
Jumat 27 Mei 2022 lalu, sebuah pameran yang mengisahkan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di Australia, keadilan, dan lahirnya persahabatan antara bangsa Indonesia dan Australia digelar di Immigration Museum, Melbourne. Pameran yang berjudul “When Merdeka Came to Australia, the History of Us (1942-1950)” itu digelar oleh Indonesian Diaspora Network (IDN) Victoria dan turut dihadiri oleh wakil pemerintah Australia dan Indonesia, sejarawan, serta para akademisi dari fakultas studi Bahasa Indonesia.
Berjuangan bersama melawan kolonialisme
Di tahun 1945, sebulan setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan mereka dari penjajahan Jepang, Belanda berusaha untuk kembali menduduki Indonesia dengan mengirim kapal-kapal pengangkut senjata dari Australia. Namun, para orang Indonesia yang sebelumnya merupakan tawanan Boven-Digoel di zaman penjajahan Jepang dan kemudian dievakuasi ke Australia oleh kapal Belanda melakukan perlawanan. Para orang Indonesia tersebut merupakan pekerja pelabuhan dan awak kapal di dermaga Sydney dan berhasil menggalang dukungan dari para pekerja pelabuhan Australia. Bersama-sama mereka memboikot Belanda dengan menandai kapal-kapal Belanda dengan cat hitam (‘black ban’) dan melakukan aksi mogok kerja agar tidak ada pekerja yang akan memuat dan menjalankan kapal-kapal Belanda yang bertujuan untuk mengangkut persenjataan kembali ke Indonesia. Perlawanan ini tak hanya didukung oleh bangsa Indonesia dan Australia, dalam dokumenter sejarah ‘Indonesia Calling’ oleh Joris Ivens, para pekerja pelabuhan beretnis Tiongkok, Malaya, dan India pun turut mendukung perjuangan kemerdekaan ini. Sentimen melawan penjajah dan kolonialisme inilah yang menyatukan kelima bangsa tersebut.

Memperingati para pejuang tanah air di luar negeri
Selain mengusung tema persahabatan Australia-Indonesia, Anthony Liem, pelopor dari pameran ini mengajak pengunjung untuk mengingat jasa para pejuang kemerdekaan yang tak hanya menetap di luar negeri bahkan juga berkebangsaan asing. Anthony sendiri merupakan saksi sejarah mengenai perlawanan Indonesia pada zaman penjajahan Jepang. Pria kelahiran Semarang di tahun 1942 itu masih mengingat dengan jelas suara desingan senjata dan ledakan bom di kota tempat keluarganya berasal. Dengan diusirnya Belanda dan meningkatnya sentimen anti-Belanda di Indonesia, Anthony yang sempat mengenyam pendidikan di sekolah Belanda di Indonesia terpaksa pindah ke Sydney, Australia di tahun 1962 untuk menyelesaikan studinya. Disana ia kemudian bertemu dengan Helen Wong, orang Australia keturunan Tiongkok yang juga merupakan putri dari salah satu pejuang dan aktifis yang turut mendukung aksi boikot kapal Belanda di tahun 1945.

Dari situlah Anthony kemudian memutuskan untuk mengumpulkan bukti-bukti sejarah mengenai keterlibatan para pejuang kemerdekaan Indonesia dari etnis dan ras yang berbeda seperti India dan Tiongkok. Pada puncaknya, dirinya bersama dengan Dr Stephen Gapps, kurator senior dari Australian National Maritime Museum di Sydney mengadakan pameran ‘Black Armada’ di tahun 2014 silam. Pameran tersebut membahas dengan detil peristiwa sejarah dimana terjadi perlawanan dan aksi boikot terhadap kapal-kapal Belanda yang dilakukan oleh para pekerja pelabuhan dan awak kapal yang berkebangsaan Indonesia, Australia, India, dan Tiongkok.
Anthony beranggapan bahwa ke 4 bangsa tersebut kala itu dipersatukan oleh rasa kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Dan hal ini patut untuk diketahui dan diakui oleh Indonesia bahwa ada bantuan dan dukungan dari pihak asing dalam perjuangan kemerdekaan mereka.
“Indonesia has got their pahlawan, but why don’t they recognize the support that they have for their independence by creating a separate category of ‘pahlawan asing’?” himbau Anthony.

Merayakan lahirnya persahabatan antara Indonesia-Australia sejak 1945
Acara pagi itu dibuka dengan nyanyian lagu kebangsaan Indonesia “Indonesia Raya” dan lagu kebangsaan Australia “Advanced Australia Fair” yang kemudian disusul dengan pidato pembuka dari Diana Pratiwi, selaku presiden IDN Victoria. Diana dalam pidatonya menyampaikan apresiasinya terhadap para tamu undangan yang hadir pagi itu untuk memperingati momen bersejarah dimana Australia dan Indonesia menjalin persahabatan yang terlahir dari semangat juang melawan para penjajah dan kolonialisme.
Rohini Kappadath, General Manager dari Immigration Museum pun memberikan kata sambutannya untuk menghimbau warga Australia untuk memahami bagaimana Australia sebagai negara multi-etnis terlahir melalui pergerakan dan persatuan para migran dari berbagai negara. Sentimen ini dikemukakan oleh Bwe Thay, deputy chairperson dari Victoria Multicultural Commission (Komisi Multikultural Victoria) yang mengingatkan bahwa masyarakat Australia merupakan masyarakat yang majemuk dan alangkah baiknya ketika para warga dari budaya dan etnis yang berbeda untuk berkumpul dan saling bekerjasama.

Kuncoro Waseso, Konsul Jenderal Rakyat Indonesia untuk Victoria dan Tasmania, mengemukakan bahwa sejarah Black Armada melambangkan persahabatan yang kokoh antara Indonesia dan Australia. Dirinya juga turut mengapresiasi dan menyambut hangat kehadiran MP Frank McGuire yang merupakan perwakilan pemerintah Australia di acara Jumat pagi itu.
Pameran ini diharapkan dapat menjadi bukti bahwa Australia dan Indonesia tak sekadar memiliki kedekatan geografis, tapi juga dipersatukan dengan sejarah yang penting dimana Australia merupakan salah satu negara asing pertama yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan mengirim delegasi mereka, Macmahon Ball dan Joe Isaac ke Jakarta untuk menemui Soekarno, Hatta, dan Sjahir.