) di Indonesia. Judul ‘silence‘ atau kebisuan juga dipilih oleh Patricia mengingat wanita Indonesia yang kerap tidak memiliki hak atas kesehatan reproduktif mereka. Ditambah lagi, keputusan untuk berhubungan intim dengan atau tanpa proteksi masih berada di tangan para pria. Maka ‘Silence’ mengesankan kebisuan wanita dalam menentukan pilihan mereka dalam hal reproduktif.

Silence by Patricia Untario

Angkat bicara mengenai kesetaraan hak dan isu perempuan di Indonesia

Menyinggung isu kurangnya kesetaraan dan perlindungan hak-hak perempuan di Indonesia, seniman Citra Sasmita menuangkan konsep tersebut dalam lukisan di atas kain berjudul ‘Timur Merah Project: Embrace of My Motherland‘. Lukisan dinding yang penuh dengan gambaran fantastis wanita sebagai pemeran utama itu merupakan upayanya untuk menchallenge norma dimana kebanyakan narasi selalu menjadikan pria sebagai figur utama. Dengan nada yang sama, Fitri DK di karyanya ‘Stronger Together‘ juga memilih medium kain untuk melukiskan perjuangan para wanita Indonesia dalam meraih kesetaraan hak mereka.

Tak hanya isu sosial, politik dan budaya yang berkaitan dengan para wanita, ‘#Perempuan 2021’ turut mengangkat isu-isu pribadi yang dialami oleh wanita dalam level personal. Karya berjudul ‘post-partum Syndrome: Sunk‘ oleh Maria Indriasari contohnya. Karya yang berwujud boneka kain dengan tubuh dipenuhi oleh peniti itu menggambarkan sentimen, perasaan dan rasa sakit wanita ketika baru melahirkan.

Wanita Indonesia di mata pria asing juga kerap menjadi obyek seksual yang eksotis. Topik ini diusung oleh Octora, seniman Indonesia berdomisili di Australia melalui karya ‘Take my heart in sweet surrender and tenderly say that I’m the one you love and live until the end of time‘. Karya unik itu berbentuk kereta kematian dari era Victoria yang bagian tubuhnya terbuat dari kaca transparan dimana dalamnya diisi oleh beberapa lukisan potret dirinya sebagai wanita Bali.

Ruth Marbun dalam karyanya ‘One in a million‘ juga merupakan depiksi sang seniman mengenai gambar dirinya. Terakhir karya Maharani Mancanagara berjudul ‘The Patron‘ berbicara mengenai sistem pendidikan di Indonesia yang kaku dan cenderung mengindoktrinisasi.

Jadikan seni sebagai jembatan komunikasi dan diplomatik antar negara

Pameran koleksi ‘#Perempuan 2021’ di Castlemaine Art Museum ini adalah bagian dari acara Castlemaine State Festival yang diadakan setiap tahunnya. Hadirnya koleksi seni Indonesia di acara lokal Victoria menjadi bukti penting bahwa Australia mengakui Indonesia sebagai tetangga dekatnya dan kini melalui seni mereka dapat saling berkomunikasi.

Foto bersama tim Project Eleven dan para pengurus Castlemaine Art Museum beserta perwakilan dari KJRI



It’s very exciting for us to be able to show this work gathered by an important Indonesian based collector. This has enabled us to reach out to a very strong artistic community in Indonesia,” ujar Naomi Cass direktur Castlemaine Art Museum. Dirinya turut menambahkan bahwa ada ketertarikan yang besar di Australia terhadap seni tradisional Indonesia, yang sebagian dapat ditemukan dalam beberapa karya di koleksi ‘#Perempuan 2021’.

But what is so vital is, these are living artists, who are speaking about issues that are really quite universal,” tegas Naomi.

Naomi Cass – Direktur Castlemaine Art Museum



Sentimen ini pun digemakan oleh Muniroh Rahim, acting Konsul Jenderal Republik Indonesia untuk Victoria dan Tasmania. Di pidato beliau untuk acara pembukaan pameran koleksi ‘#Perempuan 2021’ Sabtu siang itu, Muniroh menyampaikan bagaimana seniman Indonesia dapat berkomunikasi dengan orang-orang di negara lain termasuk Australia mengenai keadaan Indonesia. Koleksi ‘#Perempuan 2021’ ini pun sedikit banyak mengangkat isu yang juga relevan terhadap kaum perempuan di negara barat, khususnya kesetaraan hak bagi wanita. Dirinya berharap kedua negara dapat terus mempererat hubungan diplomatik mereka melalui berbagai hal, dimulai dengan seni.

Pidato Muniroh Rahim (Acting Konsul Jederal RI untuk Victoria dan Tasmania)


Apa Kata Mereka

Vic Say – Guru Bahasa Indonesia
Vic Say

When I see Indonesian arts, they take me somewhere different from Australian arts and the arts I am familiar with. And these arts again, are arts which challenge me to look closer and think wider, and see from a different point of view. Ada pembahasan di antara semuanya (karya-karya di koleksi ‘#Perempuan 2021’), saya suka sekali.”

Anna Schwann – Sukarelawan Museum
Anna Schwann

I think it’s really beautiful that there is a collection of purely female artists in this gallery, which means there are some radical works. And some amazing women! Lots of these women that I read about, seems like we got some multifaceted people with various different education background. They don’t seem to all come from the strictly art background since we saw really political sense in these artworks, so it’s interesting having that variations and experiences.”

Sarah Nawal – Pengunjung Museum
Sarah Nawal

I think it’s well in the contemporary context for art. It has the universal aspect of it, the language of contemporary art sits very neatly in there. The glass work stands out, really beautiful and serve a purpose for straight people and gay people as well. And those arts (karya Ruth) that represents different body parts to me seems like how people view women as different object and not as a whole.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Discover

Sponsor

spot_imgspot_img

Latest

LEARNING BY DOING, CARA JULIE ESTELLE BELAJAR AKTING

BUSET merasa sangat beruntung dapat berkenalan dengan artis muda nan cantik, Julie Estelle Gasnier. Sang bintang mampir ke Melbourne dalam rangka pemutaran filmnya, Headshot...

Dinamika Hubungan Australia-Indonesia di Era Kristiarto Legowo

Diratifikasikannya perjanjian dagang komprehensif Indonesia-Australia Comprehensive Strategic Partnership Agreement (IA-CEPA), kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo ke Canberra, dan diluncurkannya Blueprint for Trade and...

LESTARIKAN BUDAYA PENDUDUK ASLI DUNIA

Tanggal 9 Agustus merupakan hari spesial bagi dunia dimana masyarakat merayakan International Day of the World’s Indigenous People. Yang dimaksudkan dengan Indigenous People adalah...

Selingkuh

Melalui praktik Feng Shui, sudah tak terbilang individu dan karakter yang saya jumpai. Semuanya (yang positif dan negatif) sama menariknya, sangat berguna bagi pembelajaran...

Liburan Edukatif Bersama Anak

Kadang kita suka bingung dan kehabisan ide untuk mengajak anak-anak pergi menghabiskan waktu libur mereka. Antara bosan ke destinasi itu-itu saja, atau terbersit kekhawatiran...