Hidup sebagai Asian Gay itu tidak lah mudah, banyak sekali tantangan selama menjalani kehidupan. Apalagi bila bicara tentang Indonesia yang masih konservatif, tidak sedikit penduduknya yang gay akhirnya merasa hidup di luar negeri sebagai pilihan terbaik dimana di Australia, misalnya, mereka lebih bisa diterima dan menjadi diri sendiri.
Budi Sudarto adalah seorang Indonesia yang bekerja di Victorian AIDS Council – sebuah badan organisasi yang memberikan penyuluhan kepada komunitas gay akan HIV dan AIDS serta mengenai hubungan seksual yang aman agar terhindar dari penyakit yang menular melalui hubungan badan atau yang akrab disingkat STIs (Sexually Transmitted Infections).
Membangkitkan rasa percaya diri sebagai seorang gay merupakan bagian dari program Victorian AIDS Council. Salah satu langkah yang digunakan adalah dengan kampanye kesehatan yang bisa dilihat di seluruh Victoria melalui iklan ‘Drama Down Under’. Selain itu, Victorian AIDS Council selalu menghimbau agar setiap pasangan gay lebih peduli dan rutin memeriksakan kesehatan mereka. Disediakan pula fasilitas klinik dan konseling untuk berbagi cerita dan saling membantu bila ada masalah yang sedang dihadapi.
Bertugas sebagai koordinator workshop–workshop yang diadakan, Budi juga kerap diminta untuk menjadi fasilitator dan memberikan pelatihan untuk para sukarelawan.
Kepada BUSET Budi bercerita mengenai masa dimana ia membuka diri sebagai gay serta opininya mengenai kehidupan seorang homoseksual.
Seorang Budi Sudarto bisa gabung dengan Victorian AIDS Council gimana ceritanya sih?
Di tahun 2000 di [Melbourne] kan [Victorian AIDS Council] ada program workshop untuk gay di bawah 26 tahun dan pada masa itu aku lagi kuliah, jadi ikutan workshop Young & Gay dan salah satu programnya juga ada Gay Asian Proud. Awalnya sih untuk cari teman di sini ya, dari ikutan workshop kemudian ikut pelatihan jadi fasilitator. Selain buat social life, aku ikutan juga untuk seperti mengkonfirmasi bahwa saya memang seorang gay dengan mencari jawaban – jawaban akan pertanyan – pertanyaan yang selama ini ada di pikiran saya.
[Tahun] 2001 jadi volunteer sampai 2010. Lalu aku balik Indonesia, dan pas di sana lihat kantor ini lagi hiring, coba apply terus keterima dan pindah balik lagi ke Melbourne sampai sekarang.
Menurut Budi, bagaimana cara meningkatkan kepercayaan diri seorang gay yang takut ditolak masyarakat sekitarnya?
Waktu saya tinggal di Indonesia selama periode satu tahun itu ada orang gay yang bilang mereka ‘sakit’ karena mereka menganggap yang ‘sehat’ itu yang heteroseksual. Ada yang bilang, karena kita gay, maka kita’ sakit’. Salah satu cara membangkitkan rasa percaya diri, itu kembali ke pribadi masing – masing dan jati diri setiap individu, terutama menanamkan dalam pikiran bahwa jadi gay atau lesbian itu tidak lah salah.
Banyak sekali dari Asia dan juga negara lainnya yang beranggapan karena saya gay maka saya ini berbeda dengan teman – teman lain atau derajat sosial saya lebih rendah. Dengan Victorian AIDS Council ini kita mengeliminasi perasaan tersebut dan berkata; saya gay, saya lesbian dan it’s ok. Tetapi dari Asia ada satu permasalahan lagi yang cukup rumit yaitu permasalahan keluarga.
Lalu bagaimana tentang gay yang masih in-denial (penyangkalan diri)?
Kita bisa lihat pertama dari latar belakang mereka. Kalau mereka datang dari latar belakang yang sangat agamais itu sepertinya wajar mereka in-denial. Pasti ada perasaan konflik dalam diri sendiri. Ada yang in-denial sampai menikah dan punya anak. Tetapi bukan berarti mereka tidak berhubungan (seks) banyak dengan sesama jenisnya.
Gay dan Lesbian itu sebuah jati diri, jadi bukan karena ikut – ikutan. Anggapan seseorang itu menjadi gay karena lingkungan itu tidak ada. Kalau mau coba – coba berarti dari awal sebenernya ada rasa ketertarikan dong?
Saran saya, tanamkan pada diri sendiri untuk mengatakan bahwa menjadi gay dan lesbian itu tidak salah, itu bukan dosa, itu bukan hukuman dari Tuhan. Sekarang saja sudah ada beberapa imam yang mengatakan bahwa gay dan lesbian itu bukan dosa, juga beberapa Pastor yang bilang demikian karena itu adalah jati diri kita.
Berusahalah mencari teman yang supportive ke kalian sebagai gay. Kalau ke keluarga sih itu kembali kepada diri masing – masing dan keluarga. Kalau memang sangat sulit, mungkin bisa mencoba mencari alasan lain ketika ditanya kapan akan berumah tangga sampai suatu saat nanti keluarga bisa menyadari situasinya. Dan yang bikin in-denial itu kan sebenarnya bukan karena diri sendiri tetapi faktor ketakutan terhadap lingkungan; bagaimana tanggapan mereka nanti. Kalau lingkungan sosial bisa terima, berarti ga masalah kan?
Budi sendiri bagaimana sewaktu membuka diri di hadapan keluarga?
Waktu itu 2001, keluarga yang nanya saya langsung apakah saya gay atau tidak. Di situ lah akhirnya saya mengatakan ‘ya, saya gay’ dan mereka fine. Tetapi butuh beberapa tahun hingga mereka benar – benar bisa comfortable.
Tidak cuma bapak ibu, tetapi keluarga besar sangat menerima. Beruntung banget aku punya keluarga seperti ini. Karena banyak sekali keluarga yang ga bisa nerima anaknya itu gay, mau dijelasin seperti apa pun. Ini lah pentingnya punya keluarga lain atau teman dan lingkungan yang supportive akan keadaan kalian.
Apabila keluarga belum bisa terima, bersabarlah. Fokus dulu terhadap lingkungan yang mendukung dan terus berharap seiring berjalannya waktu, keluarga akan bisa terima.
Apa Budi setuju agar pernikahan sesama jenis diresmikan?
Dari dulu banyak diskusi kalau pernikahan itu hanya antara pria dan wanita. Tetapi kenapa kita tidak boleh? Begini saja, ada beberapa orang yang nikah karena memang cinta, karena untuk residency, atau dipaksa keluarga, atau agama, atau uang. Saya tidak melihat ada yang salah dengan pernikahan sesama jenis, kita menikah atas dasar cinta juga kok.
Bagaimana tanggapan Budi tentang Homophobia?
Homophobia kan perasaan takut akan gay people. Kenapa takut? Karena agama bilang demikian? Tetapi bukannya agama juga bilang untuk saling menerima semua ciptaan Tuhan? Atau dianggap melanggar norma – norma? Norma itu yang buat kan manusia juga. Kenapa kita tidak membuat norma sosial yang menerima LGBTI (lesbian, gay, bisexual, transgender and intersex)?
Jadi, buat saya, homophobia itu sebenarnya adalah perasaan takut orang-orang yang memang tidak mau mengerti akan LGBTI community dan selalu berpikiran negatif terhadap LGBTI. Ga mungkin ada seseorang dari lahir sudah homophobic.
Pertanyaan terakhir, apakah ada yang ingin disampaikan untuk orang Indonesia yang gay dan orang tua mereka?
Jangan takut. Jadi lah diri sendiri. Cari dukungan dari lingkungan; mau itu dari keluarga, teman lama, ataupun teman baru. Dan yang masih in-denial, cari support yang bisa menerima kamu. Di Indonesia sendiri kan walau belum banyak komunitas LGBTI yang besar tetapi ada kelompok pertemanannya dan lihat lah itu sebagai support. Jangan merasa menjadi gay sebagai perusak segalanya. Karena banyak lho gay people yang berhasil.
Sedangkan untuk orang tua yang mempunyai anak gay, cobalah untuk menerima. Terima dia apa adanya. Ada anak yang membunuh, ada anak yang mencuri, tetap saja orang tua bisa terima itu anaknya. Kenapa anak yang gay dan lesbian tidak bisa diterima? Apakah derajat kita lebih rendah dari mereka yang membunuh dan mencuri? Tentu tidak, karena kita tidak merusak apa – apa, kita hanya memberikan cinta dan mencintai sesama jenis. Accept and love unconditionally. Dan kalau takut apa kata tetangga, kita harus berani memperjuangkannya. Dan ingatlah bahwa kalian tidak sendiri. Ada orang lain yang juga mempunyai anak gay dan lesbian.
Untuk mencari lebih banyak info, kunjungi situs www.vicaids.asn.au/peer-education.
** KOMENTAR DARI PEMUKA AGAMA **
Homoseksualitas Dalam Islam
Islam, sebagaimana kedua agama samawat (Agama Yahudi dan Nasrani) lainnya, mengharamkan homoseksualitas.
Ada beberapa ayat dalam Kitab Suci Umat Islam – Al Qur’an – tentang homoseksualitas, antaranya: 7:80-82; 15:73; 16:165.
Juga dalam Islam, termasuk di Indonesia, asal usul homoseksualitas dikaitkan dengan perbuatan Umat Nabi Lut (Lot – Sodom and Gomorah).
Meski dalam Al Qur’an homoseksualitas disebut sebagai perbuatan yang tercela, namun tidak semua dari ke-4 Imam yang menjadi pedoman banyak ahlussunah waljama’ah (Sunis) sependapat dengan bentuk hukuman yang harus dijatuhkan kepada barangsiapa terbukti bersalah melakukan perbuatan homoseksualitas.
Agar diketahui, dalam Islam ada 4 mazhab – aliran hukum: masing-masing Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’i. Di Indonesia yang banyak dijadikan patokan adalah mazhab Syafi’i.
Imam Hanafi tidak menganggap perbuatan homoseksualitas sebagai sama dengan zina (yang secara formal harus dihukum rajam), karenanya bentuk hukumannya tergantung pada kebijaksanaan hakim – banyak di antara ulama berhaluan Hanafi yang dikatakan menafikan hukuman mati untuk perbuatan ini, kecuali apabila dilakukan berulang-ulang.
Imam Syafi’i berpendapat homoseksualitas sama dengan zina – namun menurut hukum Islam, untuk membuktikan zina harus ada empat orang yang terpercaya yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika terjadi penetrasi. Tanpa ke-empat saksi seperti itu maka pembuktian dinilai tidak cukup.
Imam Maliki menilai homoseksualitas sebagai zina, yang diancam dengan hukuman mati.
Dewasa ini hukuman bagi perbuatan homoseksualitas di negara-negara Muslim berbeda-beda, dan sangat jarang – kalau pun ada – terdengar pelaksanaan hukuman mati atas terpidana perbuatan homoseksualitas. Kecuali di Iran di mana sudah puluhan orang yang dipidana mati karena perbuatan homoseksualitas.
Apa pun, setahu saya, di kalangan Umat Islam, homoseksualitas memang kurang begitu diminati sebagai pokok persoalan untuk dibahas, mungkin karena dianggap melibatkan hanya sedikit manusia.
Ada Muslim liberal yang sekarang ini menganggap homoseksualitas sebagai sesuatu yang alamiah (bukan hidup melainkan pembawaan lahir). Mereka mengakui keberadaan ayat-ayat Al Qur’an yang dikutip di atas, namun mengemukakan bahwa yang dilarang adalah syahwat (lust) homoseksualitas bukan kasih sayang (love) antara homoseks yang kemudian diekspresikan dalam bentuk perbuatan homoseksualitas. Namun harus ditekankan di sini segala pandangan yang dikemukakan ini masih sangat kontrroversial.
Pandangan yang dikemukakan dalam tulisan ini merupakan rangkuman keterangan yang diperoleh penulis dari berbagai sumber dan bukan dimaksudkan sebagai petuah, melainkan semata-mata sebagai bahan pertimbangan. Wallahu a’lam.
Mengasihi Sesama
Untuk menanggapi kisah Budi Sudarto, saya salut atas keberaniannya untuk bersaksi dan membeberkan ceritanya di Majalah BUSET bagi masyarakat Indonesia di Australia.
Saya punya cerita tentang seorang gay atau lesbian. Kisah yang pertama, dulu salah satu pembantu rumah tangga orang-tua saya di Indonesia adalah seorang gay. Dia laki-laki tapi gayanya, caranya berdandan, bermake-up, cara berjalan seperti perempuan. Dia bertingkah laku seperti itu semenjak masih kecil. Saya bercanda, bergurau, jalan sama-sama seperti teman sendiri. Keluarga kami menerima keadaan dia yang demikian.
Kisah kedua, ada pelajar/mahasiswa yang kadang melihat video porno seksual, baik itu seksual antara laki/perempuan, seksual antara sejenis bahkan ada yang melihat video porno seksual dengan binatang. Diantara mereka ada yang akhirnya mencoba-coba setelah melihat video tadi. Kebanyakan mereka adalah pelajar laki-laki. Setelah sekian kali menonton, mereka akhirnya ingin mencoba dan mempraktekkan. Dan ada diantara mereka yang suatu saat menyatakan bahwa dia gay.
Kisah ketiga, ada seorang pemuda dari keluarga yang ekonominya kurang mampu. Dulunya dia hanya sebagai pengantar para turis tapi karena tergiur oleh iming-iming dolar, akhirnya dia juga bersedia melayani seksual sesama jenis. Bahkan pemuda itu pernah disponsori seorang laki-laki yang cukup berumur untuk tinggal di Australia dalam waktu yang cukup lama. Dari kejadian itu, dia bersaksi bahwa dia menyukai kehidupannya terutama aktifitas seksual sesama jenis. Dan berkesimpulan bahwa dia seorang gay.
Kisah keempat, seorang laki-laki yang sudah punya beberapa anak tapi akhirnya pernikahannya berujung perceraian. Perceraiannya itu membuat dia sangat membenci terhadap perempuan, pada suatu saat dia mulai berhubungan dengan seorang laki-laki. Dan suatu hari, mengatakan bahwa dia sekarang seorang gay. Ada juga perempuan yang dilecehkan, dihajar dan ditolak mentah-mentah mantan suaminya. Yang mana akhirnya dia menikmati kasih sayang, support, belaian dan pelukan dari seorang lesbian. Sekarang dia tidak ragu-ragu lagi mengakui bahwa dirinya seorang lesbian.
Dari kejadian-kejadian di atas, disimpulkan bahwa ada anak laki-laki yang dari kecilnya sudah suka berpakaian perempuan dan berperilaku seperti perempuan. Adapula anak gadis yang bertingkah laku seperti anak laki-laki. Setelah dewasa mereka mengatakan bahwa dia seorang gay atau lesbian. Tapi ada pula yang karena lingkungan, pengalaman, penolakan, pelecehan dan sebagainya sehingga merasa bahwa dirinya adalah seorang gay atau lesbian.
Saya sebagai Hamba Tuhan, Pendeta atau Pastor, berpedoman bahwa dalam komunitas Kristen kita menerima seseorang apa adanya. Kita tidak membedakan apakah mereka kaya atau miskin. Apakah dia seorang gay atau lesbian, tua atau muda. Kita membuka tangan lebar-lebar untuk mereka. We welcome them!
Dalam Alkitab, hubungan seksual sejenis tidak diperkenankan. Namun, ada juga Pendeta, Pastor, Romo yang secara terus terang mengatakan bahwa dirinya adalah seorang gay atau lesbian. Walaupun ada Pastor, Pendeta atau Romo yang mempraktekkan atau menyetujui seksual sejenis bukan berarti itu diperbolehkan dalam ajaran Alkitab. Alkitab adalah Firman Tuhan, tidak bisa dirubah dan tidak ada seorangpun yang punya otoritas untuk merubahnya.
Kita mengasihi seorang gay atau lesbian, siapapun dia. Tapi perlu ditekankan di sini bahwa mengasihi itu bukan berarti menyukai apa yang diperbuat. Mengasihi bukan berarti menyetujui apa yang dilakukan. Mengasihi adalah menjadi pendengar yang baik. Mengasihi adalah mendoakan dan memberi pelayanan yang terbaik. Mengasihi adalah mau mengerti apa yang dirasakan, baik itu perasaan senang, takut, perasaan ditolak, saat stres, mengalami depresi dan sebagainya. Mengasihi adalah bertindak dan berbuat untuk TIDAK menghakimi seseorang.
Kasih adalah identitas komunitas Kristen. Mari kita menerapkan kasih dengan tidak “pilih kasih”. Tuhan memberkati.